SUARA ‘AISYIYAH yaitu majalah bulanan milik Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah yang telah terbit sejak tahun 1926 sampai sekarang. Suara Aisyiyah adalah majalah perempuan tertua di Indonesia yang perkembangannya dapat diikuti sejak zaman kolonial Belanda, zaman Jepang hingga zaman kemerdekaan. Selain sebagai alat organisasi yang mempublikasikan program-program Aisyiyah, majalah bulanan ini juga alat yang strategis dalam memberikan perluasan pengetahuan dan penyadaran pada warga Aisyiyah khususnya akan peran perempuan dalam dunia domestik dan publik. Majalah Suara ‘Aisyiyah merupakan salah satu bukti sejarah berdirinya Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah. Melalui majalah ini ‘Aisyiyah menyuarakan suara kaum perempuan yang waktu itu masih terbatas aksesnya. Di usianya yang hampir menginjak 100 tahun majalah ini tetap eksis dan menjadi panduan bagi warga ‘Aisyiyah di seluruh Indonesia bahkan di luar negeri.
***
Pada tahun pertama, SA yang digawangi oleh Siti Djoehainah ini, terbit sebanyak 9 nomor dengan tebal halaman keseluruhan 138. Tahun pertama, SA cetak dengan oplah antara 600-900 buah, dan angka ini terus merangkak naik mulai 1000 eksemplar, 2000 hingga 2500 pada tahun 1938. Kini setelah 67 tahun lebih, Soeara Aisjijah yang berganti ejaan menjadi Suara Aisyiyah ini, oplahnya telah mencapai 6000 eksemplar. Didistribusikan tidak saja di seluruh wilayah Indonesia, di mana ada pengurus wilayah, daerah, cabang atau ranting Aisyah sebagaimana dahulu, namun sudah menjangkau luar negeri, yakni Singapura, Australia, Mesir juga Amerika.
Sebagai organ dari perkumpulan, Soeara Aisjijah selain berisi artikel bertema agama dan perempuan, juga mencantumkan verslag (laporan) sidang Aisjijah dari tiap cabang atau ranting. Begitu juga laporan hasil rapat Siswa Praja Wanita yang sekarang bernama Nasyiah Aisyiyah (bahkan mulai 1939, pada setiap terbitan SA didapati juga lembaran Taman Nasyiah). Berdasar hasil angket pembaca SA (terkini), sebanyak 75,49% pembaca, memilih SA lantaran ingin tahu perkembangan Aisyiyah. Bahkan di antaranya memilih berita organisasi sebagai bacaan favorit dari SA. Dari hasil angket itu, setidaknya SA dianggap berhasil mencitrakan dirinya sebagai jendela organisasi, dan sangat bisa jadi, itulah unsur utama imunitas atau daya tahan SA hingga lebih dari 10 windu.
Pada dasawarsa awal SA terbit, cabang juga terlibat dalam mensuplai tulisan. Bahkan pembagian tulisan diputuskan dalam kongres Muhammadijah bagian Aisjijah, yang mengalokasikan waktu khusus untuk mendengar kabar SA, dan menyoal perkembangannya. Tapi tak berarti pengurus cabang yang ditunjuk, rutin mengirimkan sesuai tugasnya, sampai-sampai pernah SA mengalami krisis artikel dan memuat artikel panjang yang sengaja ditulis penulisnya untuk kemudian dicetak buku.
Ada macam-macam rubrik dalam majalah SA yang berukuran 18×13 cm ini. Selain apa yang tersebut di atas, ada juga rubric Kata Kawan, Rumah Tangga, Pemandangan, Tokoh, Tarikh, Warta Keluarga, dan Perempuan. Kini, rubrik dalam majalah SA yang sudah berukuran besar, yakni ukuran kertas HVS kwarto, antara lain Berita Organisasi, Keluarga Sakinah, Profil Tokoh, Liputan Utama, Konsultasi Kak Efti, Resep, Busana, Artikel Lepas, Liputan, Teka-teki, Bahasa Arab, Kesrempet, Rubrik Wanita dan Gardu Desa Qoryah Thoyyibah.
Berbeda dengan beberapa surat kabar ataupun majalah yang biasanya menetapkan biaya langganan. SA justru menerbitkannya secara percuma, dan sebagai gantinya pembaca diharapkan memberi derma. Karena bernama derma, tentu saja tanpa ketentuan besaran. Pada tiap cabang dan grup, SA dibagikan secara gratis, adapun bagi pengurus cabang atau grup yang memberi derma, pihak SA akan memberikan lebih jumlah majalah.
Meski menyediakan tempat advertensi dengan tarif 1 halaman f. 4,-; ½ halaman f. 2,25,- dan ¼ halaman f. 1,25,- tapi tetap saja pembiayaan penerbitan tak selalu tanpa kendala. Bahkan pernah SA mengalami situasi yang mereka sebut “hidup tak subur, mati tak suka”. Pengurus SA beberapa kali mensiasati lewat tebal-tipisnya halaman, maupun memperpanjang jarak waktu terbit atau tidak terbit sesuai jadwal. Karena tak mungkin majlis Aisjijah menanggungkan sendiri biaya cetak, sebagian besar ongkos penerbitan dialihkan kepada sekalian pembaca. Muncul kemudian slogan “Dari kita, oleh kita, dan bagi kita”.
Pernah Siti Hajinah melontarkan kalimat provokatif dalam kongres Aisjijah ke 21, “Marilah Soeara Aisjijah itu kita hidupi betul-betul… Kalau tidak, baiklah kita bunuh saja mati-mati dan kita tanam dalam-dalam”. Kalimat itu diulangi lagi dalam kongres ke 22, hanya Saja oleh Siti Nasoechah. Ajakannya mengembangkan SA tak kalah provokatif juga, “janganlah kiranya lemah di tengah jalan, undur maju tak mau, membelakang ketakutan, melontar tak berani. Kalau sudah begitu, lama kelamaan mudah tertiup angin”.
Sudah 97 tahun bertahan, SA tidak sekadar jalan melenggang kangkung. SA mesti bertahan, meminjam kalimat Siti Hajinah yang digunakannya membuat ibarat, “Kalau bulan dan matahari adalah suluhnya dunia, maka orang jangan lupa, surat kabar adalah suluhnya manusia”.