
Multidisiplin, Interdisiplin, dan Transdisiplin Amin Abdullah
Judul : Multidisiplin, Interdisiplin, dan Transdisiplin: Metode Studi Agama & Studi Islam di Era Kontemporer
Penulis : Amin Abdullah
Penerbit : IB Pustaka
Tahun : Cetakan III, 2021
Halaman : xl + 368
ISBN : 978-623-91744-2-2
Akhir abad ke-20, cendekiawan Muslim Indonesia Amin Abdullah mulai menggaungkan sebuah paradigma keilmuan baru yang diberi istilah integrasi-interkoneksi. Melalui paradigma keilmuan ini, Amin mengajak kepada agamawan dan ilmuan untuk mempertautkan dan memadukan antara peradaban teks (hadlarah an-nash), peradaban filsafat (hadlarah al-falsafah), dan peradaban santifik modern (hadlarah al-‘ilm).
***
Dunia sedang dan terus berubah. Perubahan itu seringkali berdampak positif bagi kehidupan manusia, tetapi tak jarang menimbulkan efek negatif yang tidak diinginkan. Tidak dapat dimungkiri bahwa kemajuan teknologi informasi telah memberi kesempatan kepada umat manusia untuk memangkas jarak dan waktu, serta meningkatkan efektifitas kerja. Akan tetapi di sisi yang lain, atas nama pembangunan dan kemajuan, nilai kemanusiaan acapkali digadaikan.
Sepanjang sejarah peradaban, krisis merupakan ‘teman akrab’ bagi manusia. Dan peradaban modern disebut-sebut melahirkan krisis multidimensi yang mempunyai wajah berbeda dari krisis pada abad sebelumnya. Terbaru, umat manusia dihadapkan pada pandemi Covid-19 yang berimbas pada mandeknya laju modernitas dan munculnya beragam persoalan di dalam aspek kehidupan manusia, baik itu sosial, budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya. Oleh Sindhunata (2021), Covid-19 disebut sebagai “monster yang menghambat modernitas”.
Di tengah multikrisis itulah agama dan umat beragama semestinya hadir di tengah masyarakat membawa angin segar dan menuntun kepada jalan keluar. Jamak didendangkan adagium bahwa ajaran Islam adalah shalih li kulli zaman wa makan. Al-Quran memang diturunkan Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. lima belas abad yang lalu, tapi substansi ajaran, spirit pembebasan, dan fungsinya sebagai petunjuk bagi umat manusia tetap relevan kapan pun dan di mana pun.
Bagaimana menempatkan ajaran Islam agar tetap relevan di era kontemporer? Menurut Amin Abdullah, untuk membentuk bangunan pemikiran Islam yang zamkany –sesuai dengan waktu dan tempat–, para cendekiawan Muslim dituntut untuk mampu mendialogkan dan mempertautkan antara nash, rasio-intelek, dan pengalaman manusia (hlm. 24-26). Keberhasilan mentrialogkan ketiganya diharapkan akan mampu melahirkan pandangan keagamaan dan pandangan hidup yang segar dan solutif.
Dalam konteks itulah maka linearitas ilmu dan pendekatan monodisiplin tak bisa/boleh lagi dipertahankan dengan alasan akan menimbulkan pemahaman atas ajaran agama yang “kehilangan kontak dengan realitas dan relevansi dengan kehidupan sekitar” (hlm. 116). Mau tidak mau, pendekatan yang monodisiplin harus segera digeser ke pendekatan yang multidisplin, interdisiplin, bahkan transdisiplin.
Pendekatan multidisiplin menempatkan berbagai disiplin keilmuan sebagai sudut pandang untuk mengkaji suatu persoalan tetapi dengan tetap mempertahankan batas dan identitas keilmuan masing-masing. Pendekatan interdisiplin ditandai dengan adanya integrasi metode, teori, atau perspektif dari disiplin ilmu yang berbeda. Adapun pendekatan transdisiplin melibatkan berbagai disiplin ilmu, akademisi, dan pemangku kepentingan, termasuk sektor swasta untuk menciptakan kebijakan atau pengetahuan baru yang lebih maslahat dan berperikemanusiaan.
Baca Juga: Menyegarkan Kembali Kemuhammadiyahan Kita
Amin Abdullah sadar sepenuhnya bahwa upaya menggeser pendekatan dari monodisiplin ke multi-, inter-, bahkan transdisiplin tidaklah mudah. Apalagi ketika menyangkut hubungan antara agama dan ilmu. Amin merujuk klasifikasi Ian G. Barbour yang melihat ada 4 (empat) pola hubungan antara agama dan ilmu, yakni konflik (bertentangan), independen (masing-masing berdiri sendiri), dialog (berkomunikasi), dan integrasi (bersinergi).
Pola hubungan konflik dan independen adalah ciri pendekatan monodisiplin. Sementara pola dialog dan integrasi adalah ciri pendekatan multi-, inter-, dan transdisiplin. Di antara empat pola tersebut, pola hubungan ideal yang mesti dibangun adalah dialog atau integrasi (hlm. 119).
Sudah bukan waktunya teks-teks keagamaan (naql, bayani) sekadar dikaji dengan pendekatan monodisiplin dan eksklusif. Teks-teks tersebut harus juga didialogkan dan diintegrasikan dengan ilmu pengetahuan (‘aql, burhani) dan juga nurani (qalb, irfani). Ketika salah satunya diabaikan, maka akan muncul persoalan baru, baik di wilayah pemahaman keagaman, sosial-kemasyarakatan, lebih-lebih kemanusiaan.
***
Di dalam buku ini, Amin terus mengingatkan kepada pembaca bahwa realitas sosial, politik, dan keagamaan, baik di lingkup lokal maupun global sedang mengalami perubahan yang sedemikian cepat. Dan agama bertugas merespons atau memberi jawaban atas persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh perubahan tersebut dengan cara berdialog dengan disiplin ilmu yang lain, bukan berdiri sendiri.
Sebagai langkah awal untuk mengakhiri era pendekatan monodisiplin dan untuk memulai pendekatan multi-, inter-, dan transdisiplin, buku ini perlu dibaca. Meminjam bahasa Budhy Munawar Rachman, gagasan Amin Abdullah di dalam buku ini semacam oase yang memberikan kesejukan dan ketenangan di tengah multikrisis yang tengah melanda dunia saat ini. (brq)