Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa wanita memiliki kedudukan yang tinggi, terutama dalam bidang politik. Dari prasasti awal sejarah Indonesia terdapat nama-nama ratu yang pernah memerintah di berbagai kerajaan di Nusantara. Sebagai contoh adalah kerajaan Aceh pada abad ke-17, seorang ratu memerintah kerajaan ini selama 30 tahun. Di masa pemerintahannya terjadi kemajuan yang pesat dalam bidang hukum Islam, sastra dan pengetahuan.
Wanita memiliki tugas berat dalam keluarga maupun masyarakat. Tradisi dan feodalisme telah mengubah image wanita dari sosok yang mempunyai berbagai tanggung-jawab menjadi sosok yang harus dihormati, dihargai, dan dipuja. Tetapi kesadaran akan tanggung-jawab yang dimiliki oleh wanita semakin lemah, pudar, dan akhirnya lenyap. Seorang wanita memiliki tugas yang begitu berat, mengatur rumah tangga, mencari nafkah untuk menyokong tungku dapur, mendidik anak dan sebagainya, tetapi sama sekali ia tidak mempunyai hak atau kekuasaan untuk menentukan sesuatu hal yang berhubungan dengan keluarganya sendiri maupun masyarakat. Hal ini begitu terasa dalam masa kolonial Belanda, ketika terjadi turunnya posisi wanita di segala segi kehidupan.
Tugas berat wanita dalam menegakkan ekonomi rumah tangga dan masyarakat tak pernah diperhitungkan. Pengaruh kolonialisme dan feodalisme makin memperburuk keadaan sehingga mudah bagi kaum pria untuk memperbudak wanita. Keadaan ini berlangsung berabad-abad dan menjadi mendung yang menyelimuti dunia wanita.
Tak selamanya mendung itu kelabu. Cahaya terang pun segera menyibak awan hitam di awal abad ke-19. Muncul tokoh-tokoh pergerakan wanita seperti Kartini yang mengekspresikan pikirannya melalui surat-surat yang dikirim kepada para sahabat di negeri Belanda. Mereka berjuang memperbaiki kedudukan wanita melalui tulisan, diskusi, maupun kata-kata. Wanita memiliki hak dan kewajiban yang sejajar dengan pria.
Perjuangan ini berkembang dengan pesat dan melahirkan Kongres Wanita Pertama di Yogyakarta pada tahun 1928. Kongres ini mempersatukan wanita Indonesia untuk bersama-sama berjuang mendapatkan hak yang sama dengan pria terutama dalam bidang pendidikan. Perjuangan ini bukan merupakan konfrontasi wanita terhadap kaum pria. Banyak hasil yang bisa dirasakan seperti kemajuan di bidang pendidikan, kesehatan, kegiatan sosial dan ekonomi.
Gerakan wanita tersebut ada hubungannya dengan gerakan Islam di Indonesia. Islam masuk ke Indonesia jauh sebelumnya, tetapi harus menghadapi pergulatan yang seru melawan aliran kepercayaan mistik yang dipeluk bangsa kita berabad-abad lamanya. Sulit bagi umat Islam yang mendasarkan pada akal itu menembus kepercayaan tadi, bahkan hingga saat ini. Ajaran Islam menunjukkan kedudukan yang sederajat antara wanita dengan pria. Inilah suluh api perjuangan wanita untuk mendapatkan haknya kembali yang lama tertindas.
Islam mengajak manusia untuk selalu menggunakan akalnya dan berpegang pada al-Quran yang dijamin keaslian dan kebenarannya hingga akhir jaman. Islam menginginkan perubahan kehidupan manusia ke arah yang positif. Ilmu dan teknologi harus digali dan diterapkan demi kebahagiaan hidup manusia di dunia ini yang diharapkan akan mempertebal iman kepada Allah.
Baca Juga: Kepemimpinan Perempuan dalam Pandangan Islam Wasathiyah
Allah menurunkan khalifah ke bumi, Allah mencipta manusia berpasangan, laki-laki dan wanita (49: 13) untuk saling menolong dalam menyembah Allah. Islam mengakui kedudukan yang sama antara pria dan wanita seperti yang tertulis dalam Quran tadi. Allah tidak akan mengubah nasib seseorang hingga ia mengubah nasibnya sendiri (13: 12), begitu pula bagi wanita untuk mendapatkan kedudukan yang lebih baik maka harus mau mengubahnya sendiri.
Islam mengatur segala tugas dan kewajiban pria maupun wanita dalam keluarga maupun masyarakat secara terperinci. Pria mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya, sedangkan wanita yang mengaturnya. Kelak Allah akan menanyakan tanggung-jawab ini kepada setiap wanita. Quran menyebutkan bahwa wanita sebaiknya menghabiskan masa dua tahun untuk menyusui bayinya. Bukan air susu itu yang terpenting, melainkan hubungan bathin antara si anak dengan ibunya. Pendidikan dasar anak merupakan tanggung-jawab kedua orang tuanya. Jadi, tidak hanya lahiriah anak memerlukan campur tangan orang tua, tetapi juga pendidikan. Wanita pun wajib bekerja dan menuntut ilmu serta teknologi sesuai dengan bidangnya.
Status wanita Islam Indonesia sesuai dengan apa yang ditulis oleh Kartini dalam surat-suratnya. Hal ini telah membangkitkan wanita Islam Indonesia untuk mendapatkan kedudukannya yang lebih baik. Organisasi wanita Islam muncul untuk mengarahkan dan mengajarkan Islam yang benar berdasar al-Quran dan Sunnah. Salah satunya adalah ‘Aisyiyah, organisasi wanita Islam tertua di Indonesia. Dalam mencapai tujuannya, ‘Aisyiyah telah mendirikan sekolah, panti asuhan, dan sekolah perawat untuk memberikan jiwa Islam kepada wanita dan generasi mudanya.
Organisasi kita ini telah berkembang begitu luas hampir di seluruh propinsi di Indonesia. Kegiatannya berhubungan dengan kepentingan wanita terutama wanita Islam sesuai dengan program pemerintah Indonesia, misalnya Keluarga Berencana (KB). KB tidak dilarang oleh Islam, kecuali metode vesektomi, tubektomi dan aborsi.
Penghargaan dan pengakuan kedudukan wanita disimpulkan juga dalam suatu undang-undang yang melindungi wanita dari tindakan semena-mena para suami maupun pengadilan. Ada beberapa ayat al-Quran yang mendasari hukum ini. Seluruh mekanisme pemerintah Indonesia saat ini sangat menjunjung kedudukan wanita dan memberi peluang yang luas bagi wanita untuk berkarya.
Islam telah membangkitkan semangat wanita Indonesia untuk mendapatkan kembali status, posisi dan fungsinya dalam keluarga dan masyarakat. Sebelumnya wanita dianggap sebagai makhluk lemah dan tak berguna karena ajaran Islam belum menyentuh jiwa mereka.
Akhirnya tampaklah bahwa ajaran Islam mengajak wanita untuk menekuni tiga dunia, yaitu keluarga, masyarakat dan dunia ilmu dan karier. Saat ini dunia memperhatikan kedudukan, posisi dan fungsi wanita sehingga wanita bisa turut aktif serta dalam pembangunan bangsa. Dan wanita Indonesia telah mendapatkannya.
*Sebuah makalah yang diajukan dalam “Seminar tentang Wanita dalam Pembangunan Internasional” yang diselenggarakan oleh UGM dan Fulbright Hays Faculty di Yogyakarta pada tanggal 31 Juli-9 Agustus 1986. Dimuat dalam Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi Desember 1986.