Liputan

Unjuk Kesalehan di Media Sosial

media sosial

Tanpa perlu riset mendalam, kita sering melihat fenomena orang mengunggah momen saat umrah di media sosial. Tak hanya umrah, orang juga kerap mengunggah bentuk kesalehan lainnya seperti momen pengajian, hingga menunjukkan bahwa dirinya sudah berhijrah. Bagaimana fenomena ini seharusnya dinilai dan disikapi?

Sosiolog Mohammad Soehadha melihat kesalehan seseorang dapat ditinjau dari empat hal yaitu doktrin, tradisi, pasar, dan media. Berdasarkan empat hal tersebut, fenomena unjuk kesalehan di media sosial sangat kental oleh faktor pasar dan media. Menurutnya, di tangan pasar dan media, kesalehan dan simbol keagamaan mengalami simplifikasi alias penyederhanaan.

Dari kacamata media, termasuk media sosial, kesalehan hanya dilihat dari simbol yang tampak dari luar seperti cara berpakaian. Fenomena hijrah yang marak di kalangan artis dan kerap diekspos melalui media sosial, juga lebih sering diasosiasikan dengan perubahan cara berpakaian. Kesalehan dalam hal berpakaian pun kadang mengalami reduksi karena para artis lebih banyak mengekspos cara berpakaian kelompok tertentu. “Padahal kesalehan itu ada kedalaman, ada pengalaman, yang tidak dapat hanya dinilai dari penampilan luar,” kata Soehadha.

Soehadha berasumsi bahwa fenomena “kesalehan buatan” tersebut tidak lepas dari peran media yang hanya mampu menampilkan kesalehan fisik. Media sosial dominan menonjolkan gambar visual, bukan tulisan yang dalam. Padahal secara sosiologis, dimensi keberagamaan tidak sesederhana seperti yang media sosial tampilkan. Ia memiliki dimensi pengalaman, pemahaman terhadap doktrin hingga dimensi jama’ah.

Fenomena keberagamaan ini dapat dinilai sebagai gejala sosial positif, negatif, dan bebas nilai sekaligus. Dalam kacamata ilmu sosial, unjuk kesalehan di atas hanyalah gejala sosial biasa. Sementara dalam kacamata dakwah, fenomena tersebut dapat bernilai positif jika dilihat sebagai proses awal membangun kesalehan. Di era medsos, dakwah tidak dapat dilepaskan dari media yang memiliki daya tarik visual. Ia berfungsi menarik hasrat orang untuk belajar agama. “Itu sama dengan Walisongo ketika memulai berdakwah lewat gamelan, wayang, dan sebagai-nya,” ujar salah satu anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah tersebut.

Terakhir, fenomena kesalehan di media sosial dapat bernilai negatif jika dianggap sebagai model keberagamaan yang ideal. Masyarakat terjebak jika menganggap apa yang eksis di media sosial sudah bisa menjadi keteladanan dalam menjalankan agama. Tampilan-tampilan keberagamaan di media sosial, termasuk tampilan figur publik, tidak dapat mewakili idealisme keberagamaan.

 Menyikapi hal tersebut, Soehadha menyarankan masyarakat agar meng-anggapnya sebagai gejala sosial biasa saja. Kalau pun terdapat nilai positif seperti syiar agama dan orang semakin banyak yang belajar agama, nilai ini tidak akan selamanya terekspos di media arus utama maupun media sosial. Kehadiran simbol agama di media lebih diakibatkan oleh peru-bahan perilaku keagamaan para artis yang kemudian ditangkap oleh pasar, sehingga ia menjadi booming. Pada tahap selanjutnya, ekspos kesalehan dan simbol agama diikuti oleh masyarakat luas lewat media sosialnya masing-masing. “Kalau dalam sosiologi inilah yang dinamakan budaya pop,” kata Soehadha.

Dalam kajian sosiologi, budaya pop atau pop culture memiliki dua ciri. Ciri yang pertama adalah ia berumur pendek, dan yang kedua ia sering disebut budaya rendahan. Budaya rendahan artinya tidak memiliki nilai filosofis yang bisa ditarik. “Yang ngepop-ngepop itu akan cepat lewat dan segera dilupakan orang,”.

Fenomena “pamer kesalehan” di media sosial juga ditanggapi oleh dosen Psikologi Agama UIN Sunan Kalijaga Sekar Ayu Aryani. Menurutnya, perilaku keagamaan seseorang, termasuk perilakunya di media sosial, pada dasarnya tergantung oleh motifnya. Dalam kajian psikologi agama ada sebuah bab dasar bernama religious orientation, yang mengkaji hubungan motif keagamaan seseorang dengan sikap dan tindakannya. (ff)

Baca selengkapnya di Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 7 Juni 2019, Rubrik Liputan Utama, hal 12-13

Sumber Ilustrasi : https://konsultasisyariah.com/28247-hukum-pamer-kemesraan-di-medsos.html

Related posts
Sains dan Tekno

Strategi Perlindungan Privasi Data Pribadi di Media Sosial

Oleh : Aisyah Mutia Dawis* Seiring berkembangnya teknologi digital, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Namun, kemudahan akses…
Politik dan Hukum

Cakap Bermedia Sosial di Masa Pemilu

Pemilu akan kita songsong kurang dari 1 bulan lagi, tepatnya berlangsung 14 Februari 2024. Kontestasi politik kali ini diprediksi oleh para pengamat…
Muda

Oversharing dalam Bermedia Sosial

Oleh: Hanifa Kasih Surahman dan Dede Dwi Kurniasih Tak dapat dimungkiri, kehadiran media sosial terkadang membuat seseorang tak segan mengumbar urusan pribadi….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *