Para Rasul dari Adam as. hingga Muhammad saw. telah membawa ajaran Allah, dan ajaran yang dibawa Nabi Muhammad saw. merupakan ajaran yang telah disempurnakan, hingga al-Islam merupakan rahmat bagi sekalian alam, pedoman paling sah di hadapan Allah swt. menggantikan kedudukan ajaran yang pernah Allah sampaikan melalui ajaran Rasul pendahulunya.
Ini merupakan kehendak Allah yang harus diyakini.
Apabila ingin sejahtera di dunia, bahagia di akhirat, menghadap Allah disambut dengan ridha-Nya, ajaran Islam merupakan alternatif pilihan selama hidup di dunia ini.
Bersyukurlah kita termasuk orang yang membuka hati untuk menerima ajaran Islam yang diridhai Allah. Kesyukuran itu perlu diwujudkan dengan niat ikhlas dalam mengembangkan penghayatan dan pengamalan ajaran Allah, baik hal yang termaktub dalam al-Quranul karim, maupun as-Sunnah yang disampaikan Nabi Muhammad saw.
Sejalan dengan itu, marilah kita kaji sebagian aspek petunjuk Allah dalam surat Fathir: 15-18, yang harus jadi pedoman kita sekalian, yang tertuju untuk seluruh umat manusia di mana pun, dan pada masa kapan pun, hingga hari akhir nanti.
“Hai manusia, kamu faqir (berkehendak) kepada Allah, dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (Q.S. Fathir: 15).
Hidayah, pertolongan Allah, ridha Allah pada bagian ayat ini menanamkan keyakinan, bahwa kita makhluk yang diciptakan Allah, dipersiapkan untuk menerima amanat Allah, untuk selalu membaktikan kehidupan kita kepada Allah. Tanpa ada rasa butuh kepada Allah kita akan lepas ikatan dengan Allah. Dan kalau ini terjadi, maka keluarlah kita dari golongan makhluk Allah yang dapat mendudukkan diri secara proporsional dalam hidup ini.
Apabila kita yakin bahwa kita benar-benar butuh kepada Allah, maka kita akan menyadari betapa petunjuk-petunjuk Allah merupakan rahmat cerminan kasih sayang-Nya kepada kita umat manusia. Di samping akan merasakan bahwa kewajiban yang dibebankan kepada kita bukan merupakan beban, melainkan sebagai konsekuensi logis yang harus ditempuh manusia untuk mendapatkan ridha Allah swt.
Salat kita dan aturan yang menyangkut profesi kita dalam hidup ini merupakan aturan yang justru memenuhi kebutuhan kita untuk mendapatkan ridha Allah swt.
Maka dari itu, pada tempatnyalah jika kita umat beriman, saat dipanggil kepada ajaran Allah dan Rasul-Nya, Rasul menentukan hak-hak hidup bagi kita umat manusia, jawabnya tidak lain “sami’na wa atha’na”, kita telah mendengar dan akan mentaati peraturan dari Allah dan Rasul-Nya.
Allah Maha Kaya, tak butuh kepada makhluknya. Ketaatan manusia tak akan menambah kebesaran Allah. Sebaliknya, kebesaran Allah tak berkurang, apabila seluruh umat manusia kafir kepada-Nya.
Baca Juga: Tulisan Azhar Basyir: Tinjauan Sejarah Hukum Islam
Pada hakikatnya, aturan-aturan hidup yang datang dari Allah adalah untuk kepentingan manusia yang membutuhkan Allah, bukan kepentingan Allah. Maka kita perlu bertanya pada diri sendiri: inginkah kita hidup bahagia, sejahtera? Apabila iya, tak ada jalan lain, kita harus mentaati apa yang sudah menjadi petunjuk Allah untuk manusia, baik yang tercantum dalam al-Quran maupun hadits Rasulullah.
Selanjutnya, “Jika dikehendaki-Nya, niscaya dimusnahkan-Nya kamu dan didatangkan-Nya makhluk yang baru” (Q.S. Fathir: 16).
Karena Allah tidak butuh kepada manusia, maka Allah berkuasa jika menghendaki untuk melenyapkan hamba-hamba-Nya yang membangkang kepada-Nya. Dan menggantinya dengan umat lain yang lebih taat kepada-Nya.
Kita hidup diliput oleh pertolongan Allah atau murka-Nya, tergantung pada keinginan kita sendiri.
Allah dapat dan tidak sukar untuk memusnahkan orang yang durhaka, serta menggantikannya dengan umat lain yang taat kepada-Nya, seperti apa yang tercantum dalam firman-Nya:
“Demikian itu tidak sukar bagi Allah” (Q.S. Fathir: 17).
Kemudian, “Orang yang berdosa tiada akan memikul dosa yang lain. Jika orang yang berat (oleh dosanya) menyeru supaya diringankan pikulannya, niscaya tiadalah orang yang mau memikulnya sedikit pun, meski karibnya sendiri. Hanya yang engkau beri peringatan, ialah orang-orang yang takut kepada Tuhan-Nya tentang perkara yang ghaib (kampung akhirat) dan mendirikan salat. Barangsiapa membersihkan (hatinya dari kekafiran) maka sesungguhnya ia membersihkan untuk dirinya sendiri. Dan kepada Allah tempat kembali” (Q.S. Fathir: 18).
Tanggung jawab manusia yang berdosa tidak dapat dibebankan kepada orang lain. Ini merupakan koreksi terhadap ajaran Nasrani yang menganut paham “dosa turunan”. Sebab masing-masing orang menanggung akibat perbuatannya sendiri-sendiri.
Meski demikian, dimungkinkan orang bertanggung jawab atas perbuatan dosa orang lain. Orang yang memerintah kepada orang lain untuk melakukan dosa (dari perbuatan tertentu), jika perintahnya itu dilakukan orang lain, maka besar dosa keduanya sama. Orang yang memerintah berdosa karena perintahnya dilakukan orang lain, sedang yang diperintah juga berdosa, karena mau melakukan apa yang diperintahkan. Dengan kata lain, orang yang memerintah ikut bertanggung jawab kepada perbuatan orang yang diperintahnya.
Memberi petunjuk tidak baik yang diikuti oleh orang lain, maka orang yang memberi petunjuk berdosa dalam memberi petunjuk. Dan orang yang diberi petunjuk berdosa karena melaksanakan petunjuk itu.
Melindungi orang yang berbuat jahat, dosanya sama besar dengan orang yang melakukan perbuatan dosa atas perlindungannya.
Membiarkan orang berbuat jahat, padahal ia mampu mencegahnya, maka apabila kejahatan itu semakin merajalela, orang yang membiarkan itu sama besar dosanya dengan orang yang melakukan kejahatan tersebut.
“Nahi mungkar” merupakan ajaran penting dari Islam untuk membebaskan diri dari tanggung jawab terhadap kejahatan yang dilakukan oleh orang lain, di samping untuk membebaskan masyarakat dari pengaruh kejahatan tersebut.
Memberi contoh berbuat jahat kepada orang lain, sedang dirinya merupakan panutan masyarakat (baik disadari atau tidak), jika kejahatan itu dilakukan masyarakat (karena mencontoh dirinya), maka dosa yang dilakukan masyarakat itu ikut menjadi tanggung jawabnya.
Pepatah “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, jika ini terjadi, kesalahan anak yang kencing dengan berlari itu menjadi tanggung jawab guru yang mendidiknya. Sehingga sungguh penting nilai keteladanan dalam masyarakat. Untuk menjadi teladan, perlu mengikuti kepada keteladanan yang pernah diperlihatkan Rasulullah saw., karena pada diri beliau sungguh terdapat “uswatun hasanah”, contoh yang baik buat kita sekalian.
Orang tua harus memperlihatkan keteladanan dalam membina rumah tangganya. Jangan sampai, seorang menyuruh berbuat baik pada anaknya, sedang dirinya memberi contoh yang tidak baik. Sebab anak sekarang lain dengan anak zaman dulu. Dulu anak cuma membatin bila melihat orang tua berbuat hal yang tak cocok dengan apa yang dinasihatkannya. Sekarang, anak sudah berani membantah kepada orang tua yang justru melakukan perbuatan yang tak sesuai dengan yang dikatakannya.
Sehingga pada zaman sekarang, seorang tua harus menjadi teladan bagi anak-anak dalam membina kehidupan keluarga yang diwarnai jiwa ajaran al-Quran dan sunnah Rasul.
Orang yang menyucikan diri dari kemusyrikan, dari kejahatan memenuhi godaan setan, pada hakikatnya ia menyucikan untuk kepentingan dirinya sendiri.
Hanya kepada Allah jualah tempat kembali manusia.
Mari kita memohon kepada Allah agar dikokohkan keimanan kita, dimantapkan ke-Islam-an kita, dikuatkan hasrat untuk melaksanakan iman dan Islam yang kita yakini mutlak kebenarannya, dan berasal dari Allah swt. Sehingga janji Allah untuk memberikan kehidupan yang sejahtera di dunia, bahagia di akhirat, kembali kepada Allah dengan ridha-Nya, akan betul-betul kita peroleh. Aamiin ya Rabbal ‘alamin.
*Sumber: Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi Oktober 1986 (dengan sedikit perbaikan teknis)