Oleh: Casmini
Puji dan syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Ilahi Rabbi. Sebab, atas karunia-Nya kita bisa sama-sama berkumpul, silaturahim dan thalabul ‘ilmi (menuntut ilmu) dalam rangka tafaqquh fiddin (memperdalam agama). Mudah-mudahan setiap langkah yang terayun bisa membuahkan pahala bagi kita, menjadi penghapus dosa dan pengangkat derajat di hadapan Allah swt. Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw., keluarganya, sahabatnya, para tabi’in, tabiut tabiahum, kepada kita semua, serta kepada seluruh umatnya hingga akhir zaman. Semoga kita selalu dapat meneladani Rasulullah saw, sang uswatun hasanah bagi seluruh alam.
Seringkali kita menjumpai si buah hati atau anak merengek dan menangis bahkan ada yang meronta-ronta menginginkan gawai atau gawai kepada orang tuanya. Di sisi lain, terdapat fenomena di mana sebagian orang tua mudah sekali memberikan gawai atau gawai dengan dalih agar anak tidak mengganggu aktivitasnya. Fenomena ini menunjukkan ada “tuhan” baru di era global untuk kehidupan manusia modern.
Era globalisasi salah satunya ditandai dengan perkembangan komunikasi yang susah dibendung. Dalam perkembangan tersebut, seakan-akan tidak ada batas lagi untuk berkomunikasi dalam jarak jauh dan semua saling terhubung (hyper-connected). Komunikasi menjadi lebih mudah dan terdapat peningkatan kebutuhan manusia terhadap teknologi yang terkait. Telepon genggam mengalami perubahan fungsi, tidak hanya sebagai alat komunikasi semata, tetapi juga menjadi sarana informasi dan hiburan. Percepatan pemutakhiran aplikasi gawai pun terjadi seiring dengan fungsi penggunaan telepon genggam.
Baca Juga: Mengenali Disleksia, Gangguan Belajar pada Anak
Penggunaan gawai juga telah menjamur dan merambah ke dunia anak. Seringkali pada awalnya orang tua membekali anaknya dengan gawai untuk mempermudah komunikasi dan proses pembelajaran. Namun, banyaknya fitur dari gawai dapat mendorong anak untuk berselancar ke berbagai situs hiburan di dunia maya. Selanjutnya, kondisi jiwa anak yang masih labil berpotensi untuk menstimulus mereka menggunakan gawai dengan sesuka hati tanpa perhitungan apapun.
Kemudahan akses aneka jenis aplikasi, hiburan, maupun game terbaru yang viral di media sosial berimplikasi pada kemudahan anak dalam mengakses sendiri permainan yang sedang menjadi tren. Kondisi ini yang menyebabkan anak kecanduan pada gawai. Gawai kemudian menjadi penyebab anak-anak tidak lagi senang bermain bersama kawan-kawannya dan mulai menarik diri dari lingkungan karena terpesona oleh dunia maya di tangan mereka.
Pada saat anak dalam kondisi kecanduan gawai, orang tua kesulitan dalam memberikan pengarahan, bimbingan, dan pendidikan. Pemberian nasihat serta perlakuan fisiologis susah masuk pada diri anak. Anak terlihat tidak peduli pada arahan orang tua. Hal ini memicu orang tua untuk memarahi anak.
Kondisi ini bukan menyelesaikan masalah karena anak menjadi semakin keras kepala dan melawan orang tua. Saat orang tua menarik gawai yang diberikan, anak bisa kabur dan memilih temannya untuk meminjam gawai. Mereka kabur dengan kemarahan kepada orang tua karena telah melarang gawai. Tulisan ini mencoba memaparkan bentuk tanggungjawab orang tua kepada anak dalam penggunaan gawai. Dengan membaca tulisan ini diharapkan orang tua mendapatkan informasi tentang perlakuan yang dapat diberikan pada anak sebelum terjadi kecanduan gawai.
Mengapa Orang Tua Perlu Mewaspadai Pemberian Gawai untuk Anak?
Islam memberikan panduan terkait dengan penggunaan gawai sebagaimana termaktub dalam beberapa firman Allah swt. berikut ini:
Pertama, Q.S. al-A’raf [7]: 157,
وَ یُحِلُّ لَہُمُ الطَّیِّبٰتِ وَ یُحَرِّمُ عَلَیۡہِمُ الۡخَبٰٓئِثَ
Artinya, “dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk”
Kedua, Q.S. al-Baqarah [2]: 195,
وَأَنفِقُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا تُلْقُوا۟ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى ٱلتَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوٓا۟ ۛ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ
Artinya, “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”
Ketiga, Q.S. an-Nisa’ [4]: 29,
…وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Artinya, “Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”
Norma dalam ayat-ayat di atas menyuratkan bahwa dalam Islam membolehkan penggunaan gawai, namun tetap waspada terhadap efek yang ditimbulkan.
Gawai saat ini sudah menjadi kebutuhan yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia, termasuk anak-anak dan orang tua. Sebagai piranti yang memiliki tujuan dan fungsi yang praktis, segala macam informasi dapat diperoleh melalui gawai. Ketika suatu waktu tidak membuka gawai, kita mungkin akan melewatkan suatu informasi. Segala macam informasi dalam organisasi, arisan, maupun paguyuban kerap diumumkan melalui gawai. Tawaran gawai juga lebih menarik. Hampir semua pertanyaan akan dapat jawaban melalui gawai. Tidak mengherankan jika anak-anak menjadikan gawai sebagai kawan belajar.
Penggunaan gawai di usia yang sangat muda, akan memunculkan problem baru seperti pornografi, kekerasan, cyberbulling, terkoneksi dengan pedophilia, terkoneksi dengan orang asing yang tidak dikehendaki, terganggu secara privasi, terpapar informasi hoaks, waktu anak tanpa pengelolaan, bermunculan pribadi narsistik, introvert dan kesepian, perilaku kecanduan gawai (smartphone addiction), hingga meluas menciptakan peluang perdagangan anak.
Baca Juga: Makna Tauhid Asma wa Sifat dalam Kehidupan
Gawai menjadi hal yang problematis dalam kehidupan sehari-hari. Pada satu sisi, gawai menyediakan kemudahan. Pada sisi yang lain, orang tua harus memiliki kesadaran penuh untuk waspada terhadap implikasi negatif dari gawai.
Dalam konteks psikologi perkembangan misalnya, anak-anak pada usia 2-6 tahun berada pada fase rasa ingin tahu yang besar. Anak pada usia ini mempunyai daya kreatifitas dan imajinasi yang tinggi, kemampuan untuk berkomunikasi dengan lingkungan sekitar, mengetahui identitas laki-laki dan perempuan, pengaturan buang air (toilet training), serta memahami hal-hal yang membahayakan dirinya. Kebutuhan berinteraksi dengan orang lain akan menstimulasi panca indra anak. Pada fase ini anak membutuhkan banyak bermain untuk dapat mengembangkan gerak motoriknya. Kehangatan dan kasih sayang orang tua, saudara dan teman sebayanya untuk bisa kooperatif dalam perkembangan perilaku positifnya sangat dibutuhkan pada fase ini.
Memasuki fase usia sekolah (6-12 tahun), anak masuk pada “tahap bersosialisasi” yang ditandai dengan kemampuan berinteraksi dan pergaulan yang lebih luas bersama teman-teman di sekolah. Ketika anak mengalami hambatan dalam bersosialisasi pada fase usia ini, maka pada usia dewasa akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian dirinya. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2017 menyebutkan, berdasarkan usia maka penetrasi pengguna internet terbesar adalah usia 13-18 tahun, yaitu sebesar 75,50%. Hal ini menunjukkan bahwa usia remaja perlu mendapat perhatian dari orangtua dan beberapa pihak terkait dengan remaja.
Fenomena dampak penggunaan gawai bagi anak ini perlu diwaspadai orang tua sejak awal. Sebab dalam kondisi anak yang telah kecanduan gawai, mereka akan mudah terseret dari dunia nyata menuju dunia maya dan mengalami gangguan mental. Meskipun secara fisik dan intelektual berkembang, namun kecerdasan emosional, sosial, moral dan spiritual mengalami gangguan. Anak-anak ini, oleh Yee-Jin Shin, seorang Psikiater dari Korea, disebutnya mengalami “matang semu”.
Dalam konteks intelektual, penggunaan gawai yang tidak terkendali menyebabkan penurunan daya konsentrasi anak. Misalnya pada saat anak menggunakan gawai untuk bermain game, otak akan menerima stimulasi kuat dari layar berupa warna-warna yang mencolok dan berganti secara cepat, disertai pula dengan suara yang menghentak. Otak yang terbiasa dengan stimulus seperti ini, respons otaknya akan terbiasa meletup-letup atau disebut dengan popcorn brain.
Stimulasi otak yang biasa terpapar stimulus kuat, membuat anak secara emosi selalu mencari hal-hal yang semakin lama semakin brutal, impulsif, dan menarik. Permainan seperti bersepeda, berlari, berseluncur, tidak lagi menarik hatinya. Hormon serotonin yang dipercaya memberikan perasaan bahagia kurang didapatkan anak.
Dengan gawai untuk bermain game, fisik anak justru akan menghasilkan hormon dopamin. Jika hormon serotonim merupakan hormon bahagia yang diproduksi tubuh secara konstan, dopamin merupakan hormon bahagia yang sangat singkat. Yang terjadi, anak-anak akan terus mencari game baru untuk mendapatkan skor yang lebih tinggi. Hal ini dapat menimbulkan kegelisahan untuk mencapai target yang lebih tinggi lagi.
Anak-anak yang kecanduan gawai juga akan mengalami gangguan kesehatan. Gawai menyebabkan gangguan pada penglihatan dan pendengaran. Berdasarkan hasil riset, paparan radiasi dari gawai sangat berbahaya bagi kesehatan dan perkembangan anak-anak. Radiasi gawai berisiko tinggi mengakibatkan gangguan terhadap perkembangan otak dan sistem imun atau kekebalan tubuh anak. Anak yang kecanduan gawai cenderung malas bergerak sehingga mengakibatkan penumpukan lemak yang pada akhirnya menyebabkan obesitas.
Bentuk Tanggung Jawab Orang Tua terhadap Gawai
Bentuk tanggung jawab orang tua dengan adanya gawai salah satunya diejawantahkan dengan komunikasi efektif antara anak dan orang tua. Al-Quran mencontohkan berbagai ragam model komunikasi efektif antara orang tua dan anak dengan prinsip keseimbangan, tidak otoritatif dan tidak pula permisif, tetapi menempatkan keduanya pada porsi yang tepat sesuai momen dan waktunya. Model komunikasi Nabi Ibrahim dengan Ismail as. dalam Q.S. as-Shaffaat [37]: 102 menempatkan sosok ayah yang menjadi pendengar aktif bagi anaknya,
قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Artinta, “Ibrahim berkata: “Hai anakkku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu “maka pikirkanlah apa pendapatmu? Ismail menjawab: Wahai Bapakku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar”
Model komunikasi seperti ini akan memunculkan kesepakatan antara orang tua-anak dalam pemakaian gawai. Anak akan memperoleh pembelajaran dan pengalaman untuk dapat menaati kesepakan yang dibuat secara bersama untuk kapan waktunya, di mana tempatnya dan untuk apa gawai digunakan.
Model komunikasi efektif kedua dicontohkan oleh Nabi Zakaria as. dengan putri angkatnya, Maryam binti Imran, dalam Q.S. ali-Imron [3]: 37,
فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُولٍ حَسَنٍ وَأَنۢبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا وَكَفَّلَهَا زَكَرِيَّا ۖ كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا ٱلْمِحْرَابَ وَجَدَ عِندَهَا رِزْقًا ۖ قَالَ يَٰمَرْيَمُ أَنَّىٰ لَكِ هَٰذَا ۖ قَالَتْ هُوَ مِنْ عِندِ ٱللَّهِ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ يَرْزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Artinya, “Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab”
Komunikasi yang dibangun adalah model komunikasi kritis dan waspada terhadap perilaku anak. Orang tua memberikan kepercayaan kepada anak dan sekaligus berfungsi mengontrol perilaku anak. Orang tua memberi kepercayaan untuk menggunakan gawai dan sesekali menanyakan situs yang telah dibuka oleh anak, siapa saja yang terhubung di media sosial dan sekaligus menjadi teman yang baik dalam pemakaian gawai anak. Komunikasi orang tua-anak dapat diambil pula dari ibrah Nabi Nuh as. kepada Kan’aan, putranya, yang menunjukkan peringatan keras saat anak melakukan kesalahan. Secara bertahap, peringatan kepada anak dimulai dari peringatan lembut dan diberikan peringatan keras jika anak tidak mengindahkan.
Dalam proses komunikasi dengan anak, orang tua perlu mengasah kemampuan literasi digital. Literasi digital keluarga merupakan ketertarikan, sikap dan kemampuan individu dalam menggunakan teknologi digital dan alat komunikasi untuk mengakses, mengelola, mengintegrasikan, menganalisis dan mengevaluasi informasi, membangun pengetahuan baru, membuat dan berkomunikasi dengan orang lain agar tetap dapat berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat.
Kemampuan literasi digital yang perlu dimiliki orang tua sebagai pendamping utama anak dapat dijabarkan dalam beberapa hal berikut. Pertama, kemampuan mengakses informasi. Untuk bisa mengkomunikasikan tentang bagaimana mengakses informasi, orantua harus memahami semua fitur atau menu yang tersaji pada perangkat gawai anak, khususnya media audio visual seperti media sosial, media online, game offline dan game online, serta penggunaan kamera dan video.
Kedua, kemampuan orang tua dalam menganalisis informasi. Kemampuan ini akan menuntun orang tua dalam berkomunikasi kepada anak untuk memahami semua konten pesan yang diakses. Dengan demikian, orang tua dapat membimbing anak dalam memilah informasi palsu (hoax) dan informasi yang benar, serta menunjukkan fakta dan data atau ilusi dan realitas. Komunikasi ini akan membuahkan kemampuan anak untuk dapat membedakan informasi yang bermanfaat dan tidak berguna.
Ketiga, kemampuan mengevaluasi informasi. Orang tua harus mampu menilai informasi dengan standar atau kriteria tertentu, misalnya dengan menggunakan kriteria agama dan norma sosial. Kemampuan ini akan menuntun orang tua untuk menunjukkan pada anak tentang sajian-sajian informasi yang merusak kepribadian anak seperti tayangan pornografi, kekerasan dan kebencian. Kemampuan ini menuntun orang tua untuk dapat menanamkan kesadaran kepada anak beberapa konten yang tidak diizinkan untuk diakses.
Keempat, kemampuan orang tua dalam memproduksi informasi. Kemampuan ini membantu orang tua dalam mengajarkan anak untuk berpartisipasi aktif dalam memproduksi pesan-pesan yang berkualitas dan produktif. Contohnya adalah mengajarkan cara membuat catatan positif pada kegiatan harian atau online diary dalam blog masing-masing. Selain itu, orang tua juga dapat memotivasi anak untuk membaca bahan bacaan yang bermanfaat dalam rangka produksi informasi tersebut.
Kelima, kemampuan manajemen waktu. Orang tua hendaknya menyampaikan pada anak waktu-waktu terbaik untuk mengakses gawai. Manajemen waktu yang baik merupakan bentuk tanggung jawab orang tua kepada anak untuk terhindar dari kecanduan gawai.