Oleh: Suko Wahyudi*
Demokrasi, dalam pengertian hakikinya, bukan sekadar sistem politik, melainkan cara pandang hidup bersama yang menempatkan manusia sebagai makhluk berpikir dan bermoral.
Ia berdiri di atas kesadaran bahwa kedaulatan rakyat hanya dapat dijalankan oleh warga yang berakal sehat, berpengetahuan, dan berjiwa merdeka. Tanpa itu, demokrasi hanyalah ritual lima tahunan tanpa ruh, pesta suara tanpa makna, dan kebebasan yang kehilangan arah.
Kini, demokrasi kita seakan tengah tersesat di belantara opini. Di ruang-ruang publik dan media sosial, setiap orang berbicara dengan penuh keyakinan, tetapi sering tanpa pemahaman yang cukup. Suara terbanyak menjadi ukuran kebenaran, sementara nalar dan etika publik tergeser oleh emosi kolektif.
Demokrasi berubah menjadi keramaian tanpa kebijaksanaan, tempat kebenaran dikaburkan oleh keindahan kata, dan kesalahan dibungkus dalam kemasan retorika yang memukau. Fenomena ini memperlihatkan bahwa demokrasi tanpa pendidikan ibarat tubuh tanpa jiwa. Ia bergerak, tetapi kehilangan arah.
Di negeri yang masyarakatnya belum terdidik secara menyeluruh, demokrasi kerap disalahartikan sebagai kebebasan tanpa batas. Padahal, kebebasan yang sejati selalu disertai tanggung jawab moral. Sebab, hak berbicara tidak berarti hak untuk menyesatkan, dan hak berpendapat tidak berarti bebas dari kewajiban mencari kebenaran.
Demokrasi yang Kehilangan Jiwa
Dalam iklim sosial semacam ini, opini publik mudah diarahkan oleh narasi yang menggugah perasaan, bukan oleh argumentasi yang berpijak pada akal sehat. Media dan algoritma digital berperan besar dalam menciptakan semesta persepsi yang sering kali menyesatkan. Apa yang viral dianggap benar, apa yang ramai diyakini adil, dan apa yang populer diasumsikan bijak.
Di sinilah demokrasi mulai kehilangan substansi, ketika kebenaran digantikan oleh persepsi, dan keadilan dikalahkan oleh citra. Politik kita pun terjebak dalam permainan citra yang dangkal. Para pemimpin lebih disibukkan dengan menjaga popularitas ketimbang memperjuangkan kebenaran. Debat publik bergeser dari pertukaran gagasan menjadi adu pengaruh dan retorika.
Dalam kondisi seperti itu, rakyat lebih sering digiring untuk menyukai, bukan untuk memahami; untuk memihak, bukan untuk menimbang. Demokrasi pun terperosok menjadi panggung emosi kolektif yang mudah diatur oleh kepentingan pragmatis.
Padahal, inti dari demokrasi bukanlah kebisingan suara, melainkan kejernihan berpikir. Demokrasi yang matang hanya tumbuh di tengah masyarakat yang terdidik, masyarakat yang terbiasa membaca, mendengar, dan menimbang dengan hati yang jernih. Sebab, yang menentukan mutu demokrasi bukan banyaknya suara, melainkan kedalaman nalar dan ketinggian moral mereka yang bersuara.
Pendidikan sebagai Jantung Demokrasi
Akar dari segala persoalan ini terletak pada pendidikan yang kehilangan orientasi hakikinya. Pendidikan kita masih lebih menekankan hafalan daripada pemahaman, prestasi formal dari pada kebijaksanaan moral.
Sekolah dan universitas belum sepenuhnya menjadi ladang subur bagi tumbuhnya akal budi. Banyak orang berijazah tinggi tetapi gagal menggunakan akalnya untuk menimbang kebenaran. Mereka cerdas secara teknis, tetapi miskin hikmah dan empati sosial.
Padahal, pendidikan adalah jantung demokrasi. Tanpa pendidikan yang memerdekakan pikiran dan membangun nurani, rakyat mudah diprovokasi oleh kata-kata manis yang menyesatkan. Demokrasi menjadi rapuh karena rakyat tidak memiliki daya kritis untuk menilai benar dan salah.
John Dewey pernah menegaskan bahwa demokrasi tidak mungkin hidup tanpa pendidikan publik yang baik. Pendidikanlah yang menumbuhkan kesadaran kritis dan tanggung jawab sosial, dua hal yang menjadi roh bagi demokrasi sejati.
Dalam konteks Indonesia, reformasi politik memang telah membuka ruang kebebasan yang luas. Namun, kebebasan itu belum diimbangi dengan kematangan berpikir. Demokrasi kita masih sering berjalan tanpa disertai nalar etik dan pengetahuan publik.
Pemilu sering kali dipersempit menjadi pertarungan angka, bukan perjuangan gagasan. Politik kehilangan kedalaman reflektif, sementara rakyat terjebak dalam pusaran opini yang dangkal dan instan.
Perlunya Nalar Deliberatif
Pendidikan yang sejati seharusnya melatih manusia berpikir, bukan sekadar mengulang; membentuk watak, bukan sekadar menumpuk pengetahuan. Di ruang kelas maupun ruang publik, manusia mesti dibiasakan untuk bertanya, mendengar, dan menimbang.
Inilah yang disebut nalar deliberatif, kemampuan berdialog dengan pikiran terbuka tanpa kehilangan integritas moral. Hanya dengan nalar semacam ini demokrasi dapat hidup dalam keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab.
Namun, pembentukan nalar publik tidak hanya tugas sekolah. Media massa, lembaga keagamaan, dan komunitas sosial juga memikul amanah yang sama. Pers semestinya menjadi guru bangsa yang mencerdaskan, bukan sekadar penyampai sensasi.
Media harus mendidik publik untuk membaca fakta, bukan menelan opini mentah-mentah. Begitu pula tokoh agama dan intelektual, mereka hendaknya menjadi penjaga nalar publik dengan menebar kearifan, bukan fanatisme.
Sayangnya, yang sering terjadi justru sebaliknya. Banyak media terjebak dalam logika klik dan viral, bukan logika kebenaran. Banyak tokoh lebih sibuk mempertahankan pengaruh dari pada menegakkan nilai. Akibatnya, publik tidak lagi diarahkan kepada kebenaran, melainkan digiring oleh kepentingan.
Demokrasi pun semakin kehilangan arah moralnya. Kita sedang hidup di masa di mana arus informasi begitu deras, tetapi kedalaman pemahaman begitu dangkal. Hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian beredar tanpa kendali. Di tengah kekacauan itu, banyak orang kehilangan kemampuan untuk membedakan antara fakta dan opini.
Padahal, demokrasi hanya dapat tumbuh bila warga memiliki literasi yang memadai, literasi politik, literasi moral, dan literasi digital. Tanpa itu, ruang publik akan dikuasai oleh suara-suara yang menyesatkan, dan nalar kolektif bangsa pun akan tumpul.
Menyelamatkan Akal Publik
Dalam kondisi demikian, pendidikan menjadi benteng terakhir bagi keberlangsungan demokrasi. Setiap guru yang menanamkan nilai kejujuran dan keberanian berpikir kritis sejatinya sedang menyelamatkan masa depan politik bangsa.
Setiap dosen yang melatih mahasiswa menulis dengan argumen yang benar sedang memperkuat fondasi akal publik. Bahkan setiap orang tua yang mendidik anaknya untuk berkata benar sedang menanamkan benih moralitas demokrasi.
Pendidikan tidak boleh berhenti pada transfer pengetahuan, melainkan harus menjadi proses pembudayaan akal budi. Ia harus menumbuhkan keberanian untuk berpikir berbeda, kemampuan untuk menghargai perbedaan, dan kepekaan untuk mencari kebenaran di balik kerumitan.
Inilah pendidikan yang tidak hanya mencerdaskan otak, tetapi juga menumbuhkan kebijaksanaan. Dan hanya melalui pendidikan semacam itulah demokrasi dapat menemukan kembali jati dirinya. Demokrasi bukanlah jaminan kebaikan, melainkan peluang bagi manusia untuk menegakkan kebaikan.
Namun peluang itu akan sia-sia bila tidak disertai kesiapan akal dan kematangan budi. Bangsa yang malas berpikir tidak akan mampu menjaga kebebasannya. Sebab, kebebasan tanpa kebijaksanaan hanyalah anarki yang terselubung dalam nama rakyat.
Demokrasi Akal Sehat
Maka, membangun demokrasi sejatinya berarti membangun manusia. Mencerdaskan kehidupan bangsa bukan sekadar amanat konstitusi, melainkan syarat moral agar demokrasi tidak menjadi kutukan. Demokrasi yang hidup di tangan rakyat yang berilmu akan melahirkan keadilan dan kemajuan. Sebaliknya, demokrasi di tangan rakyat yang terperangkap opini hanya akan menimbulkan kebingungan dan perpecahan.
Sudah saatnya kita mengembalikan demokrasi ke akar rasionalitas dan etika. Demokrasi harus menjadi ruang di mana argumentasi mengalahkan agitasi, dan kebijaksanaan mengungguli kebisingan. Untuk itu, pendidikan harus diletakkan di pusat kehidupan berbangsa. Sekolah, universitas, media, dan mimbar agama harus bersinergi menumbuhkan warga yang berpikir kritis, berakhlak mulia, dan berani mempertahankan kebenaran.
Demokrasi yang sehat tidak lahir dari kebebasan tanpa batas, melainkan dari kebebasan yang dibimbing oleh ilmu dan nurani. Bila bangsa ini ingin menyelamatkan demokrasinya, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah menyelamatkan akal publik dari jebakan opini. Sebab, kebisingan tidak pernah melahirkan kebijaksanaan, dan kebenaran tidak pernah
muncul dari keramaian yang tanpa arah.
Maka, marilah kita renungkan: demokrasi bukan tentang siapa yang paling keras bersuara, tetapi siapa yang paling jernih berpikir. Bukan tentang siapa yang paling banyak pengikutnya, tetapi siapa yang paling tulus mencari kebenaran.
Demokrasi sejati hanya akan tumbuh di tengah masyarakat yang terdidik, yaitu masyarakat yang menjadikan ilmu sebagai cahaya, nalar sebagai penuntun, dan kebijaksanaan sebagai tujuan.
*Pegiat Literasi Tinggal di Yogyakarta

