Oleh: Rita Andini
“Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina” begitulah pepatah yang selalu saya dengar saat saya usia TK dulu dan didengung-dengungkan oleh ustaz mengaji saya; yang kita hapal saat masih belajar di madrasah untuk belajar membaca Iqra (alif-ba-ta-tsa). Saat itu, Cina telah dikenal sebagai salah satu kiblat ilmu pengetahuan, dan nabi pun menyarankan agar menuntut ilmu adalah wajib untuk setiap muslim, walaupun diumpamakan jauhnya sampai ke negeri China.
Setibanya saya menginjakkan kaki di negeri Cina justru yang membuat saya terheran-heran sekaligus terkagum-kagum adalah saat slogan tulisan besar berbahasa arab tertulis di dinding gedung utama “Jiang Xie Institute For Foreign Studies” yang menyerupai bangunan masjid di Nanchang, China bagian Selatan (Gambar 1). Di atas dinding tertulis dengan huruf berwarna merah: “Al-ilmu nuurun, wajjahlu zholiimun” (ilmu itu adalah cahaya, dan kebodohan / ketidaktahuan adalah kezaliman) (Gambar 2).
Kalimat ini mengingatkan saya saat-saat kecil dulu di madrasah setingkat TK. Pepatah “Al-ilmu nuurun…” juga merupakan salah satu rangkaian pepatah-pepatah islam penyemangat yang juga wajib dihapal dan dipelajari saat mengaji. Setelah flash back sekilas saat tertegun membaca tulisan arab bersanding dengan symbol komunis palu-arit berlatar belakang merah, membuat saya menjadi terharu dan sangat tidak menyangka bahwa pepatah Islam-lah justru yang dijadikan sebagai penyemangat untuk generasi muda Cina sekarang agar “tetap” giat mencari ilmu dan tetap bertahan di posisi menjadi salah satu negara adidaya dunia dengan peradaban dan kemajuan Sains dan Teknologi dunia di abad ke XXII!
Tepat pukul 11.10 pagi hari waktu setempat, pesawat Eastern China Airlines (MU 5465) membawa saya mendarat di salah satu ibukota terbesar di provinsi Cina bagian Selatan: Nanchang. Sebelumnya pesawat telah transit selama 2 jam di Shanghai (PuDong (sebutan dalam Bahasa Cina) Internasional Airport). Total waktu tempuh dari mulai Banda Aceh via Kuala Lumpur ke Nanchang adalah sekitar 20 jam (termasuk waktu transit). Kedatangan saya ke Nanchang adalah dalam rangka mewakili negara Indonesia sekaligus institusi saya: Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebagai institusi riset skala nasional; sekaligus mengikuti training “Internasional Training Workshop on Theory and Technology on Forest Tree Genetics and Breeding” yang diadakan oleh tiga institusi sekaligus: Jiang Xie Academy of Sciences (JXAS), Nanchang Institute of Technology, dan Jiangxi Provincial Department of Forestry. Ketiga institusi yang mendanai kegiatan selama 14 hari di Nanchang. Saat kegiatan training berlangsung, 2 hingga 3 training dengan tema lainnya juga diadakan bersamaan di gedung tempat kami mengadakan kelas.
Nanchang (28°40’ LU; 115°51’ BT) secara literal Cina berarti “Southern Flourishing” city (kota dengan kemakmuran yang mulai berkembang di Selatan – berasal dari Chinese karakter ) dan sudah berdiri sejak zaman dinasti Qin dan diberi nama Nanchang sejak zaman dinasti Han atau 201 Sebelum Masehi (SM). Nanchang merupakan ibukota dari provinsi Jiangxi; yang terletak di bagian selatan China. Kotanya memiliki luas 7.194 km2 dengan jumlah populasi lebih dari 6.255.007 jiwa; 86%-nya tinggal di pusat urban dan 99,2% adalah populasi suku Han. Kotanya memiliki sebuah danau: Poyang Lake (dikenal sebagai danau laut tawar terluas di seluruh Cina) terletak di bagian barat; sedangkan pegunungan Jiuling mengelilingi kota di sisi timur. Kota Nanchang memegan peranan penting dalam pengembangan ekonomi dikarenakan fungsinya yang strategis sebagai “regional hub” atau “connecting city” antara Cina bagian timur dan selatan.
Kota ini mulai tercatat dalam sejarah Eropa sejak tahun 1665. Nanchang mulai menjadi salah satu titik industri di Cina sejak tahun 1949 dan sejak saat itu industri makanan (penggilingan dan prosesing padi), tekstil (terutama katun), industry berat termasuk industry otomotif – termasuk pabrik mobil US: Ford Motor Company dan memiliki pabrik juga assembly di sini, industri mesin-mesin pertanian, insektisida, dan pestisida untuk pertanian, farmasi termasuk traditional Chinese medicine. Kota yang “mapan” dapat dilihat dengan berseliwerannya mobil-mobil Eropa yang mahal seperti BMW, Mercedes, AUDI, di jalan-jalan raya yang luas; dengan total 8 ruas jalan; diiringi dengan pertambahan Gross Domestic Product (GDP) dikitaran 11-14,3% per tahun. Tidak heran, begitu banyak gedung-gedung pencakar langit dengan apartemen-apartemen diatas 20 lantai yang berdiri tegak di sisi kiri dan kanan sungai utama yang membelah kota.
Iklim di Nanchang termasuk dalam skala Köppen: Cfa disertai 4 musim: musim dingin (Desember – Februari), semi (Maret-May), panas (Juni-Agustus), gugur (September – November). Temperatur di Nanchang saat ketibaan saya sekitar 15°C-18°C dikarenakan memasuki awal musim gugur. Cuaca yang mendung, awan berwarna keabu-abuan, dan angin dingin disertai hujan membuat kita harus bersiap-siap menggunakan jaket yang cukup bisa menahan angin (wind-proof). Walaupun Nanchang secara geografis masih terletak tidak jauh dari garis ekuator, namun menurut pengalaman kami beberapa wilayah di pegunungan yang tinggi – seperti di salah satu destinasi wisata lokal yang kami kunjungi, yaitu Mount Lushan (ketinggian > 1,300 m diatas permukaan laut), tidak jarang kabut tebal sudah turun dan mengurangi jarak pandang, bahkan saat masih siang hari atau sesudah pukul 13.00.
Dari impresi sekilas selama kegiatan training berlangsung, terlihat bahwa antusias pemerintah People’s Republic of China yang ingin membangkitkan (revival) dan mulai menggalang kolaborasi secara aktif dengan pemerintah-pemerintah dari negara yang berada di titik Jalur Sutra (Silk Road) dimana terlihat kebanyakan peserta training juga berasal dari negara-negara pecahan Rusia seperti: Uzbekistan, Turkmenistan, Azerbaijan, dll. Total ada 10 peserta terpilih; masing-masing berasal dari negara Malaysia, Nepal, Senegal, Pakistan; dengan jumlah peserta maksimum dua (n=2) ilmuwan/-wati dari tiap negara. Kriteria peserta terpilih adalah mengisi formulir (g-form) yang diberikan oleh Kementerian Kerjasama Luar Negeri China untuk mitra-mitranya di Asia dan Afrika (kebanyakan yang menghadiri training bekerja di institusi pemerintahan), kemudian peserta diminta menuliskan ide-ide inovatif atau riset yang sedang dilakukan berbasis bidang keilmuan genetics and breeding.
Baca Juga: Berempati kepada Pengungsi Palestina
Selama menjadi tamu di Jiangxi Academy of Sciences, kami mengikuti kelas seperti jam perkuliahan dari pagi hingga sore. Kelas diisi oleh narasumber yang berprofesi sebagai ilmuwan atau akademisi senior. Kebanyakan mereka telah banyak memenangkan penghargaan nasional di bidangnya masing-masing. Beberapa dosen yang didatangkan juga berasal dari institusi lain, seperti: Beijing Foresty University, Nanjing Forestry University, Guangdong Acaemy of Forestry. Kebanyakan para ilmuwan tersebut menceritakan pengalaman riset-riset yang dilakukan, berdasarkan ‘tantangan’ yang ditemukan di lapangan. Selain itu, terlihat kolaborasi nyata antara institusi riset, industry untuk hilirisasi, dan tentunya masyarakat atau komunitas tertentu di level grass root yang juga mendapatkan manfaat dari kolaborasi tripartite. Dari 10 nara sumber yang paling menarik bagi saya pribadi ada tiga yang menjadi pusat perhatian, yaitu: tentang pemanfaatan lantai hutan yang tidak terpakai untuk ditanaman obat-obatan tradisional Cina- sebagai tanaman sela (intercropping), sekaligus mendukung perekonomian lokal. Kemudian, teori dan teknik untuk rekayasa genetika tanaman hutan melalui metode CRISP (pengguntingan gene atau molekul DNA) dari Beijing Forestry University.
Dari segi publikasi internasional, Nanchang juga dikenal sebagai satu kota pendidikan di China, dan Nanchang University merupakan salah satu top 150 universitas dunia yang banyak menghasilkan output keilmiah-an di jurnal berbasis Nature. Tidak mengherankan, bahwa kemampuan bidang keilmuan dapat bekerjasama dengan dunia industri adalah kondisi yang ideal, sehingga kemajuan bidang keilmuan dan teknologi tidak hanya dikembangkan sebatas menjadi jurnal bereputasi saja, tetapi memiliki added value atau manfaat tambahan, dimana dapat menjawab tantangan di bidang industry, manufaktur, dan berguna bagi pembangunan di masyarakat. Menurut saya, ini adalah kondisi ideal dimana perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi dapat menjawab masalah-masalah “real” (benar adanya).
Selain mengikuti kelas, di hari libur (weekend) kami dibawa juga untuk melihat peninggalan sejarah dan budaya China dari dekat. Salah satunya dengan mengunjugi Pavillion Tengwang; sebagai salah satu landmark kota Nanchang dan peninggalan bersejarah dari dinasi Tang (653 S.M.). Pavilion empat lantai ini masih berdiri tegak hingga sekarang, walaupun versi yang ada merupakan hasil rekonstuksi ulang, setelah sempat rusak dikarenakan banyak faktor, dan salah satunya pernah dibakar. Yang menarik adalah, rekonstruksi bangunan berdasarkan catatan-catatan sejarah yang ‘pernah’ ada; baik dari tulisan, gambar di vas atau keramik Cina peninggalan dinasti Tang, bahkan dari puisi-puisi (poetry) kuno yang dikumpulkan oleh para ahli sejarah; tanpa mereka sebelumnya ‘belum pernah’ tahu seperti apa bentuk aslinya. Berdasarkan sejarah, Pavilion Tengwang dibangun pertama kali oleh Li Yuanying, yang merupakan adik dari Kaisar Taizong Tang.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 00.43 dini hari saat saya menulis tulisan reportase warga ini langsung dari Nanchang. Pengalaman mengikuti training untuk pengembangan kapasitas diri /professional dan sekaligus untuk mengenal budaya China dari dekat tinggal satu minggu lagi masih saya harus jalanani. Selain itu, pengalaman membaca slogan “Al-ilmu nuurun..” dari salah satu institusi dari negara adidaya dunia yaitu Cina, semakin memotivasi saya pribadi. Bahwa dengan ilmu (pengetahuan) semoga kita semua bisa mendapatkan pencerahan (enlightening) – tidak hanya untuk kemashlahatan diri sendiri, terpenting adalah untuk membawa pencerahan bagi sekeliling (komunitas) kita. Wasalam. (-lsz)