Pada masa Nabi masih hidup, segala sesuatu yang diperlukan masyarakat dapat diselesaikan dengan ketetapan wahyu atau sunnah. Tidak banyak yang dapat dicatat sebagai hasil ijtihad. Meskipun Nabi sendiri kadang-kadang memberikan ketetapan dengan ijtihad.
Sepeninggal Nabi, khalifah Abubakar pernah menghadapi gerakan pembangkangan (riddah) dari kabilah-kabilah pedalaman yang antara lain mengingkari kewajiban membayar zakat. Menghadapi gerakan demikian itu terjadi perbedaan pendapat antara khalifah Abubakar dan sahabat Umar mengenai tindakan apa yang akan dilakukan, apakah dengan kekerasan atau harus dengan lunak. Atas hadits Nabi yang mengajarkan bahwa jika orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadah harus dijamin keselamatan jiwa dan hartanya, sahabat Umar berpendapat bahwa terhadap orang-orang murtad itu tidak boleh dilakukan tindakan kekerasan.
Sedang khalifah Abubakar lebih menekankan pada pemahaman jiwa ajaran tersebut; ingkar kewajiban zakat berarti telah melanggar dengan terang-terangan kewajiban yang dituntut oleh dua kalimah syahadah yang mereka ikrarkan. Menurut khalifah Abubakar telah cukup alasan untuk menindak mereka dengan kekerasan yang kemudian terjadi “hard riddah (penumpasan terhadap gerakan pembangkangan)” yang amat terkenal dalam sejarah umat Islam. Perbedaan pendapat antara khalifah Abubakar dan sahabat Umar itu terhadap nash sunnah. Sahabat Umar lebih menekankan kepada zhahir nash, sedang khalifah Abubakar lebih menekankan pada jiwanya.
Sepeninggal Abubakar, khalifah berada di tangan sahabat Umar. Pada masa pemerintahan khalifah Umar ini banyak hal-hal baru yang dihadapi sebagai akibat perkembangan masyarakat yang antara lain disebabkan oleh kontak kaum muslimin dengan dunia luar makin meluas. Kebutuhan berijtihad dalam memahami hukum Islam amat mendesak. Tujuan hukum Islam khususnya dalam bidang muamalat agar dapat tercapai “mashalihil ‘ibad” mendorong khalifah Umar melakukan ijtihad terhadap bukan saja yang tidak dinashkan, tetapi juga terhadap ayat-ayat al-Quran dan sunnah.
Rampasan peran tidak diperlukan seperti yang dipraktikkan pada masa Nabi dan khalifah Abubakar. Yang diperuntukkan bait al-mal tidak hanya seperlima, tetapi seluruhnya. Al-Quran yang mengizinkan perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab tidak diberlakukan terhadap gubernurnya di Iadain, Hudzaifah ibn al-Yaman. Talak tiga sekaligus yang semestinya hanya jatuh satu ditetapkan jatuh tiga. Orang muallaf tidak diberi bagian zakat, padahal al-Quran memberikannya. Masalah “gharawain” dalam hukum waris. Hukuman pencurian tidak dilaksanakan pada masa paceklik. Masih manyak lagi ijtihad Umar yang tidak sempat disebutkan.
Pada masa pemerintahan khalifah Usman tidak banyak tercatat hasil-hasil ijtihad yang menonjol, bahkan terlihat hanya kemunduran-kemunduran konstelasi politik yang berakhir dengan terjadi tragedi pembunuhan terhadap diri khalifah. Kekalutan politik masih berlangsung setelah Ali menggantikan khalifah Usman. Karena pada masa itu terjadi pertikaian politik berdarah berkepanjangan hingga berakibat terjadinya pembunuhan terhadap diri khalifah Ali oleh kaum khawarij.
Baca Juga: Muhammadiyah dan Pembaruan Islam
Stabilitas politik yang relatif dapat dikatakan mantap pada masa pemerintahan Bani Umayah, kemudian dilanjutkan pada masa pemerintahan Bani Abbas memberi kesempatan baik bagi perkembangan pemikiran keislaman di kalangan umat Islam dalam berbagai macam bidang, termasuk bidang hukum.
Masa pemerintahan Bani Abbas mencatat perkembangan ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam dalam berbagai macam bidang, termasuk bidang hukum. Masa pemerintahan Bani Abbas mencatat perkembangan ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam sebagai hasil perkenalan umat Islam dengan kebudayaan bangsa-bangsa lain, seperti Yunani, Romawi, Persi, India, dan sebagainya. Ijtihad dalam hukum Islam dilakukan oleh banyak fuqaha dengan latar belakang sosio-kultural yang bermacam-macam di wilayah-wilayah yang kemudian rakyatnya menganut agama Islam.
Lahirlah kemudian berbagai macam mazhab, seperti Syi’ah, Kawarij, dan Ahlussunnah. Di kalangan fuqaha Ahlussunnah menonjol tokoh-tokoh seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal yang nantinya mempunyai pengikut-pengikut yang kemudian melahirkan mazhab-mazhab yang hingga saat ini masih banyak penganutnya di berbagai daerah negara Islam. Pada masa itulah pemikiran hukum Islam berkembang pesat yang dapat mencerminkan pemikiran kefilsafatan tentang hukum Islam.
Kelemahan yang dialami umat Islam sejak pertengahan abad ke empat Hijriah berpengaruh besar terhadap pemikiran-pemikiran hukum Islam. Untuk menghindari kekacauan pemikiran pemikiran terhadap hukum Islam, lahirlah fatwa untuk menutup pintu ijtihad di kalangan ulama Ahlussunnah dan mewajibkan umat Islam menganut salah satu dari empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Kaum Syi’ah tidak pernah menutup pintu ijtihad.
Penutupan pintu ijtihad berjalan lama hingga kira-kira menjelang berakhirnya abad 19 Masehi (akhir abad 13 Hijriah). Meskipun harus diakui bahwa di tengah-tengah abad penutupan pintu ijtihad ada juga tokoh-tokoh yang tampil untuk melepaskan diri dari belenggu taqlid seperti Muhammad bin Abdulwahab di Hijaz yang memperoleh inspirasi dari alam pikiran ibn Taimiyah, ulama mujtahid abad 7 hijriah. Gerakan ijtihad abad yang lalu mencatat tokoh-tokoh seperti Muhammad bin Sanusi di Libia, Al-Mahdi di Sudan, Jamaluddin Al-Afghani di Mesir, bersama-sama dengan Muhammad Abduh yang dilanjutkan oleh Rasyid Ridha yang membukukan Tafsir Al-Manar sebagai rekaman dan penyempurnaan kuliah-kuliah tafsir al-Quran yang diberikan oleh Muhammad Abduh. Afghani, Abduh, dan Rasyid Ridha amat besar pengaruhnya terhadap gerakan-gerakan pembaharuan Islam di Indonesia.
Hingga saat ini dunia Islam menampilkan pemikiran-pemikiran baru tentang Islam yang tengah dalam proses, termasuk pemikiran-pemikiran hukum Islam yang dapat dikategorikan sebagai pemikiran yang bercorak kefilsafatan.
*Sumber: Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi Desember 1984 (dengan sedikit perbaikan teknis)
1 Comment