Wakaf dapat dibagi dua macam: wakaf ahli (keluarga atau khusus) dan wakaf khairi (umum). Pertama, wakaf ahli atau wakaf keluarga atau dapat dinamakan wakaf khusus ialah wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih, baik keluarga wakif atau bukan. Misalnya seseorang menyatakan mewakafkan buku-bukunya untuk anak-anaknya yang mampu mempergunakan, kemudian kepada cucu-cucunya, dst.
Wakaf macam ini dipandang sah, dan yang berhak menikmati harta wakaf itu adalah mereka yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf. Soal yang mungkin timbul, bila anak keturunan wakaf tidak ada lagi yang mampu mempergunakan buku-buku wakaf tersebut, atau anak keturunannya menjadi punah, bagaimana nasib harta wakaf itu?
Bila terjadi hal tersebut, kita kembalikan kepada adanya syarat bahwa wakaf tidak boleh dibatasi dengan waktu tertentu; dengan demikian, meskipun anak keturunan wakif yang menjadi tujuan wakaf itu tidak ada lagi yang mampu mempergunakan atau menjadi punah, buku-buku tersebut tetap berkedudukan sebagai harta wakaf yang dipergunakan keluarga wakif yang lebih jauh atau dipergunakan untuk umum.
Menurut pengalaman, wakaf ahli, terutama yang berupa tanah-tanah pertanian, setelah melampaui waktu ratusan tahun, menjumpai kesulitan-kesulitan dalam melaksanakannya, sesuai dengan tujuannya. Lebih-lebih bila anak keturunan wakif yang menjadi tujuan wakaf itu berkembang sedemikian rupa, sehingga amat menyulitkan cara bagaimana meratakan pembagian hasil harta wakaf untuk mereka yang berhak menerima. Seringkali biaya administrasi yang diperlukan lebih besar dari hasil yang diterimakan kepada mereka yang berhak.
Menghadapi kenyataan semacam itu, di beberapa negara yang dalam bidang perwakafan telah mempunyai sejarah lama, lembaga wakaf ahli itu diadakan peninjauan kembali, yang hasilnya dipertimbangkan lebih baik lembaga wakaf ahli itu dihapuskan. Mesir misalnya, menghapuskan lembaga itu dengan undang-undang no. 180 tahun 1952. Sebelum itu Suriyah telah menghapuskannya juga.
Untuk sementara waktu rasanya lembaga wakaf ahli itu dapat diambil menjadi jalan keluar untuk mempertemukan ketentuan-ketentuan hukum adat beberapa daerah Indonesia dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam, yaitu mengenai macam-macam harta yang menurut hukum adat dipertahankan menjadi harta keluarga secara kolektip, tidak diwariskan kepada anak keturunan secara individuil, seperti tanah pusaka tinggi di Minangkabau, tanah dati di Ambon, barang-barang kalakeran di Sulawesi, dsb.
Baca Juga: Pemanfaatan Tanah Wakaf
Kedua, wakaf khairi atau wakaf umum ialah wakaf yang sejak semula ditujukan untuk kepentingan umum, tidak dikhususkan untuk orang-orang tertentu.
Apabila kita perhatikan kembali wakaf Umar pada masa Nabi saw. sebagaimana disebutkan dalam dasar amalan wakaf, dapat kita peroleh kesimpulan bahwa wakaf Umar tersebut ditujukan untuk kepentingan umum, meskipun disebutkan juga tujuan untuk sanak-kerabatnya, di samping tujuan yang bersifat umum. Oleh karenanya, penyebutan sanak-kerabat sebagai tujuan wakaf itu dapat dipandang sebagai suatu tujuan wakaf itu dapat dipandang sebagai suatu tekanan agar sanak-kerabatnya jangan sampai tidak ikut menikmati hasil harta wakaf. Menyebutkan fakir-miskin sebagai tujuan wakaf, sebenarnya sudah mencakup siapapun yang termasuk dalam golongan fakir-miskin, baik itu sanak-kerabat Umar sebagai wakif atau bukan sanak-kerabatnya.
Wakaf khairi inilah yang sejalan benar dengan jiwa amalan wakaf yang amat digembirakan dalam ajaran Islam itu, yang dinyatakan bahwa pahalanya akan terus mengalir, sampaipun bila wakif telah meninggal, selagi harta wakaf masih tetap dapat diambil manfaatnya. Wakaf khairi inilah yang benar-benar dapat dinikmati hasilnya oleh masyarakat secara luas dan dapat merupakan salah satu sarana untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat, baik dalam bidang sosial-ekonomi, pendidikan, kebudayaan, maupun keagamaan.
Syarat-Syarat dari Wakif
Wakif dapat memberikan syarat-syarat penggunaan harta wakaf, dan syarat-syarat itu harus dihormati selagi tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Misalnya seseorang mewakafkan tanah untuk mendirikan sekolah yang khusus untuk pendidikan keputrian. Syarat seperti itu harus dihormati, karena tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Apabila syarat-syarat penggunaan harta wakaf bertentangan dengan ajaran Islam, wakafnya dipandang sah, tetapi syarat-syaratnya batal. Misalnya seseorang mewakafkan tanah untuk mendirikan masjid, dengan syarat hanya dipergunakan oleh para anggauta perkumpulan tertentu, maka wakafnya dipandang sah, tetapi syaratnya tidak perlu diperhatikan, masjid yang didirikan di atas tanah wakaf itu dipergunakan untuk umat Islam pada umumnya, tidak hanya pada anggauta perkumpulan yang ditunjuk wakif.
Kedudukan Hak Milik Harta Wakaf
Sejalan dengan kedudukan wakaf sebagai salahsatu macam shadaqah, harta wakaf terlepas dari hak milik wakif, dan tidak pula pindah menjadi milik orang-orang atau badan-badan yang menjadi tujuan wakaf (maukuf ‘alaih). Harta wakaf terlepas dari hak milik wakif sejak wakaf diikrarkan dan menjadi hak Allah yang kemanfaatannya menjadi hak maukuf ‘alaih. Dengan demikian harta wakaf menjadi amanat di tangan pengawas (nazhir).
Misalnya bila seseorang mewakafkan kebun kelapa untuk pemeliharaan rumah-sakit yang diselenggarakan oleh sesuatu yayasan Islam, maka kebun kelapa itu sejak diikrarkan sebagai harta wakaf terlepas dari hak milik wakif, pindah menjadi hak Allah dan merupakan amanat pada yayasan yang menjadi tujuan wakaf tersebut.
Tentang bagaimana cara mengolah kebun kelapa itu untuk memperoleh hasil yang dapat dipergunakan memelihara dan membiayai rumah sakit bersangkutan, diserahkan sepenuhnya kepada yayasan yang menjadi tujuan wakaf, tetapi dalam waktu sama bertindak sebagai nazhir yang menerima amanat harta wakaf tersebut. Apakah akan diserahkan kepada orang yang dipercaya menjaga dan memelihara dengan perjanjian bagi hasil ataukah dengan cara lain, sepenuhnya menjadi wewenang nazhir wakaf.
Segala sesuatu yang diperoleh dari hasil harta wakaf, yang diusahakan atas nama nazhir wakaf, berkedudukan sebagai harta wakaf pula. Misalnya wakaf kebun kelapa tersebut bila hasilnya dapat diperkembangkan hingga selain cukup untuk membiayai rumah-sakit dimaksud masih terdapat sisa uang yang dapat dikumpulkan hingga cukup untuk membeli tanah, kemudian membangun rumah di atasnya, maka tanah berikut rumah tersebut berkedudukan sebagai harta wakaf pula.
Catatan:
- Harta wakaf tidak disyaratkan harus berasal dari satu orang. Harta wakaf yang berasal dari beberapa orang, misalnya suatu yayasan wakaf dapat mewujudkan harta wakaf dengan jalan mengumpulkan dana dari masyarakat, sebagaimana yang banyak dilakukan bila orang akan membangun tempat-tempat beribadah, rumah sekolah, dsb-nya.
- Pengumpulan dana untuk kepentingan amal-amal kebajikan yang tidak memenuhi syarat-syarat wakaf, dimasukkan dalam golongan amal sabilillah. Misalnya dana untuk penerangan jalan, untuk penyelenggaraan pengajian-pengajian, dsb-nya. Membelanjakan harta untuk amal sabilillah itupun diperintahkan dalam ajaran Islam.
Sumber: Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi April 1989