Sleman, Suara ‘Aisyiyah – Menjelang Pemilu 2024, Nasyiatul ‘Aisyiyah bekerja sama dengan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI menyelenggarakan Forum Warga Sosialisasi Pengawasan Partisipatif Untuk Sukses Pemilihan Umum Tahun 2024, Sabtu-Ahad (14-15/10).
Forum ini diselenggarakan sebagai bagian dari rangkaian acara Konsolidasi Nasional yang diselenggarakan di Balai Besar Pengembangan Penjaminan Mutu Pendidikan Vokasi Seni dan Budaya (BBPPMPVSB) Sleman, Yogyakarta. Agenda kali ini diikuti 150 peserta yang berasal 34 Pimpinan Wilayah Nasyiatul ‘Aisyiyah se-Indonesia.
Titi Anggraini, Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) hadir sebagai pembicara pada acara tersebut. Ia menyampaikan, setidaknya mulai 2014, daftar bacaleg setiap dapil menguat dan wajib paling sedikit 30% untuk keterwakilan perempuan. Kendati demikian, masyarakat harus senantiasa mengawasi dan mengambil peran untuk mengawasi.
“Pengawasan yang genuine dan otentik itu adalah pengawasan dari masyarakat. Tidak akan ada pemilu yang demokratis tanpa pengawasan substantif yang baik dari masyarakat. Pengawasan negara tidak akan pernah bisa menggantikan pengawasan oleh masyarakat. Karena apa? Karena aktor negara pun bisa tergelincir, aktor negara pun bisa menjadi bagian dari praktik curang,” jelas Titi.
Baca Juga: Mempersiapkan Kiprah Politik Perempuan
Selain itu, Anggota Lembaga Penelitian dan Pengembangan ‘Aisyiyah (LPPA) PP ‘Aisyiyah itu juga mengingatkan bahwa pemilu bukan hanya sekadar hari pemungutan suara, tapi bagaimana juga mengawal rangka hukumnya itu agar betul-betul mampu membentuk kompetisi yang bebas dan adil.
“Bukan sekadar berpemilu hanya untuk menghasilkan pemenang tanpa peduli aturan mainnya, bagaimana pemilunya dilaksanakan, bagaimana manajemennya, bagaimana integritas penyelenggara pemilunya,” imbuh Titi.
Meskipun sudah banyak undang-undang yang mengatur jalannya pemilu di Indonesia, namun masih ada saja undang-undang yang masih tergelincir. Titi mencontohkan KPU menerbitkan peraturan KPU No 10 Tahun 2023 Pasal 8 ayat 2 yang menggunakan metode pembulatan ke bawah kalau perkalian 30% x jumlah caleg menghasilkan desimal kurang dari 0,50 akhirnya.
“Sebagai ilustrasi, jika dapil kursinya empat x 30% maka hasilnya 1,2. Oleh KPU 1,2 karena desimal 0,2 kurang dari 0,5 maka dibulatkan ke bawah sehingga kalau dapil calegnya ada empat, maka 30% itu karena 1,2 dibulatkan jadi 1, cukup hanya mengusulkan satu caleg perempuan,” jelas Titi.
Titi berharap hal tersebut masih harus mendapatkan pengawasan soal implementasi putusan Mahkamah Agung agar dilaksanakan dengan konsisten oleh KPU karena ini adalah bagian dari perjuangan untuk keterwakilan perempuan yang lebih baik lagi. (lia)-sb