Liputan

Titi Anggraini: Pemilu Susbtantif Tidak Bisa Diwujudkan secara Parsial

Titi Anggraini-Pemilu Substantif
  • Menjelang Pemilu 2024, Suara 'Aisyiyah menyediakan ruang #pemilukita. Ruang ini kami buka agar masyarakat dapat bersama-sama mewujudkan pemilu yang substantif dan inklusif.

Pemilu 2024 tinggal menunggu waktu. Pesta demokrasi lima tahunan itu sudah memunculkan riuh obrolan masyarakat Indonesia di mana saja; di warung kopi, pos ronda, ruang akademik, tak terkecuali di jagad dunia maya. Dalam rangka menyambut dan mewarnai hajatan akbar Pemilu 2024 itu, pada Rabu (17/5), Suara ‘Aisyiyah mewawancarai Titi Anggraini, Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) sekaligus Anggota Lembaga Penelitian dan Pengembangan ‘Aisyiyah (LPPA) PP ‘Aisyiyah.

Menurut Anda, apa yang dimaksud dengan pemilu substantif?

Saya memaknai pemilu yang substantif sebagai pemilu yang mampu mencapai tujuan penyelenggaraannya sebagaimana diamanatkan konstitusi, serta prosesnya berlangsung sesuai dengan nilai, asas, dan prinsip pemilu yang demokratis. Dalam pemilu substantif, hak pilih warga negara ditegakkan dengan baik serta berlangsung dalam kompetisi yang kompetitif dan berkeadilan.

Selain itu, pemilih memiliki kesadaran dan pemahaman yang baik ketika membuat keputusan dalam memilih serta tahu konsekuensi atas pilihan yang dibuatnya. Dengan begitu, pejabat publik yang terpilih pun mampu berkontribusi bagi pencapaian tujuan bernegara dan penguatan demokratisasi di Indonesia.

Sederhananya, pemilu substantif adalah pemilu yang kredibel dan berintiegritas dari sisi penyelenggara, penyelenggaraan, maupun hasilnya.

Indikator atau instrumen apa yang menentukan suatu pemilu dikatakan substantif?

Kita bisa melihat yang paling mendasar dari keterpenuhan asas-asas pemilu yang dijamin konstitusi. Pasal 22E Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyebut bahwa pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. UUD kita menghendaki suatu pemilu yang murni dan juga periodik atau berkala.

Selain itu, Pasal 22E Ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 juga mengatur bahwa pemilu dilaksanakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Artinya pemilu yang luber, jurdil, dan periodik tadi hanya akan mampu terwujud kalau penyelenggara pemilunya profesional dan mandiri.

Selain itu, Pasal 3 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juga sudah mengatur prinsip-prinsip yang harus dipatuhi dalam penyelenggaraan pemilu agar berlangsung konstitusional dan demokratis. Prinsip itu meliputi: mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif, dan efisien. Keseluruhan prinsip itu mesti dipatuhi dalam menyelenggarakan pemilu Indonesia.

Siapa yang bertanggung jawab mewujudkan pemilu yang substantif?

Secara lebih menyeluruh pemilu susbtantif tidak bisa diwujudkan secara parsial atau sektoral. Ia membutuhkan seperangkat sistem yang menopangnya, berupa kerangka hukum pemilu yang demokratis, penyelenggara pemilu yang berintegritas, peserta pemilu –baik partai politik maupun perseorangan yang kompetitif–, birokrasi yang netral, pemilih yang cerdas, serta penegak hukum dan penegakan hukum yang efektif.

Apa hambatan yang membuat pemilu berlangsung secara tidak substantif?

Masih terjadi malapraktik pemilu berupa pelanggaran ataupun kecurangan yang akhirnya menghambat dan mengganggu penyelenggaraan pemilu yang substantif. Mulai dari pengaturan yang belum berkeadilan (manipulation of rules), manipulasi dan gangguan terhadap pemilih (manipulation of voters), serta kecurangan yang menyasar hasil pemilu (manipulation of votes).

Khusus Pemilu 2024, pemilu Indonesia berhadapan dengan tantangan kompleksitas dan kerumitan teknis yang bisa menyulitkan pemilih, peserta, ataupun penyelenggara akibat beban berat penyelenggaraan. Selain itu, besarnya skala kompetisi yang berlangsung membuat kesulitan dalam memahami aturan main dan juga proses serta aktor-aktor politik yang terlibat di dalamnya.

Baca Juga: Mendukung Peran Aktif Generasi Z dalam Pemilu 2024

Jual beli suara masih jadi momok pemilu yang mendistorsi kemurnian suara pemilih dan kompetisi yang berkeadilan. Penyebaran hoaks dan fitnah pemilu juga membuat pemilih terdistorsi dalam membuat keputusan secara bebas dan bertanggung jawab. Daftar pemilih yang valid, bersih, dan berkualitas juga masih jadi tantangan. Masih ada data pemilih yang bermasalah sehingga mengganggu pemenuhan hak pilih warga.

Birokrasi juga masih ada yang partisan dan tidak netral saat pemilu. Selain itu, penyelengga pemilu yang berpihak dan tidak profesional di sejumlah daerah ikut menghambat pemilu substantif.

Polarisasi di masyarakat, sayangnya, tidak berorientasi pada politik gagasan dan program, melainkan terjebak pada hegemoni politik identitas yang kerapkali disertai kebencian antarkelompok. Emosi lebih dipentingkan daripada data dan fakta. Akhirnya terjadi pelemahan kultur kewarganegaraan kita. Kontrol pada pejabat publik jadi mengikuti selera dan pilihan politik, bukan berbasis kinerja.

Bagaimana agar masyarakat sipil dapat berperan menghadapi hambatan-hambatan tersebut?

Kita semua perlu ambil peran dalam melakukan pendidikan politik dan juga penguatan literasi digital di tengah pemilu yang berlangsung saat disrupsi teknologi dan informasi. Hal itu agar pemilih dapat sepenuhnya berdaya memahami esensi dan makna pemilu, serta dampak nilai suara yang ada pada mereka terhadap diri mereka sendiri, pelayanan publik, serta pembangunan dan penyelenggaraan kehidupan bernegara.

Pemilih dan warga masyarakat perlu terus diajak untuk aktif dan kritis pada kebijakan publik yang diambil serta bijak dalam memilah informasi. Hal demikian agar terhindar dari hoaks dan juga penyesatan informasi yang bisa membuat mereka mengambil keputusan yang salah atau terjebak pada kebencian antarwarga yang bisa memecah belah persatuan umat.

Bagaimana pandangan Anda mengenai pemilu di Indonesia yang disebut sebagai pemilu yang paling kompleks di dunia?

Pemilu paling kompleks di dunia disematkan pada Indonesia karena keserantakan pemilu yang menggabungkan pilpres dengan pileg nasional sekaligus pileg daerah disertai penerapan sistem pemilu proporsional terbuka. Mestinya ada penataan keserantakan untuk membuatnya lebih sederhana, yaitu bisa dengan mengubah model keserentakan pemilu menjadi dua kali berupa pemilu serentak nasional untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, serta anggota DPD. Lalu dua tahun setelahnya diselenggarakan pemilu serentak lokal atau daerah untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah serta anggota DPRD di provinsi dan kabupaten/kota.

Kalau tetap dengan model sekarang, pemilih bisa kebingungan, penyelenggara kelelahan, dan berakibat pada tingginya suara tidak sah. Pada Pemilu 2019 lalu saja tercatat ada lebih dari 17,5 juta suara pemilih yang tidak sah atau invalid, serta 894 petugas pemilu meninggal dunia dan 5.175 yang sakit.

Bagaimana upaya agar keterlibatan dan partisipasi perempuan dan kelompok marginal dapat meningkat?

Regulasi pemilu dan pelayanan publik lainnya harus dikawal dan dicermati agar berisikan substansi pengaturan yang inklusif dan antidiskriminasi. Juga program yang digulirkan penyelenggara harus dipastikan melibatkan dan menyasar beragam kelompok, khususnya perempuan dan kelompok marginal. Bukan sekadar menempatkan mereka sebagai objek, tapi juga subjek yang suara dan perannya diperhitungkan dengan baik dalam setiap proses penyelenggaraan pemilu dan bernegara.

Hal yang sama juga harus dituntut dari partai politik dan kandidat. Peserta pemilu harus jelas ide, gagasan, dan programnya untuk pelibatan serta penguatan kapasitas dan peran dari kelompok perempuan, muda, disabilitas, maupun kelompok marjinal lainnya. Kita harus selalu ingatkan peserta pemilu agar tidak meminggirkan isu ini atau sekadar menempatkannya sebagai jargon simbolik belaka. Harus ada tawaran konkret dan pelibatan nyata dari mereka untuk perempuan dan kelompok marginal.

Bagaimana pandangan Anda mengenai minimnya keterlibataan perempuan, baik sebagai penyelenggara maupun peserta pemilu?

Hal itu tak lepas dari paradigma partai politik dan penyelenggara pemilu kita yang belum sepenuhnya inklusif. Bahkan cenderung masih patriarkis dan diskriminatif dalam sejumlah aspek. Kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan masih dianggap sebagai beban, belum sebagai sistem nilai yang memang dibutuhkan untuk mewujudkan persamaan dan keadilan bagi seluruh warga negara. Akibatnya ruang akomodasi bagi keterlibatan perempuan di politik masih setengah hati, bahkan cenderung dilemahkan. Contohnya, melalui pengaturan afirmasi keterwakilan perempuan dalam daftar bacaleg pada Pasal 8 ayat (2) Peraturan KPU No. 10 Tahun 2023 yang akan mengurangi jumlah keterwakilan perempuan pada Pemilu 2024.

Selain itu, akibat sistem politik yang patriarkis dan transaksional, masih banyak perempuan yang enggan dan antipati berpolitik karena dianggap itu dunia maskulin dan kotor. Padahal perempuan penting hadir untuk inklusivitas dan keadilan itu sendiri.

Makanya, kita harus serius berbenah dari mulai regulasi, paradigma, dan komitmen parpol dan penyelenggara pemilu yang harus terus diperkuat. Literasi pemilih soal keadilan dan kesetaraan gender juga perlu terus diperkuat. Muhammadiyah saya kira selalu konsisten dan menjaga komitmennya soal itu, khususnya melalui paradigma Islam berkemajuan yang selalu meninggikan dan memuliakan martabat dan peran perempuan.

Peran kebangsaan apa yang dapat dimainkan oleh warga Persyarikatan untuk mendorong terwujudnya pemilu yang substantif?

Persyarikatan Muhammadiyah punya posisi yang sangat strategis dan krusial. Dengan modalitas anggota dan banyak lembaga pendidikan yang dimiliki, Muhammadiyah bisa mencetak banyak kader potensial untuk berkiprah di ruang publik dari jalur politik dan pemerintahan, baik sebagai kandidat, politisi, ataupun sebagai penyelenggara pemilu yang berkemajuan.

Selain itu, Muhammadiyah bisa ambil peran melalui edukasi politik dan kepemiluan bagi pemilih, terutama menguatkan warga Persyarikatan untuk benar-benar menjadi pemilih cerdas, mau ikut terlibat mengawasi pemilu agar tidak menyimpang, serta menuntut para kontestan agar membangun diskursus berbasis ide, gagasan, dan program sehingga politik dan pemilu benar-benar menjadi perhelatan yang beradab, menyatukan, dan memajukan bangsa. [6/23] (Sirajuddin)

Related posts
Politik dan Hukum

Pentingnya Pendidikan Politik, Pendidikan Kewargaaan

Indonesia sudah beberapa kali menyelenggarakan Pemilu pasca tumbangnya Orde Baru; baik pemilihan untuk memilih Presiden wakil Presiden, memilih anggota legislatif di tingkat…
Politik dan HukumSains dan Tekno

Cakap Bermedia Sosial di Era Polarisasi Informasi

Oleh: Firly Annisa Pemilu kita songsong sejak 14 Februari 2024 lalu. Kontestasi politik kali ini diprediksi oleh para pengamat politik tidak akan…
Politik dan Hukum

Momen Idulfitri: Merajut Kembali Ukhuwah Pasca Pemilu

Oleh: Andre Rosadi* Proses pencoblosan suara dalam pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan anggota legislatif (Pileg) sudah usai pada 14 Februari lalu. Sebagai…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *