Oleh: Hamim Ilyas
Di kalangan umat ada persepsi kebolehan melakukan kekerasan dan eksploitasi seksual terhadap istri. Persepsi tersebut berkembang di antaranya didasarkan pada bagian awal dari QS. al-Baqarah [2]: 223 tanpa memperhatikan keutuhan ayat, ungkapan yang digunakan, munasabah antar bagian ayat, dan tafsir ulama yang otoritatif.
Keutuhan Ayat
QS. al-Baqarah [2]: 223 menjelaskan sebagai berikut:
نِسَآؤُكُمۡ حَرۡثٞ لَّكُمۡ فَأۡتُواْ حَرۡثَكُمۡ أَنَّىٰ شِئۡتُمۡۖ وَقَدِّمُواْ لِأَنفُسِكُمۡۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّكُم مُّلَٰقُوهُۗ وَبَشِّرِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
“Istri-istrimu adalah ladang bagi kalian, maka datangilah ladangmu bagaimana saja kalian kehendaki. Lakukanlah untuk diri kalian, bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kalian akan menemui-Nya. (Wahai Muhammad) berilah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman.”
Dari terjemah lengkap ini diketahui bahwa pembicaraan utuh ayat tersebut (dengan memperhatikan tafsir ulama), meliputi: Pertama, penjelasan tentang posisi istri yang diumpamakan seperti ladang subur untuk bercocok tanam (ḥarṡ); Kedua, “perintah” untuk memberi perlakuan sekehendak hati kepada istri yang berposisi seperti ḥarṡ; Ketiga, perintah melakukan usaha yang diungkapkan dengan taqdim untuk kebaikan diri mereka; Keempat, perintah bertakwa kepada Allah; Kelima, perintah memiliki kesadaran tentang pertemuan dengan Allah; dan Keenam, perintah kepada Nabi untuk memberi kabar gembira kepada kaum beriman.
Pembahasan utuh ayat merupakan satu kesatuan ajaran. Karena itu, pembahasan objek pertama (posisi istri) tidak dapat dipisahkan dari lima pembicaraan lain berikutnya.
Ungkapan Amṡal
Penjelasan posisi istri dalam al-Baqarah [2]: 223 menggunakan jenis al-amṡal al-kaminah, mengungkapkan perumpamaan tanpa menggunakan kata umpama (maṡal). Berdasarkan hadis, “…. al-Quran turun melalui tujuh pintu dengan tujuh aspek: larangan, perintah, halal, haram, muhkam, mutasyabih, dan amtsal (perumpamaan). Karena itu, halalkanlah yang halal, haramkanlah yang haram, laksanakanlah perintahnya, tinggalkanlah larangannya, ambillah pelajaran dari perumpamaannya, amalkanlah muhkamnya, dan berimanlah kepada mutasyabihnya” (H. R. Ibn Hiban dan Hakim), maka maksud dari amṡal itu adalah umat supaya mengambil pelajaran darinya.
Pelajaran yang diambil dari amṡal tersebut dapat dipahami dari macamnya. Al-Bakrabadzi membagi amṡal menjadi empat macam, yaitu (i) membawa apa yang tidak tertangkap indra kepada apa yang tertangkap; (ii) membawa apa yang sulit dipahami akal kepada apa yang mudah dipahaminya; (iii) membawa apa yang belum menjadi kebiasaan kepada apa yang telah menjadi kebiasaan; dan (iv) membawa apa yang tidak memiliki kekuatan kepada apa yang memilikinya (az-Zarkasyi, 2001: I, 571-2).
Perumpamaan istri seperti harṡ dalam al-Baqarah [2]: 223 termasuk amṡal ketiga, yakni membawa apa yang belum menjadi kebiasaan kepada apa yang telah menjadi kebiasaan. Masyarakat manusia, termasuk masyarakat Arab, telah memiliki kebiasaan baik dalam memperlakukan lahan subur untuk bercocok tanam, namun belum memilikinya dalam memperlakukan istri. Dengan demikian, melalui perumpamaan tersebut al-Quran bermaksud untuk mengubah kebiasaan (budaya) masyarakat yang merendahkan perempuan menjadi masyarakat yang meninggikan derajatnya.
Semua mufasir menangkap maksud mulia tersebut. Hal ini nyata dari tafsir mereka bahwa pengertian istri seperti harṡ adalah dia menjadi ‘tempat persemaian’ (mazdara’) anak-keturunan dengan rahim yang ada dalam tubuhnya, sebagaimana lahan menjadi tempat persemaian tanaman. Sepanjang pengetahuan penulis, tidak ada satu mufasir pun yang menyatakan bahwa pengertian perumpamaan itu adalah ‘istri merupakan tempat “mencangkul” atau “membajak”’.
Ini berarti bahwa istri tidak boleh direndahkan sebagai objek seks untuk sekadar mendapatkan kesenangan, tetapi harus dimuliakan sebagai ibu generasi. Maksud demikian sejalan dengan QS. an-Nisa’ [4]: 24 dan QS. al-Maidah [5]: 5 sebagai berikut:
وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۖ كِتَٰبَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡۚ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٰلِكُمۡ أَن تَبۡتَغُواْ بِأَمۡوَٰلِكُم مُّحۡصِنِينَ غَيۡرَ مُسَٰفِحِينَۚ فَمَا ٱسۡتَمۡتَعۡتُم بِهِۦ مِنۡهُنَّ فََٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةٗۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيمَا تَرَٰضَيۡتُم بِهِۦ مِنۢ بَعۡدِ ٱلۡفَرِيضَةِۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمٗا
“…dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
ٱلۡيَوۡمَ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُۖ وَطَعَامُ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ حِلّٞ لَّكُمۡ وَطَعَامُكُمۡ حِلّٞ لَّهُمۡۖ وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ مِن قَبۡلِكُمۡ مُحۡصِنِينَ غَيۡرَ مُسَٰفِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِيٓ أَخۡدَانٖۗ وَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلۡإِيمَٰنِ فَقَدۡ حَبِطَ عَمَلُهُۥ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) perempuan yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al–Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.”
Kedua ayat tersebut menegaskan tujuan perkawinan untuk menjaga kehormatan diri (suami, istri, dan anak), tidak sekadar melampiaskan hasrat seksual; dan dengan QS. an-Nisa’ [4]: 9 yang memerintahkan umat untuk tidak memiliki generasi yang lemah.
وَلۡيَخۡشَ ٱلَّذِينَ لَوۡ تَرَكُواْ مِنۡ خَلۡفِهِمۡ ذُرِّيَّةٗ ضِعَٰفًا خَافُواْ عَلَيۡهِمۡ فَلۡيَتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡيَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدًا
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
Di samping itu, maksud mulia di atas juga dapat dipahami dari praktik masyarakat dalam memperlakukan lahan subur. Peradaban pada masa al-Qur’an turun adalah peradaban masyarakat agraris yang secara ekonomi memperlakukan lahan tanah subur dan hewan ternak sebagai kekayaan paling berharga. Perlakuan demikian sangat kuat di kalangan mereka, lebih-lebih di kalangan masyarakat Arab yang hidup di bumi yang tandus.
Kenyataan ini tergambar dari beberapa hal. Pertama, ungkapan yang menyatakan bahwa tanah sebagai hak milik harus dipertahankan meskipun harus dengan mengorbankan nyawa (Jawa: sadumuk bathuk sanyari bumi). Kedua, penyebutan hewan ternak dengan istilah yang menunjukkan kedudukannya yang sangat menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat, seperti rojokoyo (Jawa: rajanya kekayaan) dan al-an’am (Arab: anugerah untuk mewujudkan keadaan hidup baik). Ketiga, peperangan untuk memperebutkan ladang gembala di kalangan masyarakat Arab.
Atas dasar ini maka perumpamaan istri seperti harṡ di atas memiliki pengertian bahwa dia menjadi kekayaan yang paling berharga sehingga harus dijaga dan dibela dengan pengorbanan luar biasa. Dengan pengertian ini berarti bahwa al-Quran bermaksud mengubah perilaku masyarakat yang menelantarkan istri (praktik di kalangan masyarakat Arab di antaranya dengan sumpah ila’ dan sumpah dhihar) menjadi masyarakat yang penuh perhatian kepadanya dengan menjadi –meminjam istilah populer sekarang- suami siaga.
Maksud demikian sejalan dengan QS. an-Nisa’ [4]: 34 yang menegaskan posisi suami sebagai qawwam dalam pengertian man yaqum ‘ala al-amr, orang yang bertanggung jawab atas urusan penting. Dalam hal ini urusan penting istri ialah melaksanakan tugas-tugas reproduksi (hamil, melahirkan, dan menyusui).
(Bersambung Bagian 2: Istri adalah Ibu Generasi)