AksaraWawasan

Pelita Kata di Tengah Bangsa

Oleh: Yuni Raraswati*

Langit sore itu berwarna kelabu, seolah menyimpan resah yang tak terucapkan. Di ruang rapat besar, cahaya lampu jatuh ke meja panjang, memantulkan bayangan wajah-wajah tegang. Di ujung meja, seorang pejabat muda dengan suara lantang memecah keheningan.

“Ini semua lambat sekali! Kalau kita tidak menekan rakyat agar segera patuh, sampai kapan pembangunan bisa jalan?” serunya sambil menghentakkan tangan ke meja. Getarannya seperti palu yang menghantam besi, kasar dan menyakitkan.

Keheningan kembali menyelimuti ruangan, namun kali ini terasa lebih berat. Semua mata beralih kepada Ardiansyah, sang pemimpin. Ia duduk tenang, tubuhnya tegak, wajahnya teduh seperti pohon tua yang akarnya menahan badai.

Dalam hatinya, ia kembali mendengar suara yang pernah singgah di masa remajanya. Suara Bu Ratna, guru Bahasa Indonesia, yang dulu menuliskan di papan tulis:

“Bahasa menunjukkan bangsa.”

Lalu suara itu menggema: “Tutur kata adalah cermin hati. Sekali kau ucapkan dengan kasar, runtuhlah martabatmu.”

Ardiansyah menghela napas. Matanya menyapu ruangan, lalu ia bicara. Suaranya tidak tinggi, tapi jernih, seperti aliran sungai yang menyusuri bebatuan tanpa terburu-buru.

“Saudaraku,” katanya, “rakyat bukan batu yang bisa dipukul hingga pecah. Mereka tanah yang harus ditanam dengan kesabaran, agar menumbuhkan buah kepercayaan. Bila kita mengucapkan kata-kata kasar, yang tumbuh bukanlah panen kebaikan, melainkan semak belukar kebencian.”

Ruangan hening. Kata-katanya jatuh seperti embun di pagi hari, bening tapi menusuk ke dasar hati. Pejabat muda itu menunduk, wajahnya memerah, seolah bayangan kesombongannya runtuh oleh cahaya yang tak bisa dilawan.

Salah seorang staf senior berbisik dalam hati:“Ia bukan membalas api dengan api, tapi dengan air yang memadamkan sekaligus menyuburkan. Itulah mengapa ia lebih kuat dari siapa pun.”

Namun jalan kepemimpinan Ardiansyah tak pernah tanpa duri. Ada yang menuduh kelembutannya adalah kelemahan, ada pula yang menebar fitnah bagai asap hitam menutupi cahaya. Tapi ia tahu, cahaya tidak pernah berteriak untuk mengalahkan gelap—ia hanya perlu terus bersinar.

Malam itu, di meja kerjanya, ia menulis sebuah catatan kecil:

“Aku mungkin tak mampu meninggalkan istana megah. Tapi bila rakyatku bisa meniru satu hal dariku—menjaga ucapan dengan hormat—maka itulah warisan yang lebih abadi daripada tubuhku.”

Beberapa tahun kemudian.

Senja merayap di langit pinggiran kota, cahaya oranye membelai atap rumah-rumah. Di sebuah beranda sederhana, seorang perempuan tua duduk ditemani angin lembut. Sosok guru senior yang tetap penuh semangat meski telah melewati perjalanan panjang dalam dunia pendidikan. Wajahnya selalu dihiasi senyum tulus yang memancarkan ketenangan dan keteguhan hati.

Busana muslimah yang ia kenakan senantiasa rapi, dengan jilbab serasi yang memperlihatkan keanggunan sekaligus ketulusannya. Sebagai guru Bahasa Indonesia, ia tidak hanya mengajarkan kaidah bahasa dan sastra, tetapi juga menanamkan nilai kejujuran, kesantunan, serta semangat untuk memperkokoh karakter murid-muridnya.

Di hadapannya, para murid merasa diperhatikan sekaligus diarahkan untuk tumbuh menjadi pribadi yang berwawasan luas dan siap menjadi pemimpin yang bijaksana.

Dialah Bu Ratna. Di pangkuannya, terbuka sebuah koran. Di halaman utama, terpampang wajah muridnya: “Ardiansyah, Pemimpin yang Dikenang karena Menjaga Ucapan.”

Tangan tuanya bergetar. Sebutir air mata jatuh, membasahi huruf-huruf yang tercetak. Ia berbisik lirih, seolah berbicara pada dirinya sendiri: “Anak itu… benar-benar menghidupkan sebuah peribahasa. Satu kalimat yang dulu kutuliskan di papan tulis, kini telah menjadi cahaya yang menerangi sebuah bangsa.”

Ia menengadah, menatap senja yang perlahan tenggelam di ufuk barat. Langit berubah jingga, lalu merah, lalu kelam. Tapi di hatinya, ia tahu, cahaya tak pernah benar-benar padam. Ada cahaya yang bersemayam dalam kata-kata, dan kata-kata itu hidup dalam muridnya.

“Ya Allah,” bisiknya, “jika satu kalimat yang kuajarkan mampu menjadi pelita bagi seorang murid, dan dari murid itu cahaya menular kepada banyak orang, maka itulah kebahagiaan terbesar bagiku sebagai guru.”

Sejak hari itu, masyarakat kerap menyebut nama Ardiansyah dengan simbol-simbol sederhana:

  • Sebatang pohon rindang di alun-alun kota, melambangkan keteguhan yang meneduhkan banyak jiwa.
  • Sebuah pelita perunggu di museum daerah, melambangkan cahaya kata-katanya yang tak padam oleh waktu.
  • Bunga melati putih di halaman sekolah Bu Ratna, melambangkan kesucian bahasa yang ia wariskan.

Orang-orang tahu, Ardiansyah telah tiada. Tetapi kata-katanya tetap hidup, berakar dalam tanah sejarah, bercahaya dalam hati generasi, dan mekar dalam tutur bangsa. Dalam diri Ardiansyah, bangsa itu menemukan cermin paling jernih.

*Penulis adalah Wakil Ketua 3 Pimpinan Daerah  ‘Aisyiyah Purworejo Jawa Tengah

Related posts
Aksara

Darul Ahdi wa Syahadah: Janji dan Saksi Anak Bangsa

Cerpen oleh: Yuni Raraswati Senja mengganti warna langit menjadi merah jingga di balik jendela kaca ruang kelas sebelas B di SMA Harapan…
Aksara

Perempuan Merdeka, Indonesia Jaya

Oleh: Yuni Raraswati* Di ufuk timur, mentari kemerdekaan kembali menyala Delapan puluh tahun sudah merah putih berkibar gagah di angkasa Di setiap…
Aksara

Risalah dalam Dada

oleh Yuni Raraswati* Di ufuk sabit yang baru bersinar, Langit bersair dalam zikir yang gemetar, Bulan hijrah menyapa lembut titian, Tanda mula…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *