Jakarta, Suara ‘Aisyiyah – Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) sepakat bahwa pelaksanaan ibadah haji 1445 H/2024 M jauh lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini disampaikan oleh tokoh Nahdlatul Ulama, Lukman Edy, dan tokoh Muhammadiyah, Sunanto, dalam sebuah diskusi di Jakarta.
Diskusi tersebut juga dihadiri oleh Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Hilman Latief, dan Direktur Center for Economic and Democracy Studies (Cedes) Indonesia, Zaenul Ula.
Sunanto, yang akrab dipanggil Cak Nanto, mengatakan bahwa pelaksanaan haji tahun ini jauh lebih baik daripada tahun lalu. “Semua dikelola dengan sangat baik oleh Kementerian Agama, secara teknis tagline yang diusung ‘Haji Ramah Lansia’ sangat luar biasa, jemaah terlayani dengan baik,” ujarnya.
Cak Nanto juga mengamati bahwa Kementerian Agama terus berupaya melakukan inovasi dalam setiap penyelenggaraan ibadah haji. Upaya ini bertujuan memudahkan jemaah dalam menjalankan ibadah, seperti manasik haji dengan menggunakan fikih taisir yang sesuai dengan syariat namun tidak memberatkan jemaah.
Menurut Cak Nanto, semuanya sudah berjalan dengan sangat baik dan tidak perlu ada kritik, apalagi pembentukan Panitia Khusus (Pansus).
Lukman Edy juga mengungkapkan hal serupa, menyatakan bahwa pelaksanaan haji tahun ini berjalan lancar dan sukses, terutama saat puncak ibadah haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna). Hal ini menunjukkan bahwa transformasi layanan haji sudah dirasakan oleh para jemaah, dan itu sangat positif..
Ia menambahkan bahwa tidak ada lagi jemaah yang terlantar atau berdesakan menunggu bus, seperti yang terjadi di Muzdalifah tahun lalu. “Tahun lalu, banyak peserta haji yang kepanasan dan kelaparan imbas macetnya jalan menuju Mina,” sebutnya.
Lukman Edy menegaskan bahwa tidak perlu ada pembentukan Pansus Hak Angket Haji yang mempermasalahkan kepadatan di Mina dan pengalihan alokasi kuota tambahan. Menurutnya, kedua masalah ini sebenarnya bukan masalah krusial dalam penyelenggaraan haji 2024 dan bisa didiskusikan secara internal untuk mencari solusi terbaik tanpa perlu membentuk pansus haji.
Ia juga menambahkan bahwa akan lebih bijaksana jika persoalan ibadah tidak dipolitisasi, karena jelas ada larangan untuk politisasi agama. “Politisasi biasanya cenderung membawa keuntungan bagi pihak tertentu dengan menggulirkan berbagai isu negatif terhadap layanan haji,” tegasnya.
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag, Hilman Latief, menjelaskan bahwa Pasal 9 Undang-Undang Ibadah Haji menyebutkan bahwa menteri agamalah yang mengatur alokasi kuota tambahan itu.
Menteri Agama kemudian mengalokasikan 10 ribu untuk jamaah haji reguler dan 10 ribu untuk jamaah haji khusus. Pembagian tersebut telah mendapat persetujuan dari Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi dan dituangkan dalam MoU.
Hilman menjelaskan bahwa alokasi tersebut diputuskan dengan mempertimbangkan keterbatasan wilayah Mina, sementara jemaah Indonesia yang besar hanya ditempatkan di sektor 3 dan 4. Jemaah Indonesia harus berbagi tempat dengan jamaah Asia Tenggara lainnya termasuk China.
“Jemaah Indonesia harus berbagi tempat dengan jamaah Asia Tenggara lainnya termasuk China,” paparnya.
Baca Juga: Ketua Komisi VIII: Haji Tahun ini Alhamdulillah Banyak Dapat Pujian Positif
Ia juga menambahkan bahwa sektor 1 dan 2 diperuntukkan bagi jemaah haji khusus. Sementara sektor 5 di wilayah Mina Jadid sudah tidak digunakan mengingat jaraknya yang sangat jauh ke Jamarat. Sementara sektor 5 di wilayah Mina Jadid sudah tidak digunakan mengingat jarak yang sangat jauh ke Jamarat.
Hilman mengungkapkan bahwa dengan luas Mina yang terbatas, pihaknya tidak bisa membayangkan kepadatan yang terjadi apabila 20 ribu kuota tambahan berjubel di tenda yang sempit. Apalagi dengan kuota reguler normal saja, tenda-tenda yang ditempati sudah penuh.
“Sehingga alasan keselamatan jiwa menjadi faktor utama Kemenag dan Kemenhaj Saudi menyetujui pembagian alokasi kuota tambahan dibagi secara merata. Mereka tak ingin karena gara-gara egoisme malah menjadi petaka,” terang Hilman.
Ia menegaskan bahwa Kemenag sudah mengupayakan layanan haji terbaik dengan menghadirkan berbagai inovasi yang bertujuan memudahkan jemaah dalam melaksanakan ibadah haji.
Direktur Cedes, Zaenul Ula, juga menilai bahwa aroma politik terasa kuat dalam putusan Rapat Paripurna Pengesahan Pembentukan Pansus Angket Haji.
“Komunikasi politik yang tidak bagus sangat terlihat, di mana prosedur pembentukan Pansus Angket Haji terkesan buru-buru, seperti mengejar waktu,” ujar Zaenul Ula.
Zaenul Ula menyatakan bahwa komunikasi politik yang buruk sangat terlihat, di mana prosedur pembentukan Pansus Angket Haji terkesan buru-buru, seperti mengejar waktu. Menurutnya, saat proses ketuk palu, operasional pelaksanaan haji yang mau dievaluasi belum selesai.
“Padahal, saat proses ketuk palu, operasional pelaksanaan haji yang mau dievaluasi belum selesai,” ujarnya. Ia juga menduga bahwa ada sesuatu yang tersembunyi karena adanya indikasi rivalitas kelompok yang mencoba memanfaatkan institusi DPR untuk melakukan tekanan secara politik.
Zaenul Ula menegaskan bahwa kesuksesan penyelenggaraan ibadah haji dengan banyaknya inovasi yang telah dilakukan Kemenag patut diapresiasi. Ia menyatakan bahwa tidak perlu adanya Pansus Haji, sebab semua jemaah merasa terlayani dengan sangat baik dan penyelenggaraan ibadah haji tahun ini dapat dikatakan sukses dan lancar.
“Tidak butuh Pansus Haji, sebab semua jemaah merasa terlayani dengan sangat baik dan dapat dikatakan penyelenggaraan ibadah haji terbilang sukses dan lancar,” katanya.
Menurutnya, meskipun ada beberapa permasalahan, namun tidak berdampak signifikan terhadap seluruh rangkaian penyelenggaraan. Ia juga menyatakan bahwa Pansus Haji merupakan agenda kepentingan politisasi pihak-pihak tertentu bukan sebagai aspirasi dari masyarakat.
“Kendati ada sejumlah permasalahan, namun tidak berdampak signifikan terhadap seluruh rangkaian penyelenggaraan. Dapat pula dikatakan bahwa Pansus Haji merupakan agenda kepentingan politisasi pihak-pihak tertentu bukan sebagai aspirasi dari masyaraka,” tandasnya.
Pembentukan Pansus Angket Haji 2024 ini telah memicu berbagai reaksi dan spekulasi di kalangan masyarakat dan politisi. Beberapa pihak mendukung pembentukan pansus dengan alasan bahwa evaluasi terhadap pelaksanaan haji sangat penting untuk perbaikan di masa mendatang.
Namun, ada juga yang menilai bahwa langkah ini lebih dipicu oleh kepentingan politik daripada keinginan untuk melakukan evaluasi yang obyektif. Diskusi publik ini sepakat menyuarakan Closing Statement “Stop Pansus Haji, Transformasi Layanan Haji Yes”. (sa)