Oleh: Sirajuddin*
Saat ini, sebanyak 87,2% penduduk Indonesia beragama Islam. Jumlah tersebut membuat
Indonesia menjadi negara dengan populasi umat Muslim terbesar di dunia. Besarnya jumlah
tersebut tentu tidak dapat dilepaskan dari peran muballigh-muballighat yang tiada henti
menyebarkan pesan-pesan kedamaian Islam ke berbagai kalangan di seluruh pelosok negeri.
Di antara muballighat yang sampai saat ini terus giat mendakwahkan Islam di suku-suku
pedalaman adalah Sri Moxsa Djalamang dan Fatmawati.
Sosok Sri Moxsa Atau Kele Inang
Sri Moxsa atau yang dikenal Kele Inang, saat ini tengah intens melakukan pembinaan mualaf di Suku Kahumamahon, yaitu salah satu suku pedalaman di Kota Luwuk, Banggai, Sulawesi Tengah. Masyarakat
Suku Kahumamahon, awalnya hidup nomaden, sampai pada tahun 2013, Dinas Sosial membuatkan pemukiman bagi mereka. Akibat lama hidup secara nomaden, mereka malu ketika bertemu dengan orang lain.
Pada tahun yang sama, terdapat organisasi keagamaan yang mengenalkan ajaran Islam pada mereka. Sebelumnya, masyarakat Suku Kahumamahon menganut aliran kepercayaan animisme. Mereka meyakini alam, pohon, dan sebagainya sebagai sebuah kekuatan dan pokok kepercayaan. Mengingat persoalan yang begitu kompleks, pada tahun 2017, Sri Moxsa (yang merupakan representasi muballighat ‘Aisyiyah) turut terlibat dan bahu membahu melakukan pembinaan kepada mereka yang sebelumnya telah mualaf. Kali pertama terlibat dalam proses pembinaan, terhitung lima belas kepala keluarga yang mualaf. Angka tersebut terus bertambah. Sekarang, dari total tiga puluh kepala keluarga, dua puluh lima telah beragama Islam, empat Nasrani, dan sisanya masih memeluk kepercayaan lama.
Ketika mengajak dan mengajarkan Islam kepada Suku Kahumamahon, pendekatan yang dilakukan Sri Moxsa ialah
pendekatan kemanusiaan, berupa pendidikan, ekonomi,dan sosial. Saat berkunjung, Sri Moxsa selalu membawakan
sembako. Tak hanya itu, ia juga turut menyediakan barang-barang yang dibutuhkan untuk perbaikan kualitas
hidup masyarakat Suku Kahumamahon.
Aspek Yang Diperhatikan Sri Moxsa
Di antara aspek yang menjadi perhatian Sri Moxsa adalah ketersediaan akses pendidikan, air bersih, dan listrik. PAUD dan SD Muhammadiyah pun didirikan, dibuatkan sumur dan pompa air, serta disediakan listrik bertenaga surya. Tersedianya fasilitas yang menunjang kelangsungan kehidupan sehari-hari itulah yang membuat masyarakat Kahumamahon tertarik untuk memeluk dan mempelajari Islam. Proses transfer nilai-nilai ajaran Islam pun menjadi lebih mudah.
Karakter pemalu dan pendiam masyarakat Suku Kahumamahon menjadi tantangan tersendiri bagi Sri Moxsa.
Di satu sisi, ia tidak dapat mengajar dengan sistem tatap muka (mengumpulkan orang banyak). Untuk menanamkan akidah Islam, ia mesti singgah dari rumah ke rumah. Akan tetapi, di sisi yang lain, karakter itu jugalah yang membuat mereka tak menyanggah apa yang disampaikan Sri Moxsa, dan hanya diam mendengarkan.
Metode dakwah Sri Moxsa yang tidak memaksa dan berorientasi pada pemberian contoh laku kehidupan
itulah yang membuat mereka merasa nyaman. Secara perlahan dan bertahap, Sri Moxsa menanamkan akidah Islam
dengan mengubah mindset masyarakat mengenai kekuatan di luar diri mereka. Selain akidah, dimensi lain dari
ajaran Islam juga turut disampaikan, seperti ibadah dan muamalah. Perihal ibadah, dibutuhkan kesabaran ekstra
sampai mereka dapat beribadah secara mandiri. Untuk mengerjakan salat lima waktu saja, mereka masih sangat berat. Mereka hanya rutin melaksanakan salat Jumat dan salat Id. Itulah kenapa Sri Moxsa berkeinginan untuk rutin mengadakan kegiatan yang berbarengan dengan waktu salat, sehingga masyarakat dapat diarahkan untuk salat berjamaah. Untuk menunaikan puasa pun sama beratnya.
Lika-liku Pembinaan
Sri Moxsa menanamkan akidah Islam dengan mengubah mindset masyarakat mengenai kekuatan di luar diri mereka. Selain akidah, dimensi lain dari ajaran Islam juga turut disampaikan, seperti ibadah dan muamalah. Perihal
ibadah, dibutuhkan kesabaran ekstra sampai mereka dapat beribadah secara mandiri. Untuk mengerjakan salat lima
waktu saja, mereka masih sangat berat. Mereka hanya rutin melaksanakan salat Jumat dan salat Id. Itulah kenapa Sri Moxsa berkeinginan untuk rutin mengadakan kegiatan yang berbarengan dengan waktu salat, sehingga masyarakat dapat diarahkan untuk salat berjamaah. Untuk menunaikan puasa pun sama beratnya.
Sri Moxsa sadar bahwa mendampingi mualaf di pedalaman memang membutuhkan usaha lebih. Apalagi ia
harus mengubah mindset mereka tentang hidup. Pasalnya, ba-nyak hal yang belum mereka ketahui, baik tentang kesehatan, kebersihan, juga orientasi untuk bertahan hidup di masa depan.
Lika-liku pembinaan mualaf juga dialami oleh Fatmawati. Saat ini ia tengah membina para mualaf di Kecamatan
Bittuang dan Masanda, Kabupaten Tana Toraja. Di sana, mayoritas masyarakatnya menganut agama Kristen. Menurut penuturan Fatmawati, masyarakat sekitarnya banyak yang melakukan pernikahan beda agama. “Ada yang memang tertarik kepada Islam, tetapi ada juga yang masuk Islam karena mengikuti agama suami atau istrinya,” ungkapnya.
Seperti halnya yang dialami Sri Moxsa, Fatmawati mengalami kesulitan ketika melakukan upaya pembinaan.
Awalnya, para mualaf ini tidak mempunyai kemauan sendiri untuk mempelajari Islam. Ia sampai menggunakan
strategi menjemput bola. Melalui strategi tersebut, secara bertahap, mereka mulai mempunyai ketertarikan.
Minimnya Dukungan Yang Didapatkan
Sri Moxsa dan Fatmawati merupakan dua muballighat yang membawa semangat dakwah ‘Aisyiyah. Meski
berhadapan dengan berbagai tantangan berat di depan mata, mereka tetap berpeluh keringat mengajarkan Islam
kepada para mualaf. Sayangnya, usaha ini kurang mendapat perhatian dari berbagai pihak. Untuk mencapai target pembinaan secara maksimal, diperlukan waktu, tenaga, dan materi. Dalam hal ini, masalah ekonomi sering menjadi alasan orang berpindah agama. “Walaupun mendapatkan pengajaran tentang Islam, tetapi jika rentan mengalami
kelaparan karena miskin, akidah mereka bisa luntur,” papar Fatmawati.
Sejauh ini, sumber dana Sri Moxsa didapatkan dari Muhammadiyah, ‘Aisyiyah, dana pribadi relawan yang
melakukan pembinaan, dan sumbangan dari masyarakat umum. Sementara Fatmawati harus mencari dana
ke sana ke mari secara mandiri. Ia beberapa kali mengajukan proposal ke berbagai lembaga dan/atau instansi,
tapi belum mendapat respons. Kondisi tersebut tentu sangat memprihatinkan, mengingat apa yang mereka berdua
lakukan dapat digolongkan sebagai bentuk jihad fii sabilillah.
Selain dana, keduanya juga menyayangkan minimnya dukungan muballigh-muballighat dari pimpinan
atau anggota persyarikatan. “Dari awal, kesulitan kami dalam pembinaan ini adalah kurangnya muballigh Muhammadiyah-‘Aisyiyah di Luwuk yang siap mengabdikan dirinya di lokasi,” jelas Sri Moxsa.
Alasan Sri Moxsa dan Fatmawati tetap bertahan meski dengan segala keterbatasan, selain sebagai bentuk
tanggung jawab keagamaan, juga karena respons dan perhatian para mualaf ini membuat kehadiran keduanya sangat berarti.
2 Comments