Mataram, Suara ‘Aisyiyah – Universitas Muhammadiyah Mataram berkolaborasi dengan UD. Bintang Sejahtera NTB dalam mengembangkan implementasi ekonomi sirkular dengan perspektif ekonomi syariah. Sentuhan ekonomi syariah dipandang akan lebih menarik di tengah target nasabah dan lingkungan kampus yang beragama Islam.
Proyek ini akan menginisiasi pembentukan Bank Sampah Syariah (BSS) Universitas Muhammadiyah Mataram yang akan didampingi dari sisi teknis secara penuh oleh Bintang Sejahtera NTB dan dengan pendampingan penerapan prinsip-prinsip ekonomi syariah oleh tim dari Fakultas Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Mataram.
Universitas Muhammadiyah Mataram (UMM) bekerja sama dengan Dunia Usaha dan Industri (DUDI) dalam rangka membantu pemerintah menyelesaikan permasalahan sampah sekaligus mengembangkan potensi pemanfaatan sampah menjadi sumber daya dan bahan baku industri yang dapat berkontribusi secara signifikan bagi pemulihan ekonomi, baik lokal maupun nasional.
Oleh karena itu, pada Selasa (23/11) Universitas Muhammadiyah Mataram mengadakan webinar bertajuk “Seminar Nasional Desiminasi dan FGD” dengan menghadirkan beberapa narasumber yang kompeten di bidang masing-masing. Salah satunya adalah Ketua Divisi Lingkungan Hidup LLHPB Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Hening Parlan.
Baca Juga: Mengentaskan Kemiskinan, Memberdayakan Ekonomi
Menyampaikan materi bertajuk “Konsep Sirkular Ekonomi dalam Mendukung Ekonomi Kreatif dan Pariwisata”, Hening Parlan memulai pemaparannya dengan mengajukan pertanyaan, mengapa ekonomi sirkular itu penting? Menurut dia, ada empat poin menjawab pertanyaan ini:
Pertama, ekonomi konvensional sifatnya memang degeneratif, alias merusak, dengan desain yang mekanistik, pemikiran reduksionis, dan membagi apapun ke dalam bagian-bagian kecil yang seakan tak berhubungan.
Kedua, ekonomi hijau lebih sedikit kerusakan yang ditimbulkan, tetapi tetap saja masih ada kerusakan.
Ketiga, ekonomi berkelanjutan ditandai dengan tidak adanya dampak negatif sama sekali.
Keempat, ekonomi restoratif bukan saja menghentikan segala kerusakan, melainkan mulai memperbaiki kerusakan yang sudah kita timbulkan di masa lalu.
“Ellen Mac Arthur Foundation merumuskan prinsip-prinsip Ekonomi Sirkular ada 3. Pertama, desainnya menghilangkan limbah dan polusi (nir limbah). Kedua, produk dan materialnya dipastikan bisa terus dimanfaatkan (pemanfaatan berkelanjutan). Ketiga, sistem alam yang dihasilkannya bersifat regeneratif,” papar Hening Parlan.
Menurut dia, ekonomi sirkular dalam mendukung ekonomi kreatif dan pariwisata sangat penting. Dilansir dari data Kementerian Pariwisata, tercatat pada 2014 jumlah wisma sebanyak 9,4 juta. Pada 2015 tercatat 10,4 juta. Tahun 2016 tercatat 11,5 juta. Tahun 2017 naik cukup signifikan menjadi 14,03 juta. Dan tahun 2018 tercatat sebanyak 15,8 juta. Masih dari sumber yang sama, per-Januari 2019 tercatat 1.158.162 tamu asing berkunjung ke Indonesia.
“Data tersebut belum termasuk jumlah wisatawan domestik di tanah air. Hal ini menjadi bukti bahwa tingkat perekonomian pariwisata di Indonesia sangat besar,” ucapnya.
“Namun, jika kita memperhatikan jumlah sampah yang dihasilkan, terjadi ketidakseimbangan. Dengan meningkatnya wisatawan, jumlah sampah juga akan meningkat. Secara kumulatif, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat tahun 2019 jumlah sampah yang dihasilkan di Indonesia sebesar 67,8 juta ton, meningkat dibandingkan tahun 2018 yang sebesar 65,7 juta ton,” imbuhnya.
Mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan oleh tumpukan sampah, maka dia menekankan perlu melakukan tindakan pencegahan sedini mungkin.
“Faktor dasar yang menyebabkan sampah di TPA menumpuk setiap hari. Faktor tersebut antara lain kurangnya kesadaran masyarakat lokal dan wisatawan dalam membedakan dan mengklasifikasikan jenis sampah yang dibuang,” ujarnya.
Menurut Hening, ketidakmampuan membedakan jenis dan jenis pembuangan sampah dapat menghambat proses penguraian sampah. Mulai untuk mencegah faktor penyebab terjadinya penimbunan sampah mulai dari wisatawan dengan membedakan tempat sampah berdasarkan sifatnya.
“Setidaknya dengan begitu petugas kebersihan tidak akan kesulitan memisahkan sampah,” kata dia.
Namun hal tersebut menurut dia di lapangan mendapatkan tantangan. Pengembangan dan pengelolaan pariwisata akan menghadapi banyak tantangan keberlanjutan yang signifikan bagi pembuat kebijakan dan perencana. Padahal, tantangan pariwisata berkelanjutan adalah mengurangi dampak negatif dengan meningkatkan manfaat pariwisata ke arah yang benar.
“Misalnya, industri yang menguntungkan secara ekonomi dan berkelanjutan secara ekologis dapat memberikan pengalaman yang memuaskan bagi pengunjung dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat,” tuturnya.
“Tantangan mendesak lainnya mungkin termasuk konsumsi energi yang tinggi, limbah makanan, pengelolaan limbah secara keseluruhan, lingkungan bisnis yang lemah (terutama di negara berkembang), kekurangan tenaga kerja terampil, akses keuangan yang terbatas, dan tingkat investasi yang rendah,” imbuhnya. (Iwan)