Oleh: Hajriyanto Y. Thohari
Di dunia Islam, Indonesia sering dibanggakan sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Sekitar 87% dari penduduk Indonesia adalah Muslim. Jika penduduk Indonesia saat ini 265 juta, maka itu berarti sekitar 225 juta warga negara Indonesia adalah Muslim, suatu jumlah yang tidak dimiliki oleh bangsa manapun di dunia, termasuk di dalamnya bangsa Arab sekalipun. Tak heran jika Indonesia sering dibanggakan sekaligus suka membanggakan diri dengan kebesarannya.
Muslim Indonesia membanggakan kebesaran dirinya, juga dibanggakan oleh bangsa-bangsa Muslim lainnya di dunia. Artinya, bukan hanya bangsa Indonesia saja yang berbangga akan kebesaran umat Islam Indonesia itu, melainkan juga bangsa-bangsa Muslim di seluruh dunia. Dalam setiap pertemuan di forum internasional ketika disinggung tentang betapa besarnya jumlah umat Islam Indonesia, bangsa-bangsa Muslim yang lainnya selalu terkesan dan ikut berbangga dengan kebesaran itu.
Satu hal yang kurang diperhatikan adalah bahwa di balik kebanggaan itu pada sejatinya tersimpan harapan yang besar agar umat Islam Indonesia mengambil peran yang besar dalam persaingan global sepadan dengan kebesarannya. Selalu ada prinsip nobless oblige di balik kebesaran dan ketinggian suatu posisi. Kebesaran umat Islam Indonesia meniscayakan besarnya tanggung jawab dan kewajiban.
Sayang sekali dalam kenyataannya, peran umat Islam Indonesia yang notabene secara numerik terbesar di dunia tersebut dalam kancah internasional masih belum sebanding dengan jumlahnya yang besar tersebut. Umat Muslim Indonesia belum berperan secara signifikan di kancah internasional, apalagi menjadi pelopor dan kepemimpinan dunia Islam. Dalam batas tertentu umat Islam Indonesia baru berperan secara marginal dan periferal (pinggiran). Alih-alih menjadi pelopor kemajuan dan tongkat kepemimpinan, bahkan ada beberapa cacat bawaan yang menggelayutinya yang justru lebih menjadi beban (liability) dari pada kelebihan (asset).
Umat Islam Indonesia kadang malah merasa rendah diri di hadapan umat Islam lain di dunia, merasa kalah dalam otoritas keagamaan dibandingkan umat dari negara Muslim lainnya. Dalam organisasi-organisasi Islam tingkat dunia tidak tampil tokoh Muslim Indonesia yang menonjol dan menentukan. Muslim Indonesia seolah hanya mayoritas angka (majority with minority mentality) yang menderita perasaan rendah diri (inferiority complex), sehingga sering mudah menerima pengaruh dari luar dan tidak menjadi subjek yang mempengaruhi. Untuk menutupi kelemahan tersebut justru tidak jarang umat Islam bersikap apologis dengan mengklaim sebagai paling toleran sebagai kompensasi untuk menutupi kelemahannya.
Mengapa hal yang demikian terjadi pada bangsa Muslim terbesar dunia? Saya rasa akar dari penampilan Indonesia di kancah internasional yang seperti itu adalah kelanjutan belaka dari keadaan umat Islam Indonesia di dalam negeri Indonesia sendiri. Ada adagium dalam ilmu hubungan internasional bahwa penampilan di kancah internasional adalah kelanjutan belaka dari penampilan di tingkat domestik. Jika sebuah golongan kuat secara domestik maka akan kuat pula secara internasional. Sebaliknya jika lemah di tingkat domestik maka akan lemah pula di kancah internasional.
Adalah merupakan truisme belaka bahwa di hampir seluruh aspek dan sektor kehidupan umat Islam Indonesia tidak memiliki daya saing yang cukup sehingga selalu kalah dan dikalahkan. Di bidang perekonomian, misalnya, kelemahan daya saing ekonomi umat Islam tampak secara nyata. Dari seratus orang terkaya Indonesia hanya beberapa gelintir saja yang dapat disebut sebagai bagian dari umat Islam. Bahkan dari yang segelintir tersebut tidak ada satupun orang Muhammadiyah. Gurita konglomerasi dan penguasaan sumber daya ekonomi serta keuangan nasional berada sangat jauh di luar domain golongan Islam.
Baca Juga: Kepemimpinan dalam Perspektif Islam
Di bidang pendidikan, kecuali beberapa sekolah menengah negeri, ranking sekolah-sekolah menengah yang didirikan umat Islam masih di berada di level bawah. Dari 100 SMA terbaik di Indonesia, misalnya, hanya 5 (lima) sekolah menengah Islam dan tidak satupun dari yang segelintir itu SMA Muhammadiyah. Sekolah-sekolah Kristen/Katolik dan negeri yang masuk dan mendominasi daftar 100 SMA terbaik Indonesia.
Di dunia perguruan tinggi, memang mulai ada indikasi beberapa perguruan tinggi umat Islam relatif bermutu, tetapi hanya jika dibandingkan dengan universitas-universitas Islam lainnya di dunia. Manakala dibandingkan dengan universitas-universitas non-Muslim posisinya masih sangat jauh ketinggalan.
Demikian juga di bidang ilmu pengetahuan, rekayasa, kreativitas, dan inovasi-inovasi baru di berbagai bidang kehidupan. Umat Islam masih menjadi konsumen, bukan produsen. Umat Islam masih belum menguasai alat-alat produksi. Umat Islam belum menjadi subyek, masih obyek; belum menjadi fa’il, masih maf’ul; posisi umat Islam jauh dari peran pemain utama, melainkan penonton atau penggembira. Tokoh-tokoh putra/putri umat Islam yang berhasil mengalami mobilitas vertikal di bidang ekonomi dan politik kebanyakan bukan merupakan raihan politik ekonomi (non-economy political achievement) melainkan pemberian (karitas) ekonomi politik (economy political charity) belaka. Di bidang politik daya saing partai-partai politik Islam atau partai-partai yang berbasis umat Islam juga makin rendah dan masih berada pada level pelengkap penderita belaka.
Walhasil kebesaran umat Islam Indonesia masih pada tataran jumlah, angka, atau numerik, belum menjadi kebesaran kualitatif. Kekuatan umat Islam Indonesia masih dalam tataran potensial, belum menjadi kekuatan aktual. Umat Islam belum berhasil mentransformasikan kebesaran dan kekuatan potensialnya menjadi kekuatan aktual. Ada banyak faktor yang harus dimiliki tetapi belum dapat diraih umat Islam untuk transformasi besar tersebut.
Kondisi domestik yang kurang tampil secara prima dengan segala kelemahannya sebagaimana diungkapkan di muka tersebut, mengakibatkan penampilan (performance) umat Islam di kancah internasional juga menjadi kurang tampak. Peran umat Islam di kancah internasional kurang sepadan dengan kebesaran jumlahnya. Peran umat Islam Indonesia di kancah internasional baru besar dalam harapan dan keinginan. Baru pada tingat das solen, belum berada pada tingkat das sein.
Dalam konteks dan perspektif ini, maka Muhammadiyah perlu menekankan lagi rekomendasi tentang 13 isu strategis di bidang keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal yang dikeluarkan pada Muktamar ke-47 (2015) di mana peningkatan daya saing umat Islam adalah isu strategis ketiga yang sangat penting dan dipentingkan. Peningkatan daya saing umat Islam adalah suatu keharusan dan keniscayaan.
Dengan modal daya saing yang tinggi itulah Muhammadiyah menganjurkan agar umat Islam Indonesia berperan lebih aktif di tingkat internasional dan berkompetisi dengan umat Islam lain di dunia. Di antara kunci peningkatan peran penting tersebut adalah kemandirian ekonomi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, kewibawaan politik dalam negeri, penguasaan bahasa asing terutama Arab dan Inggris, serta penyebaran khazanah Islam Indonesia ke dunia luar.
Tanpa itu semua maka peran umat Islam Indonesia yang merupakan bagian terbesar dari bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan bangsa Muslim terbesar di dunia itu akan tetap marginal, periferal, dan tidak sepadan dengan kebesarannya. Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah harus tampil sekali lagi ke depan dalam semangat kepeloporan dan kemajuan. Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah harus menjadi pelopor pembangungan dan peningkatan daya siang umat Islam Indonesia sebelum melangkah ke kancah internasional. Dengan ideologi Islam berkemajuan, Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah pasti mampu. Insya Allah.