Perempuan

Waspada Child Grooming, Modus Pelecehan Seksual

Sc: The Astrology Podcast
Sc: The Astrology Podcast

Sc: The Astrology Podcast

Oleh: Nuri Ikhwana

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat terdapat sepuluh kasus kekerasan seksual terhadap anak di satuan pendidikan di awal Januari 2023. Diantaranya diawali dengan modus Grooming Child. Grooming child sendiri merupakan istilah pelaku mendekati korban (anak orang lain di bawah umur) dengan cara mengambil perhatian hingga kepercayaannya sehingga memudahkan pelaku memanipulasi, mengeksploitasi, dan melecehkan korban. Setelah mendapatkan akses tersebut, pelaku memulai mendapatkan kontak secara seksual.

Kontak yang dilakukan pelaku mulai dari voyeurisme (kelainan seks yang menyebabkan penderitanya mendapatkan kenikmatan seksual dengan cara melihat atau mengintip korbannya) hingga pemerkosaan atau bentuk pelecehan seksual lainnya. Tidak hanya mendekati korban, pelaku juga bisa saja mendekati wali dari korban, sehingga tanpa disadari, kedekatan pelaku kepada korban dianggap alami. Pelaku grooming child umumnya dekat dengan keluarga atau lingkungan seperti sekolah, pesantren, klub, dan organisasi yang diikuti anak. Tidak hanya itu, grooming child melalui media sosial juga banyak ditemukan. Terlebih pada anak yang secara bebas memiliki akses media sosial dan tanpa pengawasan orang tua. Melalui konten-konten yang diunggah maupun jaringan yang ia temukan melalui media sosial dapat menjadi jembatan grooming child.

Pola Tindakan Child Grooming

Dilansir pada laman koalisi anak safechild.org, terdapat pola tidakan yang perlu kita ketahui dalam grooming child, diantaranya,

Baca Juga: Doxing: Ancaman Nyata Generasi Muda Perempuan di Ruang Digital 

  1. Setiap anak hingga remaja dapat menjadi korban potensial. Beberapa pelaku menargetkan anak yang memiliki keluarga rentan atau kondisi yang memfasilitasi tindak kejahatan seperti kurangnya perhatian orang tua, keluarga yang sibuk, orang tua yang kurang peka terhadap anak, dan lain sebagainya.
  2. Mendapatkan akses untuk mendekati dengan berinteraksi, mendapatkan perhatian khusus, mencoba pengertian dan menjadi pendengar, bermain dengan korban, memberikan hadiah, hingga tumpangan.
  3. Setelah dekat, pelaku mencoba berperan menjadi seseorang yang yang penting dan menjadi tempat bergantung dalam kehidupan anak hingga terlihat bahwa dialah satu-satunya orang yang peduli. Biasanya diikuti kalimat-kalimat “hanya aku yang peduli denganmu”.
  4. Mengisolasi anak dengan cara memisahkannya dengan lingkungannya. Pada beberapa kasus yang terdapat hubungan kedekatan antara keluarga dengan pelaku, bisa saja dianggap sesuatu hal yang wajar saat keluar bersama, sehingga cenderung minim perhatian dan pengawasan orang tua.
  5. Pelaku menciptakan kerahasiaan di dalam hubungan. Pelaku menjalin komunikasi pribadi dapat berupa pesan teks atau media sosial dan memberi peringatan agar tidak memberitahukannya pada orang lain. Fase ini, pelaku biasanya memberikan ancaman atau iming-iming kepada anak.
  6. Dengan hubungan yang telah dibangun, pelaku memulai kontak seksual pada korban melalui paksaan maupun emosional. Kontak fisik yang dilakukan mungkin tampak biasa saja seperti tepukan pada lutut, lengan, atau kontak fisik lainnya. Pada kasus anak yang kurang peka, pelaku dapat melakukan kontak fisik secara terang-terangan.
  7. Pelaku mengontrol hubungan dan membatasi anak agar tidak bercerita kepada orang tuanya. Anak seringkali tidak berani menceritakan kejadian yang dialami atau bahkan tidak sadar atas pelecehan seksual yang dilakukan pelaku.

Peran orang tua menjadi hal penting bagi anak-anak hingga usia remaja. Diperlukan juga pembelajaran mengenai batas-batas kontak fisik pada anak. Selain itu, dukungan orang tua untuk saling berbagi cerita juga penting bagi anak. Umumnya anak takut bercerita dan takut disalahkan, sehingga menjadi tugas orang tua untuk memberikan ruang dan kesempatan bagi anak untuk mengungkapkan cerita.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *