Cerpen oleh: Yuni Raraswati
Senja mengganti warna langit menjadi merah jingga di balik jendela kaca ruang kelas sebelas B di SMA Harapan Bangsa. Sepanjang hari, udara terasa hangat mengalir, tapi di dalam kelas itu, hangatnya berubah menjadi ketegangan yang tersimpan rapi di antara para pelajar.
Riyanto duduk bersandar di bangku dengan seulas senyum penuh keyakinan. Ia tengah melontarkan kata-kata yang menusuk relung jiwa teman-temannya. “Kalian tahu, Pancasila itu sudah usang. Dunia sudah berubah, dan kita butuh ideologi baru yang lebih segar, lebih bebas,” katanya lantang.
Seorang siswa berbisik ragu, “Tapi bukankah Pancasila hasil kesepakatan seluruh bangsa kita?”
Riyanto mengangkat bahu. “Kesepakatan itu sudah lama, mungkin tidak cocok lagi dengan zaman sekarang. Bukankah lebih baik kita menuju pemikiran yang lebih modern?”
Arif, yang duduk agak terpencil di pojok kelas, mendengar itu dengan hati bergejolak. Dia menatap Riyanto penuh tekad dan berkata dengan suara lembut, “Riyanto, Pancasila bukan sekadar dokumen lama yang usang, tapi janji suci kita bersama. Ia disebut darul ahdi wa syahadah, rumah perjanjian dan tempat kita bersaksi. Bukankah itu jauh lebih berharga?”
Pancasila Ikrar Anak Bangsa
Riyanto tersenyum sinis. “Darul ahdi wa syahadah itu apa? Bahasa Arab yang kedengarannya puitis. Tapi apakah maknanya benar-benar relevan?”
Naya, yang duduk di samping Arif, tak kuasa diam. Ia menatap Riyanto dengan mata berkaca-kaca dan berkata lembut, “Darul ahdi wa syahadah berarti tempat perjanjian dan saksi. Pancasila adalah ikrar yang mengikat seluruh anak bangsa kita. Ia bukan sekadar politik, tapi juga tali persaudaraan dan komitmen moral.”
Sore itu, debur angin membawa aroma hujan yang sejatinya belum turun, menyisip dalam bisik-bisik murid yang mulai mendebat tentang masa depan bangsa. Riyanto berdiri di tepi meja, kedua tangannya terkepal halus di pinggul, wajahnya memerah oleh semangat dan kecemasan yang bertaut.
“Apakah kalian benar-benar yakin, bahwa dengan terus memelihara Pancasila kita akan maju? Bukankah zaman berubah? Justru ideologi lama itu yang menghambat inovasi dan pergerakan bebas!” suaranya menggelegar tajam.
Pancasila Bukan Sekadar Catatan Sejarah
Arif menghela napas dalam-dalam, mencoba menahan gelombang keraguan yang mulai menular pada sebagian teman. Dengan suara yang seribu kali lebih lembut, ia menjawab, “Riyanto, Pancasila bukan sekadar catatan sejarah yang usang; dia adalah bukti cinta dan pengorbanan seluruh anak negeri. ‘Darul ahdi wa syahadah’, bukan hanya klaim kosong—itu perjanjian sakral yang menjadi pondasi kita.”
Naya diam sejak awal, kemudian menundukkan kepala, suaranya terisak lirih, “Kalau kalian meninggalkan Pancasila, apa yang tersisa? Hanya kebebasan tanpa arah, tanpa makna? Aku percaya negeri ini butuh ikrar, janji yang mengikat hati dan jiwa kita. Seperti ajaran agama yang mengajarkan setia dan amanah.”
Beberapa hari kemudian, di ruang mushala sekolah yang sunyi, Arif dan Naya duduk berhadapan, ditemani cahaya remang-remang dari lampu gantung. Suara azan terdengar samar dari kejauhan, menambah rasa syahdu di tempat itu.
“Kau tahu, Naya,” kata Arif membuka percakapan, “ketika kita bicara tentang Pancasila sebagai darul ahdi wa syahadah, aku teringat firman Allah dalam al-Qur’an, surat Al-Hujurat ayat 13, yang mengingatkan kita bahwa keberagaman adalah rahmat, bukan masalah.”
Naya mengangguk pelan. “Benar, Arif. Ayat itu memberi pelajaran bahwa kita diciptakan berbeda-beda agar saling mengenal dan tolong-menolong, bukan saling bermusuhan. Itu sangat sesuai dengan nilai persatuan dalam Pancasila.”
Kesaksian pada Sang Pencipta
Di tengah heningnya mushala, lampu-lampu kecil mengayomi cahaya hangat, Arif mengulurkan sebuah kitab ke arah Naya. “Lihat halaman ini, Nin. Dalam tradisi Islam, kita mengenal konsep ‘ahd’ atau perjanjian. Dalam konteks Pancasila, ‘darul ahdi wa syahadah’ berarti tempat saksi dan perjanjian yang tidak bisa diingkari, sekaligus menjadi kesaksian kita kepada Sang Pencipta.”
Naya menyentuh kitab itu perlahan seperti memegang pusaka. “Ini mengingatkanku pada pesan Nabi Muhammad SAW tentang menjaga amanah dan kejujuran. Jika Pancasila adalah darul ahdi, maka kita berkewajiban menjaga yang telah menjadi kesepakatan leluhur selaras dengan prinsip agama.”
Arif membuka lembaran sebuah buku berjudul Sejarah dan Spiritualitas Pancasila. Ia membaca keras, “Pancasila lahir dari kesepakatan seluruh anak bangsa, bukan sekadar konsensus politik, tapi perjanjian yang sakral. Oleh karena itu, ia disebut sebagai darul ahdi wa syahadah, tempat kita berikrar dan menjadi saksi.”
“Memang, nilai dalam Islam, keadilan, persaudaraan, kemanusiaan, berpadu begitu harmonis dengan sila-sila Pancasila,” lanjut Naya.
“Sila pertama menyebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mengafirmasi keyakinan kita kepada Allah. Sila kedua dan ketiga meneguhkan kemanusiaan dan persatuan. Nilai-nilai ini tidak bisa dipisahkan dari agama yang kita anut.”
Percakapan mereka mengalir lancar seperti sungai yang tenang namun dalam. Suara dzikir yang pelan dari beberapa siswa yang beribadah menambah ketenangan di mushola kecil itu.
Arif ttersenyum.
“Aku yakin, Nin. Paham asing yang mencoba menggeser Pancasila tak memiliki akar spiritual dan moral seperti kita. Mereka hanya menawarkan kebebasan kosong yang nggak bermahkota.”
Naya menggenggam tangan Arif lalu berbisik, “Marilah kita sebarkan pemahaman ini, agar teman-teman kita sadar bahwa Pancasila adalah rumah perjanjian yang mengikat kita di depan Sang Pencipta dan bangsa.”
Janji itu mereka ikrarkan dalam sunyi, di bawah langit yang terbentang luas, sebagai penjaga harapan peradaban bangsa yang unggul, adil, dan makmur.
Menjaga Pancasila
Suasana pagi di SMA Harapan Bangsa tampak biasa saja, namun di gedung aula, tensi berdenyut tak kasat mata. Riyanto bersama kelompoknya menggelar rapat tertutup, menyebarkan ide yang mempertanyakan dasar negara Pancasila.
“Kita harus membuka mata, teman-teman,” kata Riyanto dengan nada meyakinkan. “Pancasila adalah warisan lama yang mengikat kebebasan kita. Generasi kita perlu merdeka dari belenggu itu.”
Beberapa anggota terdiam ragu, sementara yang lain mengangguk setuju.
Di sisi lain sekolah, Arif dan Naya bersama kelompok Jejak Nusantara tengah menyiapkan pertemuan dukungan terhadap Pancasila. Mereka sadar bahwa perbedaan ini bukan sekadar soal politik, tapi mempertaruhkan masa depan bangsa.
Ketika Rafli berbicara di hadapan seluruh siswa, nada suaranya bergetar penuh keyakinan, “Kita berdiri kokoh bukan karena satu atau dua ide baru, tetapi karena ikrar bersama, yang tertulis atas nama bangsa dan Tuhan. Pancasila adalah janji yang kita pertahankan dengan nyawa, dengan iman.”
Riyanto membalas dengan nada dingin, “Tapi apakah janji itu harus membungkam suara perubahan? Kebebasan itu hak kita. Jangan sampai Pancasila jadi bata penghalang kreativitas yang dibutuhkan generasi baru.”
Arif dengan tegas melangkah maju, matanya membara, “Bebas bukan berarti terombang-ambing tanpa pegangan, Riyanto. Jika kamu mencari kebebasan sejati, kamu harus temukan dalam rahim tanggung jawab dan cinta—dan Pancasila itulah yang memberi kita itu!”
Ketegangan mengental, namun Rafli turun tangan, “Kita punya pilihan: bersatu dalam keberagaman, atau tercerai berai dalam perpecahan. Mari jaga negeri ini dengan hati yang lurus dan tekad yang kokoh.”
Suara itu menenangkan dan memberi ruang bagi harapan. Dalam riuh yang mereda, Arif menatap Riyanto, berharap kelak ia memandang Pancasila dengan hati yang terbuka.
Kebenaran Nilai Luhur Pancasila
Minggu demi minggu berlalu sejak ketegangan di sekolah sempat memuncak. Namun semangat kelompok Jejak Nusantara terus berkobar. Arif dan Naya memimpinnya dengan hati penuh keyakinan bahwa kebenaran dan nilai luhur Pancasila akan mampu menyentuh jiwa para pelajar.
Pada suatu pagi yang cerah, aula besar SMA Harapan Bangsa dipenuhi karya seni dan poster berwarna-warni yang bercerita tentang perjalanan bangsa Indonesia.
Di pojok ruangan, sebuah banner besar bertuliskan: “Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah: Janji Suci Bangsa Indonesia.”
Kelompok Jejak Nusantara menjadi tuan rumah pameran budaya dan nilai kebangsaan yang dihadiri oleh hampir seluruh siswa dan guru.
Naya berdiri di depan pengunjung, dengan suara tenang namun penuh semangat, ia menjelaskan, “Pancasila bukan hanya dasar negara. Ia adalah tempat perjanjian suci—darul ahdi wa syahadah—yang mengikat kita dalam persatuan dan keadilan. Kita harus menjaga janji ini agar bangsa kita tetap unggul, adil, dan makmur seperti yang telah diimpikan para pendiri negeri.”
Keselarasan Pancasila dan Agama
Arif menambahkan, “Nilai-nilai Pancasila selaras dengan ajaran agama kita, terutama Islam yang mengajarkan keadilan, kasih sayang, dan persatuan umat. Dengan memahami ini, kita tidak hanya menjadi warga negara yang patuh, tapi juga insan yang beriman dan bertanggung jawab.”
Para siswa yang sebelumnya meragukan kini mulai membuka hati mereka, menyimak dengan seksama. Beberapa dari mereka mulai mencari tahu lebih dalam tentang sejarah dan makna Pancasila.
Ada rasa haru dan angin baru yang berhembus di SMA Harapan Bangsa. Sekolah bukan lagi sekadar tempat mendulang nilai akademik, tetapi menjadi benteng penguatan jiwa kebangsaan dan spiritual.
Naya dan Arif saling bertukar pandang penuh harap. Mereka tahu perjalanan ini masih panjang, namun setiap langkah mendekatkan mereka pada masa depan bangsa yang lebih cerah.
Malam telah melingkupi kampus SMA Harapan Bangsa. Di taman kecil yang teduh, Arif duduk termenung, matanya menatap langit gelap bertabur bintang. Suara jangkrik dan desir angin menjadi teman sunyinya yang khusyuk. Ia meresapi perjalanan panjang yang baru saja dilalui, dari perdebatan sengit hingga pameran yang menghangatkan semangat.
Menjaga Darul Ahdi Wa Syahadah
Segala kisah itu berputar dalam pikirannya, bersatu dalam satu harapan yang sederhana namun agung.
“Ya Allah, Engkau Maha Mengetahui,” bisik Arif, “jadikanlah aku dan kami semua generasi penerus yang tidak hanya cerdas ilmu dunia, tapi juga kuat iman dan teguh menjaga janji suci bangsa ini. Jadikanlah Pancasila cahaya yang menerangi setiap langkah kami, sebagai saksi di hadapan-Mu dan leluhur negeri.”
Matanya membelalak, penuh harap dan tekad. Di dalam hatinya, janji itu terpatri: menjaga darul ahdi wa syahadah sebagai pondasi negeri yang utuh, harmonis, dan bermartabat.
Besok adalah hari baru, bukan hanya di kalender tapi juga dalam jiwa bangsa. Arif yakin, selama ada jiwa yang sanggup menjaga janji dan kesaksian, Indonesia akan terus melangkah maju menjadi peradaban unggul, adil, dan makmur.
Dengan tegap ia berdiri, menatap rumah besar bangsa dengan jiwa penuh cinta dan iman. Seperti sang fajar yang menyingkap gelap malam, harapan yang dibawa Pancasila akan selalu bersinar, mengikat semua anak bangsa dalam kasih persaudaraan.
*Guru SMA Negeri 10 Purworejo. Wakil Ketua 3 PDA Membidangi Paudasmen dan LBSO

