Al-Quran surat ar-Rum [30]: 21 menyebutkan tujuan perkawinan adalah untuk memperoleh ketenangan hidup dan menumbuhkan saling mencintai dan menyayangi antara suami isteri. Keluarga sakinah tercermin dalam doa ’ibadurrahman sebagaimana disebutkan di dalam al-Quran surat al-Furqan [25]: 74, memohon kepada Allah agar isteri dan keturunannya menjadi penyenang hati, dan hidupnya menjadi panutan orang-orang muttaqin. Hidup menjadi panutan orang-orang muttaqin adalah hidup saleh, hidup berperilaku baik yang menjauhkan dari durhaka kepada Allah, sebagaimana tercermin dalam al-Quran surat at-Tahrim [66]: 6 yang membebani tanggung jawab kepada kepala keluarga untuk memelihara diri dan keluarganya dari perbuatan-perbuatan yang akan menjerumuskan kepada siksa neraka. Keluarga sakinah terwujud jika masing-masing anggota keluarga dapat memenuhi kewajibannya terhadap yang lain, hubungan hak dan wajib terjadi secara serasi, sesuai ketentuan Allah dan Rasulnya.
Pengaruh Keluarga terhadap Moralitas Anggotanya
Al-Quran surat Maryam [19]: 28 menceritakan kecaman orang-orang Yahudi kepada Maryam, yang mereka tuduh telah berbuat zina, karena melahirkan anak (Isa as), padahal tidak diketahui bersuami. Kata orang-orang Yahudi, artinya: “Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sama sekali bukan orang yang jahat, dan ibumu pun sama sekali bukan seorang perempuan pezina (mengapa kau berbuat serong?)”. Ayat al-Quran ini mengisyaratkan bahwa orang tua sebagai tonggak keluarga sangat besar pengaruhnya terhadap moralitas anak. Bahkan hadits Nabi saw. menegaskan bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, sesuai dengan pembawaan asal kejadiannya, cenderung kepada Islam yang mengajarkan tauhid. Kedua orang tuanya yang menjadikannya beragama Yahudi, Nasrani, dan Majusi. Al-Quran juga mengajarkan agar suami isteri jika mengharapkan memperoleh keturunan, hendaklah memohon kepada Allah agar keturunannya nanti dapat mewarisi kebaikan, bahkan tugas mulia orang tuanya. Dalam hal ini al-Quran menceritakan bagaimana doa Nabi Zakariya as. ketika memohon diberi keturunan, mohon dianugerahi anak yang akan mewarisi tugas mulianya, dan mewarisi tugas mulia keluarga Ya’qub as, serta dimohonkan agar dapat menjalani hidup yang mendatangkan ridhaNya (QS. Maryan: 6).
Dari kutipan beberapa ayat al-Quran dan sebuah hadits Nabi tersebut diperoleh kepastian bahwa keluarga benar-benar sangat besar pengaruhnya terhadap moralitas anggotanya.
Pembinaan Moralitas dalam Keluarga
Pembinaan moralitas dalam keluarga menurut ajaran Islam hakikatnya dimulai sejak pemilihan jodoh sebelum perkawinan. Pilihan jodoh yang tepat didasarkan atas pertimbangan yang dititikberatkan pada faktor jiwa agama. Selama menjalani hidup berumahtangga, suami isteri selalu berusaha dalam suasana mendekatkan diri kepada Allah. Di saat akan melakukan hubungan didahului dengan doa mohon dijauhkan dari setan, baik untuk diri mereka sendiri, maupun untuk anak yang mungkin dihasilkan dari hubungan tersebut. Menyambut kelahiran anak dengan penuh kesyukuran kepada Allah. Membesarkan anak dengan penuh rasa tanggung jawab atas amanah Allah. Memilihkan tempat pendidikan yang akan memperkokoh keagamaan anak. Pendidikan ibadah dalam keluarga memperoleh perhatian penuh. Ibu sangat besar peranannya dalam menumbuhkan kejiwaan anak. Perhatian ibu kepada keluarga mengambil bagian lebih besar dalam mewujudkan generasi penerus yang didambakan. Contoh teladan yang baik (uswah hasanah) orang tua ikut menentukan keberhasilan pendidikan moralitas dalam keluarga.
Pembinaan moralitas dalam keluarga mencakup banyak aspek; moralitas individual, moralitas keluarga, moralitas ketetanggaan, moralitas sosial dan moralitas keagamaan. Cakupan pembinaan moralitas dalam keluarga yang demikian luas itu diharapkan akan sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat luas pula.
Pembinaan Moralitas Masyarakat
Rasulullah saw. hadir di tengah-tengah masyarakat yang mengalami demoralisasi. Oleh karenanya, beliau membawa misi untuk memperbaiki moralitas umat. “Aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak mulia”, demikian sabda beliau menurut riwayat al-Bazzar dll. Sebagai pembina akhlak, beliau sendiri berakhlak mulia (QS al-Qalam: 4), sehingga kehidupannya menjadi suri tauladan yang baik (QS al-Ahzab: 21).
Dalam membina moralitas umat, ditempuh jalan menyadarkan hakikat kedudukan dan misi hidup manusia. Ditanamkan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah untuk memakmurkan kehidupan di bumi, dan memperoleh kehormatan sebagai khalifah di bumi, tetapi akhirnya harus mempertanggungjawabkan amanah Allah itu kelak di akhirat. Selama 13 tahun Nabi Muhammad saw. berdakwah di Makkah menekankan pada pembinaan aqidah dan akhlak. Baru setelah beliau berhijrah ke Madinah, pembinaan masyarakat secara lebih luas diadakan. Unsur-unsur penunjang realisasi ajaran Islam diwujudkan dalam peraturan-peraturan hukum yang bersangsi duniawi, dengan menggunakan kekuasaan politik kenegaraan. Bimbingan dan santunan kemasyarakatan pun diselenggarakan. Kecemburuan sosial dibendung dengan ajaran keadilan sosial yang mantap.
Hanya dalam waktu 23 tahun Rasulullah saw. berhasil mengubah masyarakat jahiliyah yang penuh dengan kebiadaban, menjadi masyarakat beradab dan berperadaban. Sumber ajarannya adalah al-Quran dan Sunnah beliau, dengan melestarikan kebiasaan-kebiasaan atau tradisi yang memiliki nilai keutamaan sesuai jiwa ajaran al-Quran dan Sunnah Rasul.
Pembinaan Moralitas Masyarakat Kita
Dengan mengkaji kesuksesan pembinaan moralitas masyarakat yang dilakukan oleh Rasulullah saw., kita sebagai bangsa yang religius, dengan mayoritas beragama Islam, dan yang telah meletakkan “taqwa” sebagai nilai hidup bangsa yang sangat ditonjolkan, kiranya langkah-langkah Rasulullah dalam membina moralitas umat itu dapat kita jadikan contoh yang sangat berharga. Jiwa agama kita tanamkan kepada masyarakat, dengan pendidikan sedini mungkin di kalangan anak-anak. Lingkungan diciptakan menuju keberhasilan penanaman jiwa keagamaan. Political will sangat diperlukan. Keteladanan para pemuka masyarakat mutlak diperlukan juga. Dukungan peraturan perundang-undangan pun mutlak diadakan. Ketimpangan sosial berangsung-angsur diatasi. Kepekaan sosial di kalangan masyarakat ditumbuhkan dan dipupuk. Rasa tanggung jawab dikembangkan, bukan hanya tanggung jawab kepada sesama, tetapi lebih-lebih tanggung jawab kepada Tuhan.
Penutup
Sebagai penutup uraian ini dapat disimpulkan bahwa untuk mengatasi demoralisasi dan meningkatnya kriminalitas yang sangat memprihatinkan dewasa ini dimulai dengan pembinaan moralitas dalam keluarga. Pembinaan moralitas dalam keluarga hanya akan terjadi dalam keluarga sakinah. Keluarga sakinah dalam arti sebenarnya hanya terwujud jika berpedoman kepada ajaran agama, dalam hal ini Islam. Pembinaan moralitas dalam keluarga mencakup seluruh aspek kehidupan. Contoh teladan orang tua mutlak diperlukan. Pembinaan moralitas masyarakat dilakukan sebagai perluasan pembinaan moralitas dalam keluarga. Lingkungan yang mendukung pembinaan moralitas masyarakat sangat diperlukan, dukungan kekuasaan politik sangat diperlukan. Dukungan peraturan perundangan pun sangat diperlukan. Keteladanan pada pemuka agama dan masyarakat serta negara ikut menentukan keberhasilan usaha pembinaan moralitas, yang sekaligus keberhasilan penanggulangan demoralisasi dan meningkatnya kriminalitas.
Sumber: Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi Agustus 1989