Liputan

Tantangan Anak Masa Kini Menghadapi Dunia Digital

digital-anak

Oleh: Syifa Rosyiana Dewi

Pesatnya perkembangan teknologi digital memberikan dampak positif maupun negatif bagi para penggunanya. Tidak dapat dimungkiri, dampak tersebut menjadi tantangan sendiri bagi penggunanya, termasuk generasi Z dan generasi Alpha yang dikenal sebagai digital native.

Tri Hastuti Nur Rochimah, Sekretaris Pimpinan Pusat (PP) ‘Aisyiyah, menyampaikan dengan kemajuan teknologi tersebut generasi masa kini dihadapkan dengan banyak kemudahan dan hal-hal yang bersifat instan. Oleh karenanya, generasi zaman ini pun memiliki tantangan tersendiri dalam menghadapi gempuran perkembangan teknologi tersebut. Tri mencontohkan, perkembangan yang sangat cepat sekarang ini bisa mempengaruhi kesehatan mental anak-anak sehingga orang tua mempunyai peran untuk memperkuat anak-anak dalam menghadapi dunia digital.

Senada dengan Tri, Wisnu Martha Adiputra, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) menyampaikan bahwa menyiapkan generasi Z dan Alpha di era digital ini lebih sulit. Dunia terbagi menjadi dunia nyata dan maya atau semu. Meski begitu, ujar Martha, dunia maya sekarang ini pun menjadi seperti dunia nyata juga sehingga anak-anak dihadapkan dengan dua dunia dalam kesehariannya. Menurutnya, menyiapkan anak untuk menghadapi dunia mayanya (dunia digital) itu sama pentingnya dengan menyiapkan mereka di dunia sosial sehari-hari.

Selain tantangan kesehatan mental dan terbaginya dunia anak menjadi dua, Tri melanjutkan ada tantangan lain yang dihadapi generasi Z dan Alpha, di antaranya keamanan data pribadi yang terkadang dilupakan oleh para pengguna teknologi itu sendiri. Perkembangan digital juga berpeluang membuat orang menjadi terkotak-kotak dan akses yang diterima pun masih belum sama.

Selain itu, Martha juga mengungkapkan adanya gap atau kesenjangan pemahaman dunia digital antara orang tua dan anak-anaknya. Ia berpesan agar orang tua terus belajar tentang perkembangan dan prinsip teknologi yang ada saat ini, mulai dari etika penggunaan media sosial hingga konsekuensi hukum dari penyalahgunaan teknologi tersebut. “Sama seperti halnya dalam dunia sehari-hari, kita tidak boleh menyerang orang secara verbal; di dunia maya juga tidak. Maka paling tidak prinsip-prinsip umum atau dasar penting dipahami,” kata Martha.

Ia melanjutkan, bahwa tantangan perkembangan digital yang ada sekarang ini, terjalin secara massif. Terlebih lagi dengan kehadiran berita-berita hoaks yang menjadi tantangan bagi para orang tua dan anak yang terkadang menyebabkan gap tersendiri. Oleh karenanya, Martha melihat bahwa generasi pertengahan seperti generasi milenial saat ini memiliki dua peran, yakni untuk menjaga generasi baby boomers, generasi Z maupun Alpha.

Zaman sekarang pun tak jarang anak dan orang tua sama-sama memiliki media sosial. Hal ini sebenarnya penting, kata Martha, karena kemudian orang tua dapat melihat bahwa sekarang ada masalah-masalah yang awal mulanya dari bermain media sosial. Misal adanya bullying, kekerasan gender berbasis online, pedofil, bahkan yang lainnya. Dengan memiliki media sosial, menurutnya, orang tua bisa tahu apa saja yang anaknya ikuti, suka, dan minati sehingga ini memudahkan orang tua dalam mengetahui pola bermedia sosial anaknya.

Menyambung hal itu, Tri mengungkapkan bahwa inilah pentingnya orang tua untuk mempercayai anak sehingga anak bisa menjadikan orang tua tempat bercerita yang nyaman tanpa anak merasa diawasi atau dihakimi. Kepercayaan anak pada orang tuanya itu menjadi salah satu kunci penting dalam menghadapi tantangan gempuran digitalisasi di era sekarang ini. Keterbukaan anak pada orang tua dapat menciptakan pola komunikasi yang sehat, setara, jujur, dan terbuka.

Pola komunikasi yang sehat itu, lanjut Tri, nantinya akan memudahkan orang tua dalam menanamkan prinsip-prinsip norma, etika, dan akhlak pada anak dengan lebih baik. Menurutnya jangan sampai nantinya anak justru bertanya-tanya pada dunia luar atau mempercayai orang lain ketimbang keluarganya.

Senada dengan Tri, Martha menyampaikan bahwa orang tua memang harus memahami seni melakukan pengawasan pada anak tetapi anak tidak merasa dikuntit. Termasuk dalam bermedsos itu, orang tua seharusnya bisa berdiskusi atau melakukannya bersama anak. “Kita komen, ngobrol, kita ikut main, kita melihat dia main game, kita beri semangat, dukung, memotivasi, memahami bahwa dunia digital ini bukan dunia yang sangat menakutkan, kita harus menemani dan membersamai,” tuturnya.

Literasi Digital Kunci Hadapi Tantangan

Dalam menghadapi tantangan di era digital sekarang ini, Tri dan Martha sepakat bahwa literasi digital menjadi sangat penting. Literasi digital itu termasuk kemampuan mengelola teknologi digital, pemahaman tentang keberagaman, pemahaman etika dan akhlak bermedia sosial, dan kemampuan individu dalam menghadapi dunia digital.

Menurut Tri, literasi digital ini harus dikenalkan sejak dini. Dari situlah anak-anak secara otomatis diajarkan kemampuan-kemampuan tadi dan diarahkan dalam memilih fitur-fitur yang sesuai dengan fase perkembangannya sehingga orang tua bisa menjelaskan mana yang boleh diakses dan mana yang tidak boleh diakses oleh anak.

Terlebih lagi, menurut Martha, saat ini kesempatan untuk mengakses kemajuan digital ini ada di usia yang semakin muda. Misalnya saja, kalau dulu anak-anak baru diberi handphone pada usia remaja, sekarang anak usia sekolah dasar pun sudah harus menggunakan handphone, terlebih setelah pandemi ini ada. Mereka dituntut untuk mengikuti kemajuan zaman. Maka, literasi digital sesuai fase yang dimulai sejak dini ini sangat penting agar nantinya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti misalnya kecanduan atau masalah-masalah lainnya.

Baca Juga: Peran Orang Tua dalam Monitoring Tumbuh Kembang Anak

Tri yang juga dosen komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, ini menjelaskan, literasi digital bisa dimulai sejak masa pra sekolah yang identik dengan periode emas tumbuh kembang anak. Literasi digital di masa ini berperan penting untuk membangun fondasi bagi hubungan anak dengan dunia digital. Pada fase ini, orang tua berperan memberikan arahan dan pendampingan dengan memilih tayangan atau situs yang akan diakses anak, memberi batasan waktu atau jadwal anak berinternet, dan mendampingi saat anak berinternet.

Sedangkan kata kunci literasi digital pada anak usia 6-12 tahun terletak pada peran pendampingan dan orang tua dapat menjadi rekan diskusi dalam membuat kesepakatan dan mengambil keputusan perihal berinternet. Hal tersebut dilakukan mengingat anak pada periode tersebut telah memiliki kemampuan yang meningkat dalam mengakses internet, serta ruang lingkup interaksi yang luas.

Orang tua dapat memberi kesempatan anak memilih konten sendiri. Jika konten yang dipilih bernilai positif, pesan Tri, jangan segan memberi apresiasi. Sedangkan jika yang dipilih bersifat sebaliknya, orang tua tidak perlu panik. Tri menyarankan untuk mengajak anak berdiskusi sehingga ke depan anak dapat lebih selektif memilih konten.

Selanjutnya, Tri menyampaikan pentingnya orang tua membangun kesepakatan dengan anak tentang jadwal atau waktu mengakses internet. Tidak lupa, ajak anak untuk melakukan aktivitas fisik maupun interaksi sosial lainnya. Adapun pendampingan dapat dilakukan dengan mendampingi anak menonton tayangan internet, mengajak anak mengobrol tentang tayangan tersebut, dan mengecek tayangan yang ditonton anak dari riwayat tayangan yang dilihat.

Peran Komunitas Tidak Kalah Penting

Meskipun literasi digital sangatlah penting, namun dalam pandangan Tri, masih banyak orang tua yang belum menjadikan literasi digital menjadi bagian yang penting dalam keluarga juga pengasuhan anak-anaknya. Oleh karena itu, proses literasi harus dilakukan tidak hanya oleh orang tua tetapi oleh komunitas, juga sekolah.

Walaupun orang tua memiliki peran yang sangat penting pada literasi digital anak tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah peran sekolah dan komunitas. Misalnya saja harus ada sinkronisasi antara pembiasaan yang baik dari orang tua di rumah dan guru di sekolah.

Ia mencontohkan, ‘Aisyiyah sendiri punya PAUD di berbagai daerah, melalui PAUD itu harus digerakkan literasi digital bagi anak usia dini karena guru itu bagian dari role model anak-anak.

Kemudian, lanjut Tri, peran-peran mubalighat ‘Aisyiyah, kelompok orang tua wali murid itu, juga perlu disinergikan sehingga tiga kekuatan itu akan menjadi sistem komunitas yang dapat mengoptimalisasi literasi digital bagi anak sejak dini. [9/22]

Related posts
Berita

Peringati Hari Anak Nasional 2024, PWA DIY Gelar Seminar Sekolah Ramah Anak

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional 2024, Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah (PWA) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyelenggarakan seminar daring…
Berita

PRA Tamantirto Selatan dan PAUD Terpadu KB TK ABA Kembaran Gelar Kegiatan Hari Anak Nasional 2024

Bantul, Suara ‘Aisyiyah – Dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional 2024, Pimpinan Ranting ‘Aisyiyah Tamantirto Selatan dan PAUD Terpadu KB TK Aisyiyah…
Berita

Peringati Hari Anak Nasional 2024, Majelis PAUDDASMEN PRA Tirtonirmolo Selatan Gelar Aisyiyah Berkisah

Bantul, Suara ‘Aisyiyah – Sekitar 100 santri Taman Pendidikan Al-Quran (TPA), guru dan orang tua hadir dalam acara ‘Aisyiyah Berkisah. Santri yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *