Oleh: Nur Hidayani
Tarikh Islam penuh dengan keteladanan dari para pendahulu kita yang saleh. Mengingat perjalanan hidup mereka seolah memompakan ghirah perjuangan menuju umat terbaik yang berpondasikan iman yang kokoh dan amal saleh. Semangat demikian sangat diperlukan dalam menata kehidupan yang saat ini seolah tercerabut dari kriteria hamba beriman dan minim keteladanan.
Inspirasi hadir dari para tokoh teladan umat, yang keteguhan iman, kemuliaan akhlak, dan kiprahnya di jaman perjuangan Rasulullah sangat diagungkan. Para sahabiyah adalah perempuan-perempuan di sekitar Rasulullah baik sebagai isteri maupun sahabat yang besar jasanya dalam mempertahankan iman maupun mendakwahkan Islam.
Para sahabiyah tersebut menyadari bahwa perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam hal beriman dan kesempatan beramal saleh serta sama-sama mendapatkan balasan kehidupan yang lebih baik sebagaimana janji Allah swt. dalam Q.S. an-Nahl [16]: 97,
مَنْ عَمِلَ صَٰلِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
Artinya, “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.
Sebelum kepemimpinan Nabi Muhammad saw. pun kita juga mengenal kiprah Ratu Balqis yang diabadikan dalam al-Quran. Ratu Balqis adalah seorang pemimpin perempuan yang diakui kekuatan dan kearifannya dalam memimpin. Ratu Balqis memang bukan seorang nabi, tetapi kemimpinannya diabadikan dalam al-Quran sebagai sosok pemimpin yang kuat dan bijak, suka bermusyawarah dan berhasil memakmurkan negerinya.
Walaupun al-Quran menyebut Ratu Balqis sebagai pemimpin yang mulanya fujur dan kafir, tetapi pada akhirnya Ratu Balqis yang diakui keberhasilannya memimpin itu menjadi ratu yang beriman di bawah bimbingan Nabi Sulaiman. Sebelum beriman saja, Ratu Balqis mampu memimpin dan memakmurkan negerinya, apalagi setelah beriman bersama Nabi Sulaiman. Hal ini dikisahkan dalam QS. An-Naml [2]: 22-44.
Baca Juga: Kepemimpinan Perempuan dalam Pandangan Islam Wasathiyah
Pada zaman Rasulullah saw., para isteri dan sahabiyah diberi kesempatan oleh Rasulullah untuk menimba ilmu dengan maksimal, berperan serta dalam dakwah bahkan ikut berjihad di medan perang, baik sebagai anggota prajurit maupun sebagai relawan kesehatan bagi para pejuang yang terluka. Mari kita tengok kembali sejarah keteladanan para sahabiyah dalam memimpin umat di zamannya, yang diwakili oleh sahabiyah-sahabiyah salehah di bawah ini.
Pertama, Khadijah bintu Khuwailid, Sahabiyah yang sukses dalam berbisnis dan besar kontribusinya terhadap dakwah Islam. Siapa yang tidak kenal dengan seorang perempuan mulia, seperti Sayyidah Khadijah? Banyak sekali perangai baiknya yang bisa kita jadikan panutan sebagai perempuan muslimah.
Selain salehah, dia juga perempuan mulia yang selalu menjaga kehormatannya. Dia piawai dalam berbisnis, dermawan, dan kuat dalam menjalani kesulitan hidup bersama Rasulullah. Dia menjadi orang pertama yang beriman kepada Rasulullah dan orang pertama pula yang menjadi pembela dan pendukung setiap gerakan dakwah Rasulullah.
Pada masa Jahiliyah, pekerjaan utama penduduk kota Mekah adalah berdagang. Para lelaki selalu menjual dagangannya ke pasar mulai dari pasar yang ada di Mekah hingga pasar yang ada di luar Mekah, seperti pasar Yaman dan Syam. Di antara sekian banyak pedagang dan saudagar laki-laki kaya di Mekah, Siti Khadijah adalah seorang perempuan muslimah kaya yang tidak kalah sukses dari kaum laki-laki.
Bisnis perdagangannya di pasar Mekah dan kota lain tidak kalah besar dengan kafilah dagang penduduk Mekah dari kalangan laki-laki. Ia memiliki strategi berdagang yang baik karena kecerdasan dan kecemerlangannya dalam berpikir. Banyak dari pedagang di Syam, Persia, dan Romawi yang menunggu-nunggu barang dagangan beliau karena nggul dalam kualitas, bahan-bahan pilihan, dan terdiri atas barang-barang yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas.
Hari demi hari usaha dagang Khadijah semakin berkembang. Jumlah dagangannya semakin bertambah, jumlah karyawannya pun semakin banyak dan tersebar luas ke berbagai kota di luar Mekah hingga ada yang berkata, “Barang dagangan yang dibawa kafilah dagang Khadijah sudah menyamai kafilah dagang kaum Quraisy, baik dari jumlah dagangan yang dibutuhkan, kualitas harga, maupun ukuran dagangannya.” Bagi Khadijah, berdagang adalah aktivitas yang menyenangkan.
Sebagai pemimpin usaha perdagangan, Khadijah piawai dalam mengatur strategi bisnisnya dengan baik, begitu juga dalam pembagian tugas kepada budak-budak dan pembantu-pembantunya. Beliau mampu memimpin karena memiliki pikiran yang matang dan pengalaman yang luas, ditambah lagi kecerdasan yang jarang dimiliki orang pada umumnya.
Dalam berdagang beliau tidak turun langsung ke pasar tetapi mempercayakan semua pekerjaan di pasar kepada para karyawannya, termasuk kepada Rasulullah saat belum menjadi suami dari Khadijah. Kejujuran Rasulullah tidak pernah diragukan lagi sehingga Khadijah berani memberi upah lebih besar kepada Rasulullah. Lagipula, dengan bergabungnya Muhammad saw. dalam bisnis Khadijah, keberkahan dan keuntungan selalu menyertai mereka.
Kedua, Aisyah bintu Abu Bakar, ilmuwan yang banyak merawikan hadits. ‘Aisyah adalah seorang perempuan berparas cantik berkulit putih, rona pipinya kemerahan karenanya ia sering dipanggil dengan “Humaira”. ‘Aisyah juga dikenal sebagai seorang perempuan cerdas yang dipersiapkan Allah Swt untuk menjadi pendamping Rasulullah saw. dalam mengemban amanah risalah.
Suatu hari Jibril memperlihatkan kepada Rasulullah saw. gambar ‘Aisyah pada secarik kain sutra berwarna hijau sembari mengatakan, “Ia adalah calon istrimu kelak, di dunia dan di akhirat.” (H.R. At Tirmidzi (3880), lihat Shahih Sunan At Tirmidzi (3041).
Sebagai pendamping suami, ‘Aisyah selalu siap memberi dorongan dan motivasi kepada Rasulullah di tengah beratnya medan dakwah dan permusuhan dari kaumnya. Di samping itu, ‘Aisyah juga tampil menjadi seorang penuntut ilmu yang senantiasa belajar dalam madrasah nubuwwah di mana beliau menimba ilmu langsung dari sumbernya.
Beliau tercatat sebagai sahabiyah yang banyak meriwayatkan hadis dan memiliki keunggulan dalam berbagai cabang ilmu di antaranya ilmu fikih, kesehatan, dan syair Arab. Setidaknya sebanyak 1.210 hadis yang beliau riwayatkan telah disepakati oleh Imam Bukhari dan Muslim dan 174 hadits yang hanya diriwayatkan oleh Imam Bukhari serta 54 hadits yang hanya diriwayatkan oleh Imam Muslim. Karenanya, tatkala pembesar para sahabat mendapatkan permasalahan, mereka datang dan merujuk kepada ‘Aisyah.
‘Aisyah adalah perempuan yang paling alim daripada perempuan lainnya. Berkata Az-Zuhri, “Apabila ilmu Aisyah dikumpulkan dengan ilmu seluruh para perempuan lain, maka ilmu Aisyah lebih utama.” (Lihat Al-Mustadrak Imam Hakim (4/11)). Berkata pula Atha’, “Aisyah adalah perempuan yang paling faqih dan pendapat-pendapatnya adalah pendapat yang paling membawa kemaslahatan untuk umum.” (Lihat Al Mustadrok Imam Hakim (4/11)).
Berkata Ibnu Abdil Barr, “Aisyah adalah satu-satunya perempuan di zamannya yang memiliki kelebihan dalam tiga bidang ilmu: ilmu fiqih, ilmu kesehatan, dan ilmu syair.” Berkata Abu Musa Al Asy’ari, “Tidaklah kami kebingungan tentang suatu hadis lalu kami bertanya kepada Aisyah, kecuali kami mendapatkan jawaban dari sisinya.” (Lihat Shahih Sunan At Tirmidzi (3044).
Sungguh luar biasa kemampuan ‘Aisyah yang mulia akhlaknya dalam bidang ilmu. Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah telah mewarisi ghirah beliau dalam hal pendidikan. Terbukti di seluruh Indonesia telah didirikan sekolah-sekolah Muhammadiyah atau ‘Aisyiyah dari TK hingga perguruan tinggi.
Ketiga, Ummul Mukminin Zainab binti Khuzaimah, sang Ummul Masakin. Zainab binti Khuzaimah adalah istri Rasulullah Saw yang bergelar Ummul Masakin (ibunda orang-orang miskin). Zainab sangat dikenal karena kebaikan hatinya dan sangat pemurah, banyak menyantuni orang-orang miskin. Zainab memiliki nama lengkap Zainab binti Khuzaimah bin Haris bin Abdillah bin Amru bin Abdi Manaf bin Hilal bin Amir bin Sha’shaah Al Hilaliyah. Ibunya bernama Hindun binti Auf bin Harits bin Hamathah.
Kedermawanannya telah dikenal, bahkan sebelum beliau memeluk Islam. Sebelum menikah dengan Rasulullah saw, Zainab sudah digelari Ummul Masakin. Zainab selalu mengutamakan kedermawanannya pada orang-orang miskin daripada memanjakan dirinya sendiri dengan harta benda yang dimiliki. Sifat penyantun yang dimilikinya pun sudah ada sebelum dia mengetahui bahwa dengan sifatnya dapat mendatangkan pahala dari Allah swt.
Dalam kehidupan beragamanya, Zainab termasuk kelompok perempuan pertama yang memeluk Islam dan sejak itu beliau menolak syirik, menyembah berhala serta menjauhkan diri dari perbuatan Jahiliyah. Rasulullah luluh karena kebaikan hati dan lemah lembut Zainab terhadap orang miskin.
Biasanya, Rasulullah mengingkari gelar yang didapatkan seseorang ketika masa Jahiliyah. Akan tetapi, tidak dengan gelar yang didapatkan Zainab sebagai Ummul Masakin. Zainab juga dikenal selalu meringankan beban saudaranya, seperti perlakuan dia terhadap budaknya.
Seluruh budak yang dimilikinya tidak pernah diperlakukan layaknya budak. Perlakuannya terhadap budak diberikan seperti kerabat dekat. Dia senantiasa memohon kepada Allah agar hidup miskin dan mati dalam keadaan miskin dan dikumpulkan di Padang Mahsyar bersama orang-orang miskin.
Dalam salah satu hadisnya, Rasulullah Saw pernah menyatakan pujian kepada Ummul Mukminin Zainab binti Khuzaimah r.a. dengan sabdanya, “Ia benar-benar menjadi ibu bagi orang-orang miskin, karena selalu memberikan makan dan bersedekah kepada mereka”.
Keempat, Ummu Kultsum bintu Ali bin Abi Thalib, bidan Islam yang cekatan. Namanya adalah Ummu Kultsum binti Ali bin Abi Thalib. Ayahnya adalah orang yang pertama kali masuk Islam dari golongan anak-anak, memiliki kedudukan yang tinggi dan posisi yang luhur di sisi Rasulullah. Beliau juga putri Khalifah Rasyidin yang keempat. Kakeknya adalah penghulu anak Adam. Ibu beliau adalah ratu perempuan ahli jannah, Fatimah binti Rasulullah saw.
Dalam lingkungan yang mulia seperti inilah pada zaman Rasulullah saw., Ummu Kultsum dilahirkan, tumbuh berkembang dan terdidik, serta menjadi teladan bagi para gadis muslimah yang tumbuh di atas dien, keutamaan dan rasa malu.
Pada saat usianya yang masih belia, beliau dinikahkan oleh ayahandanya Ali bin Abi Thalib dengan Amirul Mukminin Umar bin Khathab Al Faruq, Khalifah Rasyidin yang kedua pada bulan Dzulqa’dah tahun 17 Hijriyah, dan hidup bersama hingga terbunuhnya khalifah Umar. Dari pernikahannya lahirlah dua anak, yaitu Zaid bin Umar Al Akbar dan Ruqayyah binti Umar.
Baca Juga: Sayyidah Nafisah, Cicit Nabi dan Guru Imam Syafii
Keteladanan yang mengesankan pada Ummu Kultsum terutama dapat dilihat dari kesigapannya dalam mendampingi perjuangan suaminya di jalan Allah. Suatu ketika, Khalifah Umar keluar pada malam hari seperti biasanya untuk melihat kondisi rakyatnya, beliau melewati suatu desa di Madinah. Tiba-tiba beliau mendengar suara rintihan perempuan yang bersumber dari sebuah gubuk. Di depan pintu gubuk itu ada seorang laki-laki yang sedang duduk.
Khalifah Umar mengucapkan salam kepadanya dan bertanya kepadanya tentang apa yang terjadi. Laki-laki tersebut berkata bahwa dia adalah seorang Badui yang ingin mendapatkan kemurahan hati Amirul Mukminin. Khalifah Umar bertanya tentang perempuan di dalam gubuk yang beliau dengar rintihannya. Laki-laki tersebut tidak mengetahui bahwa yang berbicara dengannya adalah Amirul Mukminin, maka dia menjawab, “Pergilah, dan semoga Allah merahmati Anda sehingga mendapatkan yang Anda cari, dan janganlah Anda bertanya tentang sesuatu yang tak ada gunanya bagi Anda.”
Umar kembali mengulang-ulang pertanyaannya agar dia dapat membantu kesulitannya jika mungkin. Laki-laki tersebut menjawab, “Dia adalah istriku yang hendak melahirkan dan tak ada seorang pun yang dapat membantunya.” Umar bertolak meninggalkan laki-laki tersebut dan kembali ke rumah dengan segera.
Beliau masuk menemui istrinya, dan berkata, ”Apakah kamu ingin mendapat pahala yang Allah akan limpahkan kepadamu?” Ummu Kultsum menjawab dengan keadaan yang penuh antusias dan berbahagia dengan kabar gembira tersebut yang mana beliau merasa mendapatkan kehormatan karenanya, “Apa wujud kebaikan dan pahala tersebut wahai Suamiku?” Maka Umar memberitahukan kejadian yang baru mereka temui.
Selanjutnya, Ummu Kultsum segera bangkit dan mengambil peralatan untuk melahirkan dan kebutuhan bagi bayi. Adapun Amirul Mukminin membawa kuali yang di dalamnya ada mentega dan makanan. Beliau berangkat bersama istrinya hingga sampai ke gubuk tersebut.
Ummu Kultsum masuk ke dalam gubuk dan membantu ibu yang hendak melahirkan dan beliau bekerja dengan semangat seorang bidan yang penuh dedikasi. Sementara itu, Amirul Mukminin duduk bersama laki-laki Badui tersebut di luar sambil memasak bahan makanan yang beliau bawa.
Tatkala istri laki-laki tersebut melahirkan anaknya, Ummu Kultsum secara spontan berteriak dari dalam rumah, “Beritakan kabar gembira kepada temanmu wahai Amirul Mukminin, bahwa Allah telah mengaruniakan kepadanya seorang anak laki-laki!” Hal itu membuat orang Badui tersebut terperanjat, karena ternyata orang di sampingnya yang sedang memasak dan meniup api adalah Amirul Mukminin.
Begitu pula perempuan yang melahirkan tersebut terperanjat, karena yang menjadi penolong persalinannya di gubuk tersebut ternyata adalah istri dari Amirul Mukminin. Takjub pula orang-orang yang hadir menyaksikan realita yang berada dalam naungan Islam tersebut ketika seorang kepala negara dan istrinya membantu seorang laki-laki dan istrinya dari Badui.
Kepedulian Ummu Kulstum dalam menyelamatkan persalinan perempuan Badui ini telah diteladani oleh ‘Aisyiyah maupun Muhammadiyah melalui pendidikan dan pelayanan kesehatan. Fakultas kedokteran, keperawatan dan kebidanan telah dibuka di beberapa perguruan tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah dengan laboratorium praktiknya di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah, BKIA (Balai Kesehatan Ibu dan Anak), serta klinik-klinik bersalin milik alumni-alumninya yang tersebar di seluruh Indonesia. Wallahu alam bishawwab.
* Disarikan dari: kitab Nisaa’ Haular Rasuul, karya Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Musthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi