Oleh : Cholifah Syukri (Ketua Majelis Tabligh PP ‘Aisyiyah)
Sejak diumumkannya dua kasus positif Covid-19 pada 4 Maret 2020, kasus ini tercatat terus meningkat. Bangsa Indonesia berada pada situasi ‘tanggap darurat bencana’. Pada situasi seperti ini bangsa Indonesia dituntut untuk mampu memutus mata rantai penularan Covid-19 yang sangat membahayakan itu. Pemerintah tidak akan mungkin dapat berjalan sendiri tanpa dukungan dan keterlibatan masyarakat. Hal yang perlu disyukuri adalah, masyarakat Indonesia sejak lama telah memiliki budaya gotong royong. Karena itu, ketika pemerintah, para ulama, tokoh agama, dan para ahli kesehatan menganjurkan agar dalam beraktivitas tidak melibatkan orang banyak atau tidak berkerumun, masyarakat harus bergotong royong saling mengingatkan agar menaati anjuran itu demi keselamatan bersama.
Gotong royong hendaknya tidak hanya dimaknai secara fisik, melainkan secara luas. Gotong royong dapat berupa pemikiran (ide atau saran), pembiayaan, penggalangan dana, pengadaan bahan pangan untuk masyarakat yang kurang mampu, dan sebagainya. Semuanya itu dilakukan untuk memutus mata rantai penularan Covid-19 yang merebak di mana-mana.
Sebagai contoh, sejumlah kelompok masyarakat menghimpun dana untuk membuat perlengkapan pencegahan penyebaran virus corona seperti; hand sanitizer, masker, dan kebutuhan hidup pokok lain bagi mereka yang membutuhkan. Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah melalui MCCC (Muhammadiyah Covid-19 Command Center) berupaya memberikan informasi penting terkait pencegahan penyebaran Covid-19, di samping bergotong royong menghimpun dana, serta upaya lainnya.
Selain budaya yang telah mengakar, gotong royong sebenarnya merupakan anjuran Islam yang dikenal dengan ta’awun (solidaritas sosial). Allah berfirman:
“… Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah sangat berat siksa-Nya. (Q.S. al-Maidah [5]: 2).
Saling tolong menolong untuk memutus mata rantai penularan Covid-19 merupakan perbuatan baik untuk menyelamatkan warga masyarakat. Setiap warga harus berupaya menolong siapa saja yang membutuhkan pertolongan sesuai dengan kemampuannya. Menyampaikan informasi Covid-19 yang begitu cepat penularannya melalui media sosial juga merupakan salah satu bentuk ta’awun (solidaritas sosial) dalam kehidupan bermasyarakat.
Ketika di antara warga ada yang terkena dampak Covid-19 atau bahkan terinfeksi, maka semua warga ikut merasakan penderitaannya. Dengan serta-merta masyarakat segera mela-por kepada yang berwenang, sehingga warga yang terinfeksi atau terdampak Covid itu segera mendapatkan pena-nganan. Keluarga yang terdampak tentu juga membutuhkan perhatian dan pertolongan sehingga masyarakat harus bergotong-royong memantau dan memberikan kebutuhan hidup.
Ta’awun atau solidaritas sosial terkait dengan ukhuwah insaniyah atau ‘persaudaran sesama manusia’. Dalam hadis dari Nu’man bin Basyir, Rasulu-llah Muhammad saw. berpesan:
“Perumpamaan kaum mukminin dalam urusan cinta, kasih sayang, dan bahu membahu sesama mereka bagaikan satu tubuh. Apabila ada satu anggota tubuh yang sakit, niscaya seluruh tubuh turut merasakan (misalnya) susah tidur dan demam. (H.R. Bukhori dan Muslim).
Nasihat Rasulullah saw. di atas menyiratkan pentingnya ta’awun (solidaritas sosial) dalam menanggulangi dan mengantisipasi tersebarnya Covid-19. Ini dapat dimulai dengan cara (i) disiplin dalam menerapkan pola hidup sehat, seperti menjaga kebersihan; makan yang baik, bergizi, halal; istirahat yang cukup; tetap tinggal di rumah kecuali kepentingan mendesak; (ii) disiplin dalam menjaga jarak (social distancing); (iii) disiplin menggunakan masker ketika keluar rumah; (iv) mencuci tangan dengan hand sanitizer; dan (v) tidak mengadakan kegiatan berkerumun dan berkunjung ke rumah teman, saudara, apalagi di luar kota.
Upaya untuk mendisiplinkan diri terkait mengantisipasi penyebaran Covid-19 adalah langkah pertama memutus mata rantai penyebaran di masyarakat. Ta’awun yang dilakukan secara kompak dari diri sendiri, keluar-ga, maupun masyarakat dan pemerin-tah, merupakan bentuk ibadah yang bernilai jihad. Sebaliknya, tindakan yang sengaja membawa madharat be-risiko penularan merupakan tindakan tercela atau zalim.
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi. (Q. S. al-Maidah [5]: 32.)
Ta’awun dilakukan seraya berdoa kepada Allah swt. agar virus yang berbahaya itu segera menyingkir dari tanah air dan dunia. Amin.
Tulisan ini pernah dipublikasikan pada Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 6, Juni 2020