Keberadaan teknologi bertujuan untuk memudahkan kehidupan manusia. Pernyataan tersebut disampaikan Rahadi, Ketua Badan Pengurus Yayasan LPTP (Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan). Secara fungsional, imbuh Rahadi, penggunaan teknologi telah dimulai sejak keberadaan manusia. Lebih tepatnya ketika manusia mampu mengubah, mengolah, dan memanfaatkan sumber daya alam menjadi alat bantu yang membuat hidup manusia lebih mudah dan nyaman.
Menurut Rahadi, perkembangan selanjutnya ditandai dengan terjadinya Revolusi Industri. Sejak itu masyarakat mulai mengenal istilah efisiensi dan efektifitas. Teknologi tidak diciptakan hanya sekedar ‘asal jalan’, melainkan bagaimana dengan memanfaatkan teknologi, kebutuhan hidup manusia dapat diselesaikan dengan tenaga, modal, dan waktu yang seminim mungkin.
Teknologi: Pisau Bermata Dua
Teknologi yang pada mulanya bertujuan memudahkan kebutuhan hidup manusia, dalam perjalanannnya bukan hanya memberikan dampak positif, melainkan juga dampak negatif. Kondisi tersebut, menurut Rahadi, semakin kentara setelah teknologi berhimpitan dengan faktor-faktor seperti sosial, ekonomi, dan politik.
Profesor bidang teknologi informasi atau komputer dari Universitas Indonesia Riri Fitri Sari membenarkan hal tersebut. Akan tetapi, Riri menegaskan bahwa teknologi diciptakan setelah melalui banyak pertimbangan, seperti pertimbangan alam dan iklim sosial. Menurutnya, adanya dampak negatif dari teknologi tidak lantas mengurangi nilai kemanfaatannya.
“Ada banyak teknologi yang tidak berdampak buruk pada lingkungan dan memudahkan kehidupan manusia,” ujarnya. Ia mencontohkan teknologi internet yang digunakan umat manusia dalam platform yang terus dikembangkan sesuai dengan perkembangan teknologi komputer dan telekomunikasi. Saat ini terbukti telah membantu umat manusia untuk terus berhubungan di masa pandemi Covid-19.
Riri Fitri Sari mengakui adanya dampak buruk dari teknologi informasi, seperti penyebaran informasi hoaks yang menyesatkan, kecanduan bermain game, dan dampak buruk lainnya dari akses data yang tanpa batas negara. Kondisi tersebut memang perlu diupayakan untuk dihindari.
Teknologi Netral Gender
Laki-laki dan perempuan memainkan peran sentral dalam mengubah, mengolah, dan memanfaatkan sumber daya alam menjadi teknologi. Tidak ada pembedaan peran antara satu pihak dengan pihak lainnya. Ketika diwawancarai Suara ‘Aisyiyah (12/6), Riri dengan tegas mengatakan bahwa teknologi itu netral gender. Artinya, tidak ada spesifikasi pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan.
Riri menyangkal mitos yang berkembang di beberapa kalangan masyarakat yang mengatakan kalau teknologi sebagai dunia laki-laki semata. Perempuan kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat itu mengungkapkan bahwa saat ini persentase jumlah mahasiswa dan mahasiswi di Universitas mencapai angka 55% banding 45%. Jumlah ini membuktikan bahwa di sektor pendidikan tidak ada pembedaan peran atau keterlibatan antara laki-laki dan perempuan.
Lebih lanjut, Rahadi mengungkapkan fakta bahwa dahulu perempuan mempunyai peran sentral di bidang teknologi, terutama teknologi pertanian. Ia mencontohkan keterlibatan aktif perempuan ketika memanen padi. Dahulu orang memanen padi menggunakan ani-ani, kemudian diganti dengan sabit, dan paling mutakhir dengan alat perontok padi. Menurutnya, ketika menggunakan teknologi ani-ani dan sabit, perempuan memerankan peran yang sentral. Akan tetapi, ketika sabit mulai digantikan dengan alat perontok padi, peran perempuan mulai tergantikan oleh laki-laki.
Pergeseran peran inilah yang menimbulkan kesan bahwa teknologi merupakan dunia laki-laki. Menurut Riri, sekitar 20 tahun yang lalu mungkin dapat dibenarkan bahwa banyak laki-laki yang mendapat akses lebih mudah pada teknologi, tetapi tidak dengan sekarang. Ia menegaskan, “pemikiran yang seperti itu (menganggap teknologi sebagai dunia lak-laki,-red) sudah bukan waktunya!”
Pada kesempatan yang sama, ia juga menyayangkan masih adanya segelintir sektor yang masih dikuasai oleh laki-laki. “Oleh karena itu, perempuan harus lebih merangsek ke dalam sektor-sektor tersebut,” ujarnya. Sederhananya, Rahadi yang juga menjadi presidium konfederasi INSIST itu ingin menegaskan bahwa ketimpangan akses atas teknologi lebih dikarenakan perbedaan sosial-ekonomi (kuat-lemah, kaya-miskin).
Selama mampu berkarya dan mempunyai kapasitas pada bidangnya, jelas Riri, perempuan berhak mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Ia memberi contoh beberapa perempuan yang berhasil merebut posisi rektor di beberapa Universitas ternama, seperti Reini Wirahadikusumah di Institut Teknologi Bandung, Dede Rosyada di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, dan Dwiea Aries Tina Pulubuhu di Universitas Hasanuddin. (Sirajuddin)