Oleh : Niki Alma Febriana Fauzi (Alumni PUTM PP Muhammadiyah dan Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan)
Dalam suatu kesempatan, saya berbincang ringan dengan seorang teman tentang aktivitas dan sepak terjang beberapa intelektual dan ulama Nahdatul Ulama (NU) yang sangat aktif di media sosial. Tidak sekadar aktif, mereka juga sering menguasai langit-langit opini masyarakat dunia maya. Nama-nama seperti Nadirsyah Hosen, Mun’im Sirry, Ahmad Baso, dan Sumanto al-Qurthuby adalah contoh tokoh muda NU yang sangat aktif menyampaikan opini dan pendapatnya di media sosial. Unggahan mereka hampir selalu panen like dan share dari warganet.
Ketika itu, kami seketika membandingkannya dengan tokoh, ulama, dan intelektual Muhammadiyah. Kami menyebut beberapa nama, menimbang,dan menilai hingga kami sampai pada kesimpulan sementara bahwa pengaruh mereka tidak sekuat tokoh-tokoh NU, khususnya di media sosial. Di sinilah muncul pertanyaan besar yang harus segera dijawab: meng-pa sedikit sekali untuk tidak mengatakan tidak ada–tokoh, intelektual, maupun ulama dari ormas modernis terbesar di Indonesia ini yang memiliki pengaruh di media sosial?
Mengapa Sedikit yang ‘Aktif’?
Ada beberapa faktor yang dapat diuji untuk membaca sikap ulama Muhammadiyah yang tampak tidak terlalu ‘aktif’ di media sosial. Kata ‘aktif’ pada subjudul sengaja diberi tanda petik untuk menekankan makna aktif yang sesungguhnya.
Faktor pertama adalah soal perbedaan kultur organisasi. Muhammadiyah sebagai suatu organisasi yang terkenal rapi dan birokratis, menekankan otoritasnya pada organisasi. Apabila ada satu persoalan, maka sang ulama atau tokoh akan menunggu sikap resmi organisasi alih-alih menyatakan pandangannya. Jika kemudian ada yang mengungkapkan pendapatnya, maka ia akan selalu menekankan di akhir, bahwa itu adalah pendapat pribadi. Artinya, suara resmi dari organisasilah yang paling otoritatif.
Sedangkan di NU, meskipun sama-sama organisasi keagamaan, tetapi kultur aslinya bukanlah organisasi murni, sehingga konsekuensinya otoritas ada pada personal ulama dan kiai. Semakin ulama dan kiai itu dianggap qualified, maka semakin kuat otoritasnya. Dengan kata lain, para ulama dan kiai tersebut tidak terhalang oleh sekat-sekat organisasi ketika akan menyuarakan pandangan pribadi, sehingga mereka merasa bebas untuk mengekspresikan pendapatnya. Di sinilah tampaknya yang menjadikan ulama dan tokoh Muhammadiyah tampak lebih ‘pendiam’ dibandingkan dengan ulama NU atau yang lain.
Faktor kedua adalah perbedaan kultur tulisan. Oleh karena pimpinan, tokoh, ulama, dan intelektual Muhammadiyah kebanyakan adalah akademisi, maka mereka lebih memilih untuk menulis serius di jurnal-jurnal akademik dan memiliki reputasi. Mereka kurang berfokus untuk menulis opini atau tulisan yang sifatnya populer. Padahal di media sosial, tulisan yang ‘laku’ dan banyak dibaca adalah tulisan atau opini populer. Bahkan tulisan sebagus apa pun, jika disajikan dengan
cara yang teramat serius, seringkali
tidak dibaca. Pada titik inilah, kita harus introspeksi diri.
Pentingnya ‘Aktif’ di Media Sosial
Internet dan media sosial telah memberikan ruang bagi kelompok-kelompok keagamaan, dari yang konservatif sampai liberal, untuk menyebarkan gagasannya dengan cepat dan bebas (Nisa, 2018; Hui, 2010; Lim, 2005). Dalam konteks otoritas keagamaan, internet secara umum dan media sosial secara khusus, pada gilirannya telah menyebabkan apa yang disebut oleh para peneliti sebagai fragmentasi otoritas keagamaan (fragmentation of religious authority).
Diskusi mengenai Islam tidak lagi hanya dimonopoli oleh kalangan elite keagamaan seperti ulama, kiai, maupun ustaz (Nisa, 2019). Namun, masyarakat dunia maya pun kini memiliki akses dan kesempatan yang sama. Mereka sama-sama dapat beropini dan mempengaruhi yang lain. Pada titik ini, kita seharusnya meref-leksikan fenomena tersebut dengan mengaitkannya pada kondisi Muhammadiyah dan para ulamanya.
Kita mungkin dapat berasumsi mengenai jawaban dari pertanyaan besar di atas. “Muhammadiyah itu gerakan amal, gerakan kerja, bukan gerakan wacana apalagi di dunia maya”. Dari sekian banyak asumsi, barangkali asumsi tersebut yang paling sering disampaikan oleh warga Muhammadiyah. Memang betul dan tepat jika Muhammadiyah dikatakan sebagai gerakan amal. Sejak ia berdiri, Ahmad Dahlan selalu mencontohkan kepada para pengikutnya agar mengutamakan beramal dengan ikhlas, alih-alih berwacana tentang teori yang rumit.
Namun, di era ketika perang informasi begitu gencar, opini dan pendapat yang kita miliki perlu ditulis dan diungkapkan di media sosial, maka kita perlu aktif di media sosial. Jangan buru-buru takut riya dan menuduh riya pada orang yang aktif di media sosial. Jika ulama tarjih secara khusus dan Muhammadiyah secara umum ingin menguasai langit opini di dunia maya, maka mengaktifkan diri di media sosial adalah salah satu cara yang dapat dilakukan. Niati apa yang diunggah di media sosial sebagai upaya fastabiqul khairat, alih-alih riya dan ujub.
Mendorong Ulama Tarjih Go International
Selain persoalan keaktifan di dunia maya, ulama tarjih juga harus didorong untuk go international. Untuk bisa bersaing dengan tokoh dan intelektual dari ormas lain, sudah saatnya bagi ulama tarjih untuk memiliki wawasan global dan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa internasional.
Untuk menjelaskan betapa penting-nya go international bagi ulama tarjih, saya akan memulainya dengan me-nyinggung gagasan internasionalisasi Muhammadiyah yang pernah disampaikan oleh Ahmad Najib Burhani (2015) dalam artikelnya berjudul “Internasionalisasi Muhammadiyah” di majalah Suara Muhammadiyah. Burhani dalam tulisannya mengutip tiga konsep internasionalisasi yang dikemukakan Fred Halliday (1988) dalam artikelnya berjudul “Three Concept of Internasionalism”.
Baca selengkapnya di Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 1 Januari 2020.
Sumber Ilustrasi : https://artikula.id/dhoul_faqoet/tiga-hal-yang-melahirkan-taubat/