Oleh: Aris Rakhmadi
Dengan penuh rasa syukur, jamaah haji yang tergabung dalam Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU) Aisyiyah Kulonprogo telah menyelesaikan salah satu rukun utama dalam ibadah haji, yakni tawaf ifadah. Prosesi tersebut dilanjutkan dengan sa’i dan ditutup dengan tahallul tsani sebagai penanda sempurnanya pelaksanaan seluruh rukun haji.
Sejak pagi hari, para jamaah telah bersiap dari hotel menuju Masjidil Haram. Meski fisik terasa letih setelah menjalani rangkaian ibadah di Arafah, Muzdalifah, dan Mina, semangat mereka tak surut. Dalam kekhusyukan, mereka memasuki area thawaf, mengelilingi Ka’bah tujuh kali sebagai simbol totalitas penghambaan kepada Allah.
Tawaf bukan sekadar ritual fisik, melainkan perjalanan spiritual yang menyimbolkan bahwa hidup seorang Muslim harus senantiasa berporos pada Allah, Sang Khalik. Ketika kaki melangkah mengelilingi Ka’bah tujuh kali, bukan hanya tubuh yang bergerak, tetapi juga hati dan jiwa yang berputar dalam lingkaran dzikir, pasrah, dan penyerahan total. Ka’bah menjadi poros ketundukan, titik pusat arah, sekaligus simbol keesaan Allah yang menjadi tujuan utama seluruh amal dan harapan manusia.
Dalam putaran tawaf, setiap langkah terasa seperti melepaskan satu demi satu beban duniawi: kesombongan, ambisi pribadi, kelekatan terhadap hal-hal fana. Lantunan doa yang menyertai tiap putaran bukan sekadar ucapan, melainkan cerminan kerinduan terdalam kepada Sang Pencipta. Di tengah keramaian ribuan manusia dari berbagai penjuru dunia, masing-masing jamaah menemukan kesendirian spiritual—ruang sunyi dalam hati tempat mereka bercakap dengan Tuhannya.
Tawaf mengajarkan bahwa hidup harus terarah, terpusat, dan terikat pada nilai-nilai tauhid. Sebagaimana tidak sah thawaf jika keluar dari lintasan mengelilingi Ka’bah, demikian pula hidup ini akan kehilangan makna jika tidak disandarkan pada nilai ilahiyah. Dalam thawaf, tidak ada henti, tidak ada kemunduran—hanya gerak maju penuh ketundukan. Dan itulah hidup seorang mukmin sejati: terus melangkah dalam pusaran iman, hingga akhirnya kembali pulang ke hadirat-Nya dalam keadaan bersih dan utuh.
Salah satu momen paling mengharukan dalam thawaf adalah ketika jamaah berjalan dari Rukun Yamani menuju Hajar Aswad. Pada bagian ini, mereka membaca doa yang sangat dikenal dan menyentuh hati, yaitu: “Rabbanaa aatinaa fid-dunyaa hasanah, wa fil-aakhirati hasanah, wa qinaa ‘adzaaban-naar.”
Baca Juga: SD Muhammadiyah 22 Surabaya Sukses Gelar Wisuda Angkatan ke-59
Artinya: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia, dan kebaikan di akhirat, serta lindungilah kami dari siksa neraka.” Banyak jamaah juga menambahkan doa lanjutan: “Wa adkhilnal jannata ma‘al-abraar, ya ‘Aziiz, ya Ghaffaar, ya Rabbal-‘aalamiin,” yang berarti: “Dan masukkanlah kami ke dalam surga bersama orang-orang yang saleh, wahai Tuhan Yang Maha Perkasa, Maha Pengampun, Penguasa seluruh alam.”
Doa ini mencerminkan permintaan yang sangat lengkap: berharap hidup yang baik di dunia, keselamatan di akhirat, serta tempat mulia di surga bersama orang-orang baik. Di tengah suasana tawaf yang penuh kekhusyukan, lantunan doa ini menjadi ungkapan hati terdalam dari para jamaah—memohon rahmat Allah dalam seluruh aspek kehidupan mereka.
Setelah tawaf, jamaah melanjutkan ibadah haji dengan melakukan sa’i—yaitu berjalan bolak-balik antara bukit Shafa dan Marwah. Ritual ini bukan sekadar gerakan fisik, tapi mengingatkan kita pada kisah perjuangan Siti Hajar, ibunda dari Nabi Ismail, yang dengan penuh keyakinan berlari mencari air di tengah padang pasir demi anaknya yang kehausan. Dari perjuangan itu, Allah menghadiahkan mata air Zamzam sebagai bentuk kasih sayang dan pertolongan-Nya.
Dalam sa’i tersimpan pesan penting tentang hidup: bahwa setiap usaha, sekecil apa pun, akan bernilai di hadapan Allah jika dilakukan dengan ikhlas dan keyakinan penuh. Meski pertolongan Allah sering kali tidak langsung terlihat, sa’i mengajarkan kita untuk tetap bergerak, tetap berharap, dan tidak menyerah pada keadaan. Inilah simbol dari ikhtiar yang sungguh-sungguh, yang berpadu dengan tawakal kepada Tuhan.
Seorang jamaah perempuan berkata, “Sa’i itu bukan cuma berjalan kaki, tapi perjalanan batin. Kami seperti menyusuri kembali jejak seorang ibu yang percaya penuh bahwa Allah pasti menolong.” Ucapan ini menggambarkan betapa mendalamnya makna sa’i bagi banyak jamaah—sebuah pengalaman spiritual yang menyentuh hati, memperkuat iman, dan mengingatkan bahwa Allah selalu bersama mereka yang terus berusaha.
Sebagai penutup rukun-rukun haji, para jamaah melaksanakan tahalul tsani. Bukan lagi mencukur rambut, sebagaimana telah dilakukan dalam tahallul awwal, namun menjadi simbol telah tuntasnya seluruh rukun haji secara sempurna. Dengan selesainya tawaf ifadah, sa’i, dan seluruh amalan wajib haji, maka jamaah kembali ke keadaan halal sepenuhnya — baik secara fisik maupun spiritual.
Makna tahallul tsani sangat mendalam: ini bukan hanya tentang bebasnya jamaah dari larangan-larangan haji, tetapi lebih dari itu — ini adalah pengakuan batin bahwa perjalanan suci telah paripurna, dan mereka kembali ke kehidupan dengan jiwa yang telah dimurnikan.
Meski sebagian besar jamaah telah menyempurnakan seluruh rangkaian rukun haji, masih ada sejumlah kecil jamaah putri yang belum dapat menunaikan thawaf ifadah karena sedang dalam kondisi haid. Sesuai tuntunan syariat, thawaf hanya bisa dilakukan dalam keadaan suci. Oleh karena itu, para pembimbing ibadah telah menjadwalkan pelaksanaan thawaf ifadah susulan bagi mereka setelah suci dari haid, sehingga tetap memungkinkan mereka untuk menyempurnakan rukun haji secara sah dan sempurna.
Baca Juga: Lazismu Pakistan Sukses Gelar Penyembelihan Kurban
Kondisi ini menjadi pengingat bahwa Islam adalah agama yang penuh kelembutan dan kemudahan. Haid bukanlah penghalang bagi kesempurnaan ibadah, melainkan bagian dari fitrah perempuan yang dihargai dalam aturan syariat. Dengan bimbingan yang tepat, semua jamaah tetap memiliki kesempatan untuk meraih kesempurnaan manasik haji mereka.
“Alhamdulillah, semua berjalan sesuai rencana. Kami terus memantau dan memberi semangat kepada jamaah yang masih menunggu thawaf susulan. Semoga Allah menerima ibadah mereka dengan sempurna,” ujar Tohari bin Misro satu pembimbing dari KBIHU Aisyiyah Kulonprogo.
Setiap momen yang terekam — dari langkah-langkah penuh harap sejak keluar dari hotel, thawaf mengelilingi Ka’bah dengan linangan air mata, sa’i yang ditempuh dengan semangat meneladani perjuangan Hajar, hingga doa-doa khusyuk yang terlantun di akhir ibadah — adalah potongan suci yang akan selalu tertanam dalam hati para jamaah.
Semoga jejak-jejak ibadah ini menjadi saksi keikhlasan dan dikukuhkan sebagai amal saleh yang diterima oleh Allah SWT. Mari kita jadikan pengalaman mulia ini sebagai pemantik semangat untuk terus memperbaiki diri, mempertebal keimanan, dan menebarkan keberkahan dalam kehidupan sehari-hari. Semoga Allah SWT memberi kesempatan kepada saudara-saudara Muslim lainnya untuk menunaikan ibadah ke Tanah Suci, dan bagi yang telah menjalankannya, semoga diberi keistiqamahan dalam menjaga kemabruran haji. (Aris Rakhmadi)-lsz

