Oleh: Eko Triyanto*
“Masalah pangan adalah masalah kedaulatan. Masalah pangan adalah masalah kemerdekaan. Masalah pangan adalah masalah survival kita sebagai bangsa. Jika kita ingin menjadi negara maju, pangan harus aman dulu.” Presiden Prabowo Subianto
Ketahanan pangan menjadi satu di antara empat fokus utama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, berupa Ketahanan Pangan, Energi, Hilirisasi dan Gizi Gratis.
Saat ini, pemerintah terus berusaha untuk mewujudkan swasembada pangan, khususnya beras. Untuk mewujudkan hal tersebut, berbagai upaya dilakukan termasuk dengan melakukan reformasi kebijakan yang mendukung sektor pertanian, penguatan kelembagaan, meningkatan produktivitas pertanian, optimalisasi lahan dan diversifikasi pangan.
Menarik jika kita menyimak dua poin terakhir, optimalisasi lahan dan diversifikasi pangan. Badan Pertanahan Nasional (BPN) pernah mencatat sekitar 800 ribu hektar tanah terindikasi terlantar atau tidak dimanfaatkan. Jumlah riil bisa jadi lebih luas lagi mengingat di berbagai wilayah terdapat sawah dan kebun yang kini tidak diolah dengan berbagai alasan.
Sementara Badan Wakaf Indonesia (BWI) mencatat dari total 450 ribu titik aset tanah wakaf, sekitar 9,9 persen di antaranya masih menganggur atau belum digunakan secara produktif.
Baca Juga: Mempersiapkan Anak Agar Tidak Takut Menikah
Kondisi tersebut bisa dimanfaatkan dengan melakukan optimalisasi tanah wakaf untuk sektor pertanian. Agar lahan lebih produktif sekaligus mendukung ketahanan pangan nasional. Sehingga orang yang mewakafkan tanahnya (muwakif) mendapatkan bagian pahala. Sementara nazir bisa menjalankan tanggungjawab atas amanah yang diberikan dan umat bisa merasakan manfaat.
Sebagian besar tanah wakaf yang idle atau menganggur tersebut memang umumnya bukan berupa lahan persawahan. Maka bisa mengambil alternatif menjadi lahan diversifikasi pangan dengan bahan pangan non beras.
Bahan pangan seperti singkong, ubi jalar, sorgum, atau pun talas. Atau aneka tanaman buah yang relatif mudah dalam perawatan dan gampang diakses masyarakat bisa menjadi pilihan komoditas yang bisa ditanam.
Menikah Menanam, Antara Cita dan Realita
Menikah menjadi momen sakral dalam kehidupan manusia. Sehingga patut untuk dirayakan, sekaligus menghadirkan sesuatu yang monumental. Menanam pohon, bisa menjadi tren positif yang bisa dipilih. Menggugah kepedulian pasangan suami-istri yang baru saha menikah untuk lebih peduli terhadap lingkungan.
Sejak beberapa tahun lalu, Kementerian Agama menjalankan program inovatif berupa gerakan menikah menanam. Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sleman Yogyakarta, pada tahun 2014 menggagas pernikahan hijau lestari, yang kemudian menjadi inovasi gerakan menikah menanam.
Para pengantin yang akan melaksanakan akad nikah diminta menyumbangkan bibit tanaman untuk di tanam, baik di rumahnya sendiri maupun untuk disumbangkan. Banyak di antaranya bahkan memasukan bibit tanaman sebagai satu di antara mahar yang diberikan kepada pengantin perempuan.
Pernikahan menjadi momen sakral dan istimewa. Maka menanam pohon pada hari pernikahan bisa menjadi monumen yang bisa selalu dikenang. Lebih jauh, gerakan menikah menanam tersebut bertujuan mengubah gaya hidup dan memberikan kesadaran tentang pernikahan tidak sekadar pesta dan sukacita dua orang yang menikah, tetapi juga menjadi awal mempersiapkan sebuah peradaban.
Dengan menanam pohon berarti telah ikut berkontribusi dalam menjaga lingkungan, mempersiapkan cadangan oksigen dan air untuk kehidupan.
Untuk menggugah kesadaran kolektif tersebut, bisa dilakukan dengan menjadikan bibit tanaman sebagai mahar dalam pernikahan, dan menyelipkan pesan saat khutbah nikah tentang pentingnya menanam sehingga bisa dipahami oleh hadirin dalam walimatul ‘urs.
Problem dan Solusi
Gerakan ini juga relevan dengan program ekoteologi, yang menempatkan kelestarian lingkungan sebagai bagian dari tanggung jawab spiritual.
Meski demikian, program menikah menanam masih memiliki kelemahan yang perlu dicarikan solusi. Pertama, keterbatasan lahan. Tidak semua pengantin memiliki lahan yang cukup untuk ditanami pohon, apalagi di daerah perkotaan.
Kedua, pemilihan jenis bibit tanaman diserahkan ke calon pengantin sehingga beragam dan terkadang merupakan bibit tanaman yang tidak produktif.
Ketiga, tidak ada jaminan dalam keberlanjutan dalam perawatan. Maka program menikah menanam akan berdampak jika dikelola secara baik. Di antaranya melakukan sinergi dengan para pengelola wakaf. Bibit tanaman bisa ditanam di lahan-lahan wakaf agar lebih produktif.
Dari segi bibit, perlu juga diberikan panduan, bibit yang disediakan untuk program menikah menanam merupakan jenis tanaman yang mendukung ketahanan pangan.
Jenis buah-buahan seperti jambu air, jambu biji (kristal), manggis, sawo, rambutan, dan mangga bisa menjadi pilihan. Buah-buah tersebut realtif mudah dalam perawatan, beberapa di antaranya bisa berbuah sepanjang tahun, dan dalam jumlah banyak sehingga mudah untuk dijangkau siapapun yang membutuhkan.
Menikah Menanam Wujud Tanggung Jawab Lingkungan
Kita bisa belajar dari negeri tetangga, sejak tahun 2009, warga beberapa Kota di Australia dan Selandia Baru memiliki inisiatif menanam aneka tanaman buah yang bisa dikonsumsi untuk umum.
Mereka menyebutnya dengan Urban Food Street atau Food Forest. Aneka tanaman buah seperti apel, pir, plum, dan jeruk di tanam di pinggir jalan dan ruang publik.
Selain mempercantik lingkungan dengan aneka pepohonan, juga menjadi sumber nutrisi yang sehat dan mendukung keanekaragaman hayati. Gerakan semacam ini bisa dilakukan di Indonesia. Kader-kader ‘Aisyiah bisa sebagai pelopor dalam gerakan penanaman pohon yang produktif.
Dengan demikian akan terjalin sinergi yang saling mendukung antara program menikah menanam, calon pengantin sebagai donatur untuk bibit tanaman, nazir wakaf atau ormas keagamaan sebagai penyedia lahan, dan kader-kader ‘Aisyiah atau mubalighat sebagai pelaksana di lapangan.
Sehingga program menikah menanam akan bisa terus berkelanjutan, lebih tertata dan berdampak. Tanah-tanah wakaf yang selama ini menganggur bisa menjadi produktif. Serta para mubalighat tidak hanya datang untuk menyampaikan nasihat, tetapi juga membawa ‘nasi’ (makanan) yang dibutuhkan masyarakat.
Ini juga selaras dengan program Gerakan Lumbung Hidup ‘Aisyiah (GLHA) yang bertujuan memberdayakan masyarakat dengan memanfaatkan pekarangan untuk menanam aneka tanaman untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Sehingga masyarakat bisa memiliki kemandirian khusuanya dalam penyediaan pangan.
*Anggota Jamaah Tani Muhammadiyah (JATAM) Minggir Sleman