Liputan

Ulama Aisyiyah Memajukan Umat dan Bangsa

muslimah
muslimah

muslimah (foto: istockphoto)

Jika dirujuk ke akar katanya, kata “ulama” sebenarnya mempunyai makna yang luas. Kata ‘ulamā’ merupakan jamak dari ‘alīm yang bermakna orang yang punya pengetahuan luas atau mendalam. Namun, seiring berkembangnya waktu, kata ini mengalami penyempitan makna.

Ibn ‘Asyur (w. 1873), misalnya, membatasi makna ulama hanya kepada orang yang mempunyai kompetensi ilmu agama. Makna ini juga dipakai oleh beberapa sarjana Muslim Indonesia di dalam karyanya, seperti karya Azyumardi Azra yang berjudul Jaringan Ulama Timur Tengah & Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia (2013) dan Jajat Burhanuddin dalam buku Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia (2012).

Sementara itu, az-Zamakhsyari (w. 1143) dalam kitab tafsir al-Kasysyaf sering menggunakan kata ulama untuk menyebut orang yang berpengetahuan luas, seperti ulama al-thib (ahli medis), ulama al-balaghah (ahli retorika), dan ulama ad-din (ahli agama). Demikian juga Ibn Katsir (w. 1373) dalam kitab tafsirnya, Tafsir al-Quran al-‘Azhim. Ibn Katsir misalnya menyebut ahli tafsir dengan ulama at-tafsir dan ahli sejarah dengan ulama at-tarikh.

Luasnya lingkup makna ulama sebenarnya dapat dirujuk ke Q.S. Fathir [35]: 27-28. Di dalam rangkaian ayat tersebut, Allah swt. menjelaskan tentang fenomena alam semesta. Bersandar pada konteks ayat tersebut, beberapa mufasir lantas mengartikan ulama sebagai orang yang berpengetahuan luas dan memahami “tanda” kebesaran Allah di alam semesta, sehingga memunculkan perasaan takut kepada Allah Yang Maha Agung.

Di dalam Q.S. asy-Syu’ara [26]: 197, Allah swt. juga menyebut orang-orang dari kalangan Bani Israil yang mempunyai pengetahuan ihwal kenabian Muhammad saw. dengan sebutan ulama. Hal ini menunjukkan bahwa kata ulama sebenarnya punya makna yang luas; tidak milik agama tertentu, bidang pengetahuan tertentu, wilayah tertentu, waktu tertentu, atau gender tertentu.

Ulama ‘Aisyiyah

Menurut Siti Syamsiyatun, ‘Aisyiyah tidak membatasi makna ulama hanya kepada orang yang mempunyai pemahaman agama yang luas. Ulama dalam definisi ‘Aisyiyah mencakup juga orang yang mempunyai kedalaman ilmu di bidang-bidang lain. “Di ‘Aisyiyah, definisi keulamaan itu lebih kepada orang yang punya ilmu. Kalau sekarang ya yang berwawasan berkemajuan,” ujarnya.

Argumen tersebut tidak berasal dari ruang hampa. Sejak awal, kata Syamsiyatun, definisi ulama di Muhammadiyah-‘Aisyiyah memang tidak dibatasi pada orang yang punya pemahaman agama luas yang salah satu indikatornya adalah mampu membaca “kitab kuning” dan/atau sekadar punya pondok pesantren. Menurutnya, tradisi keulamaan di Muhammadiyah-‘Aisyiyah tidak seperti itu.

Konsep sekolah Islam yang dicetuskan Kiai Ahmad Dahlan, yakni dengan membangun jembatan antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum, secara tersirat menandai luasnya makna ulama di lingkungan Muhammadiyah-‘Aisyiyah. Oleh Kiai Dahlan, murid-muridnya diminta untuk mencari ilmu seluas-luasnya dan sebanyakbanyaknya.

Dengan luasnya makna tersebut, menurut Syamsiyatun, ‘Aisyiyah dapat dikatakan punya tempat yang kokoh bahkan leading di tengah percaturan pengetahuan di Indonesia. Jika dulu ‘Aisyiyah memprakarsai berdirinya taman kanak-kanak, sekolah perempuan, musala perempuan, dan mengutus mubaligh perempuan ke berbagai daerah, dalam perkembangan selanjutnya ‘Aisyiyah berhasil melahirkan banyak ulama perempuan berkemajuan dan menjadi organisasi perempuan di Indonesia pertama yang mendirikan universitas.

Baca Juga: KRH Hadjid, Ulama Pejuang Kemerdekaan Indonesia

Siti Baroroh Baried, Siti Dawiesah, dan Siti Chamamah Soeratno adalah beberapa di antara nama ulama yang lahir dari rahim ‘Aisyiyah. Menurut Syamsiyatun, tiga perempuan tersebut layak disebut sebagai ulama mengingat kapasitas keilmuan yang dimiliki: Siti Baroroh Baried berhasil menjadi perempuan pertama di Indonesia yang menjadi profesor; Siti Dawiesah merupakan dokter dan turut membidani pendirian lembaga pendidikan kesehatan ‘Aisyiyah; Siti Chamamah Soeratno adalah pakar filologi dan menguasai berbagai bahasa.

Meski tidak membatasi makna ulama hanya pada orang yang punya pemahaman agama luas, Syamsiyatun berpandangan bahwa ‘Aisyiyah tetap perlu menanamkan dan memperkuat kemampuan kader-kadernya untuk membaca kitab turats. “Akan sangat bagus kalau warga ‘Aisyiyah juga mempunyai keahlian untuk membaca kitab-kitab turats atau warisan budaya kita. Itu warisan yang luar biasa kaya, yang terhimpun selama ribuan tahun,” terangnya ketika dihubungi Suara ‘Aisyiyah.

Bahkan, ia juga menekankan pentingnya ulama perempuan ‘Aisyiyah dapat menghasilkan produk pengetahuan untuk memperkaya khazanah keilmuan yang ada dan bermanfaat bagi masyarakat.

Adapun dalam rangka mencetak ulama perempuan yang berkemajuan, menurut Syamsiyatun, ‘Aisyiyah perlu memperkuat basis pendidikan formal dan nonformal. Pendidikan formal meliputi pesantren/madrasah/sekolah, sedangkan pendidikan nonformal berupa agenda-agenda perkaderan.

Guna menjadi ulama perempuan yang berkemajuan, Syamsiyatun berpesan agar memperbanyak belajar, memperkaya wawasan maupun isu aktual yang bersifat dinamis, termasuk perihal problem ketidakadilan gender yang menjadi problem bersama. Menurutnya, kita harus menyadari, bahwa generasi muda, akan berkembang secara optimal bila tumbuh dalam konteks sosial yang saling menghargai, mengasihi, termasuk memuliakan perempuan.

Peka Sosial

Muhammad Qasim Zaman dalam bukunya The Ulama in Contemporary Islam: Custodians of Change (2002) menjelaskan bahwa pada masa pramodern, salah satu peran yang dimainkan oleh ulama adalah memberikan respons/komentar atas persoalan yang terjadi di masyarakat. Sayangnya, dalam beberapa kasus, komentar-komentar tersebut malah tidak produktif dan tidak berdampak apa-apa pada masyarakat.

Di Indonesia, seperti yang disorot Ahmad Mansur Suryanegara dalam magnum opus-nya, Api Sejarah: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (2014), ulama akan berusaha mencari jawaban atas suatu persoalan sesuai dengan tantangan yang dihadapi masyarakat. Ulama menjadi salah satu garda depan dan tumpuan masyarakat untuk bergerak dan maju.

Baca Juga: Menilik Kaderisasi Ulama Perempuan Persyarikatan

Senada dengan temuan Mansur Suryanegara, karakter ulama Muhammadiyah-‘Aisyiyah adalah peka dengan kondisi masyarakat sekitar. Menurut cicit Kiai Ahmad Dahlan, Siti Hadiroh, ulama ‘Aisyiyah selalu mementingkan kepentingan masyarakat yang menjadi penerima manfaat dari dakwahnya. Tidak hanya itu, ulama ‘Aisyiyah juga berusaha mencerdaskan dan memajukan masyarakat sekitar. “Ulama ‘Aisyiyah bertanggung jawab atas kemajuan dan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.

Tanggung jawab itu, kata Hadiroh, diejawantahkan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, seperti agama, kesehatan, ekonomi, dan sosial-politik. Tidak hanya berbentuk wacana, tetapi juga praksis gerakan. Tidak hanya kepada masyarakat akar rumput, tetapi juga pemerintah sebagai pemangku kebijakan.

Mengingat pentingnya peran ulama di tengah kehidupan masyarakat, Hadiroh berharap ‘Aisyiyah konsisten melahirkan ulama yang berkemajuan. Ia tidak menampik fakta bahwa peran keulamaan perempuan masih sering dipertanyakan oleh sebagian masyarakat. Oleh karenanya, ia berpesan agar “peran ulama perempuan berkemajuan terus disuarakan dan diperjuangkan”.

Sebagaimana hadis riwayat al-Baihaqi dan at-Thabarani, “jadilah kamu orang alim, pelajar, pendengar, atau pecinta (ilmu). Dan janganlah kamu menjadi orang kelima, yaitu pembenci (ilmu), maka binasalah kamu” (kun ‘āliman, aw muta’alliman, aw mustami’an, aw muhibban, wa lā takun al-khāmisata ay mubghidhan, fa-tahlika). (Sirajuddin)

Related posts
Tokoh

Aisyah al-Ba’uniyah: Ulama Perempuan yang Seharusnya Dikenal Dunia

Oleh: Farid Aditya* Pembahasan kembali sejarah tasawuf selalu melibatkan tokoh ulama di dalamnya, terutama ulama laki-laki. Misalnya, Imam Ghazali, Ibnu Arabi, al-Qushayri,…
Lensa OrganisasiSejarah

Di Mana Aisyiyah Ketika Masa Revolusi Indonesia?

Oleh: Ghifari Yuristiadhi Masyhari Makhasi* Tahun ini, Indonesia telah memasuki usia yang ke-79. Hal ini menjadi momentum untuk merefleksikan perjuangan para pendahulu…
Berita

107 Tahun Aisyiyah, Perkuat Komitmen Menjawab Berbagai Problem Kemanusiaan Semesta

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Mengusung tema “Memperkokoh dan Memperluas Dakwah Kemanusiaan Semesta” ‘Aisyiyah  akan memperingati miladnya yang ke-107 tahun pada 19 Mei…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *