“Konstruksi gender dalam perjalanan sejarah peradaban umat manusia dipengaruhi oleh berbagai macam faktor: sosial, kultural, ekonomi, politik, termasuk penafsiran terhadap teks-teks keagamaan”
(Ilyas, 2015: 2)

Di antara ragam isu yang ramai diperbincangkan pada beberapa dekade terakhir adalah soal kesetaraan gender dan feminisme. Dominasi laki-laki di sektor publik mendapat gugatan dari perempuan yang menuntut haknya untuk dipenuhi. Perempuan, dalam pandangan feminisme, bukan hanya memiliki peran domestik, melainkan juga publik.
Pro-kontra menjadi hal yang tidak dapat dihindarkan. Hal ini karena peran laki-laki di sektor publik dan perempuan di sektor domestik dianggap merupakan sesuatu yang bersifat kodrati. Menggugatnya akan dianggap sebagai upaya menggugat ketentuan Tuhan. Meskipun demikian, tidak sedikit aktivis, pemikir dan/atau mufasir yang berusaha meluruskan kesalahpahaman mengenai peran tersebut.
Dalam feminisme, misalnya, dilakukan pembedaan antara konsep seks yang bersifat kodrati dan gender yang merupakan hasil konstruksi sosial-budaya. Pembedaan tersebut guna menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai posisi yang setara
Yunahar Ilyas dalam buku Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an: Studi Pemikiran para Mufasir (Yogyakarta, cet.II 2015) menegaskan bahwa kesetaraan gender mempunyai landasan teologis dalam al-Qur’an, misalnya dalam Q.S. al-Hujurat: 13 dan Q.S. al-Ahzab: 35. Problem kesetaraan menurut Buya Yun merupakan problem penafsiran teks-teks keagamaan.
Pun demikian, apa yang digugat oleh para feminis Muslim adalah penafsiran para mufasir, bukan teks al-Qur’annya (hlm. 4). Bagi mereka, mufasir yang didominasi oleh laki-laki tidak dimungkiri dipengaruhi oleh latar belakang sosial-budaya dan alam pikir patriarkinya sehingga menghasilkan produk penafsiran yang terkesan mendiskreditkan perempuan (hlm. 30).
Ada lima problem kesetaraan yang dibedah dalam buku ini, yaitu; (1) kesetaraan dalam penciptaan; (2) kesetaraan dalam hak kenabian; (3) kesetaraan dalam perkawinan; (4) kesetaraan dalam kewarisan, dan; (5) kesetaraan dalam peran publik. Kelima problem ini dibedah menggunakan
perspektif dua mufasir Indonesia, yakni Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar dan Hasbi Ash-Shiddiqy dalam Tafsir An-Nur.
Selain menggunakan perspektif Hamka dan Hasbi, Buya Yun juga secara konsisten merujuk ke kitab tafsir Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil ayi Al-Qur’an karya At-Thabari, Al-Kasysyaf karya Az-Zamakhsyari, Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim karya Ibn Katsir, Ruh al-Ma’ani karya Al-Alusi, dan Mafatih al-Ghaib karya Ar-Razi. Adapun dirujuknya Tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho, dan Tafsir Al-Maraghi karya Mustafa Al-Maraghi semata karena kedua kitab tafsir tersebut merupakan sumber inspirasi dan rujukan utama yang digunakan oleh Hamka dan Hasbi.
Dengan merujuk ke kitab tafsir yang menggunakan dua bentuk tafsir yang berbeda (at-tafsir bi al-ma’tsur dan at-tafsir bi ar-ra’yi), Buya Yun seolah hendak menegaskan bahwa baik menggunakan dalil naqli maupun dalil aqli, akan selalu ada perbedaan pemahaman terkait topik yang sama. Sederhananya, dari teks yang sama dapat menghasilkan tafsir yang berbeda.
Dalam hal kesetaraan dalam perkawinan dan lebih khusus soal poligami (poligini), misalnya, ayat yang dijadikan dalil kebolehan poligini adalah QS. An-Nisa’: 3; 129. Amina Wadud menganggap keadilan yang harus dicapai adalah keadilan secara lahir dan batin, “mencakup kualitas waktu, persamaan kasih sayang atau pada dukungan spiri-tual, moral dan intelektual” (hlm. 291). Hal ini karena dalam Q.S. An-Nisa’: 129 ditegaskan bahwa seorang suami tidak akan dapat berlaku adil. Amina Wadud lebih cenderung kepada pernikahan monogami (hlm. 291).
Mengenai penafsiran Hamka dan Hasbi tentang poligami, dalam analisis Buya Yun, keduanya dipengaruhi oleh latar belakang sosial dan intelektual. Hamka terpukul dengan perceraian orang tuanya, sementara Hasbi sedikit-banyak terpengaruh pada paham Mu’tazilah. Meskipun tidak sampai pada tahap mengharamkan poligini seperti halnya Mu’tazilah, Hasbi menetapkan syarat yang mempersempit perkawinan poligini (hlm. 346).
Dalam kesimpulannya, Buya Yun menyatakan bahwa terkait persoalan kenabian, poligami, perkawinan beda agama, kepemimpinan dalam keluarga dan kewarisan, Hamka dan Hasbi menafsirkan ayat tanpa pandangan diskriminatif dan misoginis. Keduanya mampu berpikir secara jernih. (Sirajuddin)
Sumber Ilustrasi : https://www.facebook.com/RumahKertasRAMI/posts/judul-kesetaraan-gender-dalam-al-quranpenulis-prof-dr-h-yunahar-ilyashalaman-374/1924357181002697/
Tulisan ini pernah dimuat pada Majalah Suara ‘Aisyiyah, Edisi 2 Februari 2020