Oleh: Susilastuti
Polemik Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan tidak masuknya revisi atas Undang-Undang dalam pembahasan di DPR tahun 2021 menuai kegelisahan dalam masyarakat. Terdapat sejumlah pasal dalam regulasi tersebut yang berpotensi menjadi ancaman baru bagi masyarakat dalam menyampaikan pemikirannya di depan publik melalui media yang berbasis internet.
Pemerintah merespons kegelisahan publik dengan menggeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 229 tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021, Nomor KB/2/VI/2021 tentang Pedoman Kriteria Implementasi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
SKB ditandatangani oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Jonny G. Plate, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kapolri Jendral Polisi Listyo Sigit Prabowo. Terbitnya SKB tiga kementerian dan lembaga negara tersebut diharapkan dapat mengatasi persoalan “pasal karet” dalam UU ITE. SKB dipandang sebagai solusi tercepat menghadapi kritik masyarakat karena merevisi Undang-Undang memakan waktu.
Dalam lampiran SKB Nomor 2 tentang Pedoman Kriteria Implementasi UU ITE mengatur penerapan pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), pasal 27 ayat (3), Pasal 27 ayat (4), Pasal 28 ayat (1), Pasal 28 Ayat (2), Pasal 29, dan Pasal 36. Pasal-pasal ini dinilai masih menimbulkan multi tafsir. Harapannya, SKB tersebut dapat menjadi pedoman implementasi bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya.
Seperti kita ketahui, disahkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 masih menyisakan masalah. Desakan agar dilakukan revisi atas undang-undang tersebut terus berjalan terutama terkait dengan pasal-pasal krusial khususnya pasal 27, 28, 29, dan Pasal 45C UU ITE. Pasal-pasal ini kerap menimbulkan perdebatan. Ada yang mengatakan dapat melindungi kepentingan masyarakat umum, tetapi di sisi lain menimbulkan teror ketakutan masyarakat karena ancaman hukuman cukup tinggi.
Pasal 27 misalnya, menyebutkan, (1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. (2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.
(3) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. (4) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.
Baca Juga: Etika dalam Bermedia Sosial
Pasal ini direvisi terutama pasal 27 ayat (3) mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ayat (4) juga mengacu pada ketentuan pemerasan dan/atau pengancaman yang diatur dalam KUHP. Hal ini jelas menebar ketakutan. Ancaman hukumannya 6 tahun dan denda Rp10.000.000. Persoalannya, pencemaran nama baik dapat bersifat multi tafsir.
Persoalan lainnya, dalam pasal 26 UU yang baru ini, juga menambah norma tentang ketentuan hak untuk dilupakan atau yang dikenal dengan Right to be Forgotten. Norma ini juga diberlakukan di beberapa negara Uni Eropa, hak ini dilakukan dengan mesin pencari (search engine). Namun nantinya di Indonesia dapat dilakukan berdasarkan putusan pengadilan.
Hal tersebut tegas disebut dalam Pasal 26 ayat (3) revisi UU ITE: “Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan”. Frasa “berada di bawah kendalinya” menjadi penegasan bahwa implementasi di Indonesia tidak hanya pada mesin pencari.
Revisi UU ITE ini juga menebar ketakutan dan ancaman. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 45 (1) Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesu-silaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
Pasal 45 (2) Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu mi-liar rupiah).
Pasal 45 (3) Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)
Pasal 45 (4) Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah). Pasal 54 (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan delik aduan.
Pasal 45A (1) Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
Pasal 45A (2) Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
Pasal 45B Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Bahkan terdapat rencana untuk menambah pasal 45C yang sebenarnya tidak relevan. Bila kita mencermati uraian di atas jelaslah UU ITE yang baru ini mengancam masyarakat dan juga mengancam kemerdekaan pers khususnya media massa yang berbasis internet.
Mengutip pendapat Ketua Pusat Studi HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang Wiratraman menyebut perkembangan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengabaikan mekanisme hukum pers, perlu dilakukan evaluasi. Sebab, hal itu berpotensi menghadirkan ketakutan berlebihan pada awak media dalam menyajikan pemberitaan.
Herlambang mengatakan, saat ini jurnalis dibayang-bayangi pemidanaan ketika hendak menyampaikan berita sensitif. Menurutnya, sudah banyak contoh wartawan yang hendak diseret ke ranah pidana setelah memberitakan isu sensitif.
Baca Juga: Aisyiyah: Adaptif di Tengah Tantangan Kemajuan Digital
Belum lagi terkait persoalan cyberbullying sebagai perilaku berulang yang ditujukan untuk menakuti, membuat marah, atau mempermalukan mereka yang menjadi sasaran. Unicef menyebutkan beberapa contoh cyberbullying, seperti (1) Menyebarkan kebohongan tentang seseorang atau memposting foto memalukan tentang seseorang di media sosial. (2) Mengirim pesan atau ancaman yang menyakitkan melalui platform chatting, menuliskan kata-kata menyakitkan pada kolom komentar media sosial, atau memposting sesuatu yang memalukan/menyakitkan.
(3) Meniru atau mengatasnamakan seseorang (misalnya dengan akun palsu atau masuk melalui akun seseorang) dan mengirim pesan jahat kepada orang lain atas nama mereka. (4) Trolling – pengiriman pesan yang mengancam atau menjengkelkan di jejaring sosial, ruang obrolan, atau game online dan lainnya.
Bagi media sendiri, tidak jarang terjadi doxing, yaitu kegiatan membongkar atau menyebarkan informasi pribadi seseorang yang dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang atau tanpa izin dari pihak yang bersangkutan, terhadap jurnalis yang menuliskan berita yang dinilai tidak sejalan dengan pemerintah atau kelompok tertentu. Selain itu, masih banyak persoalan-persoalan lain yang sebenarnya perlu ada ukuran yang tepat sehingga publik tidak dirugikan, sementara di sisi lain kemerdekaan pers juga dijamin.
Bijak Gunakan Media Sosial
Dunia telah berubah. Kita tidak dapat lagi mengatakan bahwa interaksi antar manusia satu dengan manusia lainnya hanya terjadi dalam ruang yang terbatas. Kemajuan teknologi komunikasi telah mengubah pola interaksi itu. Batas-batas wilayah telah ditembus hanya di mana dan kapan saja. Melalui gawai, kita dapat menjelajahi apapun.
Dulu kita hanya dapat mengekspresikan pikiran dan pendapat yang kita kenal dengan opini melalui media cetak. Bisa juga kita menuliskan pikiran kita melalui tulisan artikel yang dipublikasikan di jurnal ilmiah atau disampaikan melalui mimbar akademik atau melalui forum ilmiah.
Dulu kita menyampaikan keluh kesah yang disebabkan oleh pihak di luar kita melalui pikiran pembaca yang ada di media cetak. Misal, ketidakpuasan tentang pelayanan rumah sakit, kita tulis di pikiran pembaca. Kemudian pihak yang menjadi pihak yang dituju meresponsnya di media tersebut.
Dulu saat kita mengalami gundah akan menuliskan di buku diary. Buku ini sangat privat. Kita tidak ingin orang lain mengetahui masalah yang kita hadapi. Buku diary akan disimpan dengan sangat hati-hati. Saat itu dapat dikatakan adalah aib mengumbar persoalan yang kita hadapi kepada publik. Ranah privat dan ranah publik sangat jelas sekali. Namun semua berubah secara cepat dengan hadirnya media baru yang berbasis internet.
Berbagai penelitian yang ada di Indonesia bahkan di dunia mengungkap bahwa media sosial yang banyak digunakan cukup beragam. Satu orang atau kelompok orang dapat memiliki berbagai macam akun media sosial.
Semua informasi yang kita unggah sendiri atau melalui grup dari berbagai media sosial ini menunjukkan bahwa kita seperti tidak dapat lagi memiliki privasi. Kita asyik mengungkap segala hal yang kita pikirkan sehingga terkadang lupa apabila hal itu dapat menimbulkan masalah.
Selain media sosial, komunikasi dengan menggunakan internet juga dilakukan melalui email. Berkomunikasi melalui surat elektronik sudah lazim dilakukan. Walaupun sifatnya pribadi, adakalanya email-email yang menunjuk pada person tertentu juga menimbulkan banyak masalah dan diadukan ke ranah hukum.
Terlepas dari berbagai kontroversi yang terjadi, regulasi terkait dengan informasi dan transaksi elektronik tetap diperlukan untuk menata agar komunikasi publik yang dilakukan dengan media berbasis internet ini tidak merugikan. Kita harus menyadari bahwa konten yang sudah diunggah di media berbasis internet tidak bisa serta merta dihapuskan. Jejak-jejak digital tetap dapat ditelusuri sampai kapanpun.
Di sisi lain literasi tentang penggunaan media sosial masih minim. Pendemi yang terjadi ‘memaksa’ semua pihak beraktivitas dengan media yang berbasis internet. Publik melupakan bahwa media berbasis internet ini harus dimanfaatkan dengan bijak.
Esensi dari semua ini, pengaturan atas semua lalu lintas dalam dunia maya memang dibutuhkan agar semua pihak menyadari konsekuensi-konsekuensi atas apa yang dilakukan. Namun aturan yang dibuat hendaknya tidak bersifat multitafsir yang dapat menjerat ke ranah hukum.
Aturan dibuat untuk ditatati agar semua pihak tidak terganggu. Informasi yang disampaikan melalui media berbasis internet hendaknya tidak menjadi resonansi atau iritasi yang berpotensi terjadi perpecahan dalam masyarakat. Aturan hendaknya jangan dibuat agar struktur yang berkuasa menjadi tirani bagi publik yang seharusnya dilindungi.