“Nabi itu harus diutamakan oleh orang mukmin dari pada diri mereka sendiri
dan istri-istrinya adalah ibu mereka”
(QS. Al-Ahzab [33]: 6)
Kemajuan perempuan masa kini terus menanjak. Prestasi demi prestasi mereka capai dengan lancar, seakan bebas hambatan. Kaum laki-laki pun memberikan peluang dan dukungan untuk kemajuan kaum perempuan. Kaum laki-laki, anak-anak, maupun angkatan muda telah melihat betapa besar manfaat yang telah dicapai oleh kaum perempuan bagi keluarga, masyarakat, bangsa, dan agama.
Munculnya tokoh-tokoh perempuan tingkat internasional yang bisa meraih hadiah nobel, maupun harumnya nama tokoh-tokoh perempuan Indonesia telah menjadi motivasi dan parameter kaum perempuan masa kini.
Allah swt. Sang Pencipta makhluk manusia, telah dengan sempurna memberikan bimbingan dan mengangkat manusia-manusia istimewa untuk menjadi teladan yang baik bagi kaum laki-laki maupun perempuan. Figur keteladanan bagi kaum perempuan yang bersifat substansial dan spiritual adalah mereka yang diabadikan dalam al-Quran.
Mereka itu adalah Hawa, Siti ‘Asiyah istri Firaun, Dewi Masyithah pelayan istana Firaun, Maryam ibunda Isa al-Masih as., Siti Sarah dan Siti Hajar (keduanya adalah istri Nabi Ibrahim as.) dan para istri junjungan kita Nabi Muhammad saw. Bagian yang disebut terakhir ini paling istimewa, yakni mereka diberi gelar ummul mukminin atau ibunya kaum mukminin, dengan pengertian bahwa ibu adalah orang yang harus dihormati, disayangi, dicintai, dimuliakan, ditaati, dan diteladani.
Latar Belakang Pernikahan Para Istri Nabi
Bagaimana kisah lika-liku para istri Nabi masing-masing? Mereka adalah perempuan yang memang sudah tercatat namanya bahwa sebelum lahir akan menjadi pendamping Rasulullah saw. Dari data yang digali oleh para ulama, terlihat bahwa pernikahan beliau adalah strategi mengokohkan dan menyelamatkan Islam. Ini merupakan salah satu strategi Nabi Muhammad saw.
Sifat Rasulullah itu santun dan lemah lembut. Beliau tidak tega menyaksikan penderitaan umatnya. Beliau tidak sekadar menikah karena alasan politik, melainkan dilandaskan rasa kasih sayang yang tulus serta konsekuen. Para istri itu dijadikan pendamping yang sebenarnya dan diperlakukan dengan adil serta bijak.
Rasulullah membimbing mereka menjadi perempuan yang benar-benar memenuhi persyaratan seorang istri Rasul. Oleh karena itu, aqidah, ibadah, dan akhlak para istri Nabi itu sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad saw. Namun, para istri itu adalah manusia biasa yang kadang-kadang naluri kemanusiaannya muncul, seperti rasa cemburu atau rasa ingin memiliki harta dan perhiasan. Meskipun demikian, suasana itu segera dilerai oleh Allah swt.
Perempuan yang Diseleksi
Tiba saatnya para istri Rasulullah itu mengalami seleksi langsung dari langit. Penyaringan itu terjadi ketika muncul naluri kemanusiaan. Suatu ketika, para istri Nabi mempertanyakan bagian ghanimah (rampasan perang) berupa perhiasan. Secara bijak dan diplomatis mereka berkumpul menghadap Rasul.
Dengan sopan dan lemah lembut permohonan itu mereka ajukan. Namun, bagi Rasulullah hal itu cukup mengejutkan. Nabi pun masygul, tunduk, menahan emosi, dan tertekan. Beliau diam seribu bahasa.
Tiba-tiba Umar bin Khattab muncul. Melihat situasi itu, Umar langsung menarik mundur Hafsah, anak perempuannya. Seperti ada firasat, Abu Bakar pun muncul dan beliau berbuat demikian terhadap ‘Aisyah. Dalam kemurungan Rasulullah selama beberapa minggu, akhirnya turunlah wahyu QS. al-Ahzab [33]: 28,
Artinya, “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, “Jika kamu menginginkan kehidupan di dunia dan perhiasannya, maka kemarilah agar kuberikan kepadamu mut’ah (yang cukup) dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik”.
Menurut Hamka dalam tafsir Al-Azhar, ayat ini merupakan ‘takhyir’, penawaran untuk memilih antara dua kehidupan. Allah swt. yang Maha Kuasa itu secara halus mengintervensi dengan sebuah penawaran. Dengan sikap bijaksana tanpa semena-mena memberikan kehormatan kepada para istri Nabi saw.
Ketika Nabi menyampaikan hal ini kepada Siti ‘Aisyiah, maka jawabnya, “Aku tak usah berpikir panjang dan bertanya kepada bapakku. Aku lebih memilih Allah dan Rasulnya, serta kehidupan akhirat lebih aku sukai”. Ternyata istri yang lain pun menyampaikan jawaban yang sama. Jawaban mereka sangat bersesuaian dengan ayat selanjutnya,
Artinya, “Akan tetapi jika kamu menginginkan Allah dan Rasulnya, serta kehidupan akhirat lebih kamu cintai, maka sesungguhnya Allah telah menyediakan bagi yang berbuat kebaikan itu pahala yang agung” (QS. al-Ahzab (33): 29).
Rasulullah adalah utusan Allah yang senantiasa menyiarkan agama dan hidup hanya untuk kehidupan akhirat. Beliau adalah pemimpin agama, bukan kerajaan, seperti Kaisar di Roma dan Raja di Persia yang megah pada saat itu. Beliau hidup dengan sangat sederhana.
Umar bin Khattab pernah menemui Rasulullah dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Rumah beliau kosong, tidak ada sesuatu kecuali pedang dan kantong air untuk persediaan wudlu. Umar pun menangis tersedu karena tidak tega kepada Rasulullah saw.
Pernah juga diriwayatkan bahwa rumah tangga beliau tidak berasap selama satu bulan. Ini menunjukkan bahwa beliau hanya makan air dan kurma. Betapa tahan ujinya para istri Nabi berumah tangga dalam kesempitan ekonomi.
Kalau Rasulullah berkehendak, tentu mampu dan bisa saja menjadikan perekonomian rumah tangganya melimpah ruah karena saat itu seluruh wilayah Arab sudah berada di tangannya. Sifat Rasulullah lebih banyak memberi daripada menerima. Kalau ada rezeki beliau senang mengundang makan bersama, memotong kambing, dan sebagainya. Apa yang ada di tangannya, bila ada orang meminta, maka diberinya.