Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Selasa (21/9), Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) mengadakan Kajian Tarjih yang disiarkan melalui channel YouTube @tvMu dengan tema “Fatwa Tarjih Muhammadiyah: Al-Mahramaat (Wanita-Wanita yang Haram Dinikahi)”. Kajian kali ini menghadirkan Syamsul Hidayat selaku Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah sebagai narasumber.
Dalam kajian tersebut, Syamsul menjelaskan bahwa “muhrim” adalah istilah yang kurang tepat jika konteksnya adalah perempuan yang haram dinikahi. Secara bahasa, muhrim merupakan orang yang sedang ber-ihram, baik itu ihram untuk umrah atau haji. Untuk perempuan-perempuan yang dilarang atau haram untuk dinikahi, kata Syamsul, istilah yang tepat adalah “mahram”.
Syamsul juga menjelaskan ada beberapa sebab seorang perempuan menjadi haram atau tidak boleh dinikahi. Dalam hal ini, kata Syamsul, Majelis Tarjih Muhammadiyah merujuk kepada firman Allah dalam Q.S. an-Nisa [4]: 23.
Dari ayat tersebut, kata Syamsul, dapat diketahui bahwa perempuan-perempuan yang haram untuk dinikahi ada tiga sebab: pertama, sebab keturunan. Orang-orang yang termasuk mahram sebab keturunan ada tujuh, yakni ibu, anak perempuan, saudara perempuan, saudara ayah yang perempuan, saudara ibu yang perempuan, anak perempuan dari saudara laki-laki, dan anak perempuan dari saudara perempuan.
Baca Juga: Benarkah Perempuan Tercipta dari Tulang Rusuk Laki-laki?
Kedua, sebab sepersusuan. Syamsul mengatakan, secara khusus dalam al-Quran ada dua bagian mahram sebab susuan, yakni ibu yang menyusui dan saudara perempuan yang sepersusuan.
Mengenai kemahraman yang disebabkan oleh sepersusuan, Menurut Syamsul, kalau sepersusuan karena menyusu langsung pada seorang ibu maka menjadi mahram, tetapi jika sepersusuan dari bank susu, tidak menjadi mahram karena tidak diketahui jelas susu tersebut dari siapa, dan siapa saja yang telah meminumnya.
Ketiga, sebab perkawinan. Kata Syamsul, mahram sebab perkawinan ada enam golongan, yakni ibu istri (mertua), istri anak kandung (menantu), anak istri yang dalam pemeliharaan dari istri yang telah dicampuri. “Anak tiri yang ibunya belum pernah dicampuri namun sudah dicerai, maka boleh baginya untuk menikahi anak tiri tersebut. Tetapi jika ibunya sudah pernah dicampuri, maka haram baginya untuk menikahi anak tirinya,”Jelas Syamsul.
Selain itu, golongan lain yang dilarang dikawini adalah perempuan yang telah dikawini oleh ayah (ibu tiri), dan perempuan yang telah bersuami, dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara.
“Rasulullah melarang menghimpunkan dalam perkawinan dua perempuan yang bersaudara; antara kakak dengan adiknya; antara perempuan dengan bibinya baik dari jalur ayah maupun ibu,” jelas Syamsul.
Adapun perempuan-perempuan selain dari golongan di atas, Syamsul mengatakan, maka halal atau boleh untuk dinikahi. (rizka)