Berita

Kontribusi Komunitas terhadap Perubahan Sosial: Sharing Session Eco Bhinneka Muhammadiyah Bersama Ford Foundation

Pontianak, Suara ‘Aisyiyah — Komunitas dan gerakan akar rumput memegang peran penting dalam mendorong perubahan sosial.

Dengan memberdayakan masyarakat yang terdampak secara langsung, mereka mampu menciptakan perubahan yang lebih berkelanjutan dibandingkan pendekatan yang bersifat top-down.

Hal ini disampaikan oleh Farah Sofa, Program Officer, Natural Resource and Climate Justice (NRCJ), Ford Foundation, pada acara Sharing Session yang diadakan Eco Bhinneka Muhammadiyah bertema ‘Bekerja dengan Mereka yang Mempunyai Visi di Garis Terdepan Perubahan Sosial di Seluruh Dunia’, di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, Kamis (9/10/25).

Farah juga menilai bahwa kerja-kerja Eco Bhinneka menjadi contoh kuat bagaimana gerakan akar rumput dapat membangun jembatan dan menciptakan masa depan yang lebih baik serta lebih harmonis.

“Eco Bhinneka Muhammadiyah menjadi contoh nyata bagaimana gerakan berbasis komunitas mampu membangun jembatan antar kelompok dan menciptakan masa depan yang lebih harmonis,” ungkapnya.

Peran Generasi Muda Lintas Iman dalam Advokasi Lingkungan

Farah menyoroti pentingnya advokasi berbasis nilai-nilai iman dan lingkungan. Ia mencontohkan bahwa saat ini Vatikan telah mengeluarkan doktrin Laudato Si, dan Muhammadiyah telah mengembangkan Fikih Transisi Energi yang Berkeadilan.

Ia memberikan tantangan kepada peserta muda dari Eco Bhinneka Muhammadiyah untuk mengidentifikasi isu-isu yang perlu disuarakan lintas agama, khususnya yang berkaitan dengan keadilan lingkungan dan kebijakan publik.

Farah menekankan pentingnya peran generasi muda dalam mendorong gerakan sosial, termasuk dalam isu eco feminisme dan keadilan iklim. “Anak muda memiliki energi luar biasa dan semangat yang luas untuk bergerak. Mereka adalah salah satu kekuatan terbesar dalam perubahan sosial,” ujarnya.

Menurutnya, advokasi harus dibarengi dengan dokumentasi pengetahuan.

“Penting untuk mendokumentasikan praktik keagamaan dalam pengelolaan lingkungan secara terstruktur, lalu menyebarkannya melalui publikasi atau jurnal ilmiah. Di Indonesia, publikasi melalui jurnal ilmiah ini masih jarang dilakukan,” ujarnya.

Di tingkat kebijakan, Eco Bhinneka perlu mendorong advokasi lingkungan yang berakar pada nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan.

Baca Juga: Perempuan di Tengah Krisis Iklim: Dari Pesisir, Pertanian, hingga Perkotaan

Berbagai sumber pengetahuan seperti studi kasus, pengalaman lapangan, dan model pemberdayaan juga terus dikembangkan dan dibagikan agar dapat direplikasi oleh komunitas lain yang ingin membangun gerakan serupa.

Keterlibatan Global dan Kolaborasi

Farah mengajak peserta untuk memikirkan bagaimana agar suara komunitas terdengar di level global. Menurutnya, kolaborasi internasional tidak selalu berupa pendanaan.

“Bisa saja partner membuka jalan, memberi akses, atau memperluas jaringan. Semua bentuk kerja sama harus kita pikirkan secara holistik dan jangka panjang,” jelasnya.

Ia mendorong Eco Bhinneka Muhammadiyah untuk memiliki tim khusus komunikasi, networking, dan partnership.

“Mulailah dengan tim yang fokus pada komunikasi dan jejaring. Bangun hubungan rutin dengan mitra lintas agama dan lembaga global. Tidak semua orang aktif di media sosial—kadang, surat elektronik atau newsletter lebih efektif,” katanya.

Model Gerakan dan Keberlanjutan

Farah menegaskan bahwa model gerakan berbasis komunitas terbukti lebih tahan lama dan berdampak. Dalam jangka panjang, lanjutnya, Eco Bhinneka Muhammadiyah perlu memikirkan perubahan seperti apa yang ingin diwujudkan dalam lima tahun ke depan.

“Pikirkan perubahan apa yang ingin dilihat dalam jangka panjang. Praktik dan ide boleh banyak, tapi akan lebih kuat kalau kita punya satu tujuan yang kita pegang sepanjang jalan,” pesannya.

Menurut Farah, bekerja di gerakan sosial itu maraton, bukan sprint. “Kalau lelah, tarik napas, berhenti sejenak, tapi jangan hilangkan niat dan keyakinan bahwa sekecil apa pun yang kita lakukan tetap berarti,” katanya.

Lebih lanjut, terkait kolaborasi jangka panjang, Farah berpesan pentingnya bergerak dari ego ke eco.

“Ego muncul ketika kita merasa hanya cara kita yang benar. Kita perlu menyingkirkan ego itu agar bisa benar-benar bekerja bersama mewujudkan perubahan,” pungkasnya.

Sharing Session ini dihadiri oleh para pengelola program ‘Memperkuat Inisiasi Kepemimpinan Kaum Muda Lintas Iman dalam Perubahan Iklim melalui Keadilan Gender’ (Strengthening Youth Multifaith Leader Initiative on Climate Justice through Ecofeminism/SMILE) Eco Bhinneka Muhammadiyah, baik di tingkat nasional maupun dari 8 wilayah: Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Barat, Maluku Utara, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan.

Related posts
Berita

Eco Bhinneka Manfaatkan Limbah Kulit Buah Naga, Ciptakan Produk Berkelanjutan

Banyuwangi, Suara ‘Aisyiyah – SMILE Eco Bhinneka Muhammadiyah menggelar Pelatihan Membuat Selai dari Kulit dan Daging Buah Naga untuk organisasi lintas iman…
Berita

Belajar Siklus Hidup Buah Naga: Kolaborasi Pemuda Lintas Iman dan Eco Bhinneka Muhammadiyah

Banyuwangi, Suara ‘Aisyiyah – Eco Bhinneka Muhammadiyah bersama warga lintas iman di Banyuwangi menggelar kegiatan “Kelas Siklus Hidup Buah Naga dan Pelatihan…
Berita

Eco Bhinneka Muhammadiyah Gelar Pameran di Perayaan Green Campus Blue Seminary

Jakarta, Suara ‘Aisyiyah – Promosikan bahwa umat lintas iman di Indonesia mampu bekerja sama dalam membangun perdamaian dan melestarikan lingkungan, Eco Bhinneka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *