Politik dan Hukum

Momen Idulfitri: Merajut Kembali Ukhuwah Pasca Pemilu

Sc: Penanewsnet
Sc: Penanewsnet

Sc: Penanewsnet

Oleh: Andre Rosadi*

Proses pencoblosan suara dalam pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan anggota legislatif (Pileg) sudah usai pada 14 Februari lalu. Sebagai perhelatan berskala nasional, Pemilu mempunyai kompleksitas yang luar biasa dengan segala dampaknya di berbagai aspek, terutama politik, sosial, dan budaya. Oleh sebab itu, sebagai warga negara yang baik dan mencintai dengan tulus negeri dan bangsanya, kita perlu memahami apa yang telah terjadi dan bagaimana harus bersikap pasca pemilu ini.

Pemilu adalah mekanisme dalam negara demokrasi untuk memilih pemimpin dan perwakilan di badan parlemen. Oleh sebab itu, prosesnya harus benar-benar menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi agar pemimpin yang terpilih mempunyai legitimasi yang kuat, qualified secara moral dan intelektual. Secara filosofis, kualifikasi pemimpin dan wakil rakyat hasil Pemilu seharusnya mampu memahami dan menerapkan falsafah bangsa, yaitu Pancasila, dalam semua lini tugas mereka.

Mengapa? Karena mereka terpilih sebagai hasil dari akumulasi kecerdasan kolektif warga negara. Bisa dikatakan bahwa mereka adalah manusia pilihan. Di antara poin penting kandungan Pancasila yang sangat urgen adalah menjaga persatuan Indonesia sekaligus mampu menciptakan keadilan sosial bagi seluruh warga negara. Mengapa sangat penting bagi kita menggarisbawahi antara keadilan dan persatuan? Jawabannya sederhana: keadilan adalah basis persatuan.

Keadilan hanya bisa diciptakan oleh pemimpin yang adil, dan sebaliknya, pemimpin yang zalim akan melahirkan perpecahan yang berakibat pada keruntuhan negeri. Keadilan merupakan kunci keberlangsungan suatu kekuasaan, dan sebaliknya, kezaliman merupakan virus utama yang menghancurkan kekuasaan tersebut. Al-Ghassani, seorang ahli sejarah Arab klasik mengatakan: al-mulku qod yadumu ma’a al-kufri, walakin la yadumu ma’a al-zulm (kekuasaan bisa bertahan dalam kekafiran; tapi tidak akan bertahan dalam kezaliman).

Untuk melihat kebenaran kata hikmah ini, ada baiknya kita melihat bukti-bukti sejarah mengenai jaya dan runtuhnya suatu kerajaan atau kekuasaan. Jamaah yang berbahagia Menjelang jatuhnya kekuasaan ‘Abbasiyah di Baghdad, ada beberapa fakta sejarah yang perlu kita renungkan. Pada saat itu, terjadi kesenjangan yang besar antara mereka yang berada dalam lingkaran kekuasaan dengan rakyat jelata yang jauh dari tahta. Kelompok pertama hidup sangat mewah, sedangkan kelompok kedua hidup dalam kondisi yang memprihatinkan.

Disebutkan bahwa pada saat itu, ulama yang paling hebat saja hanya berpendapatan 12 dinar per bulan, sedangkan pendapatan rakyat jelata jauh lebih rendah. Sebaliknya, mereka yang dekat dengan penguasa hidup dalam kemewahan yang luar biasa. ‘Alauddin al-Zhahiri, misalnya, adalah salah seorang staf kerajaan berpendapatan 300 ribu dinar, dan rumahnya termasuk yang paling mewah di Baghdad.

Dalam pesta pernikahannya, Khalifah al-Mustanshir memberikan hadiah 100 ribu dinar; jumlah yang sangat fantastis jika dibandingkan dengan pendapatan sehari-hari rakyat jelata. Seorang staf lain, Mujahid al-Duwaidar dikatakan mempunyai harta yang tak terhitung. Pada saat pesta pernikahannya, Khalifah al-Musta’shim memberinya hadiah 300 ribu dinar. Pendapatannya per tahun mencapai lebih dari 500 ribu dinar.

Bisa dikatakan bahwa pada saat itu, harta negara sebagian besar hanya berputar di kalangan kaum elite saja, entah itu untuk keperluan berbagai macam pesta, hadiah, ataupun fasilitas pribadi. Tidak perlu diragukan lagi, ini merupakan suatu kezaliman. Berdasarkan kata-kata al-Ghassani di atas, maka kehancuran kekhilafahan ‘Abbasiyah merupakan suatu keharusan. Setiap perilaku yang bertentangan dengan asas keadilan akan tersingkir, sebab dunia ini berjalan berdasarkan asas keadilan.

Kita perlu berkaca, betapa banyak pemimpin yang jatuh atau dijatuhkan akibat ketidakadilan mereka dalam menjalankan amanat. Berkaca dari peristiwa sejarah tersebut, pemilu seharusnya menjadi proses untuk menjaga keberlangsungan bangsa, yaitu dengan cara memilih pemimpin yang mampu menerapkan keadilan yang terkandung dalam Pancasila. Terlepas dari siapapun yang terpilih, pada saat ini yang terpenting adalah bagaimana kita sebagai warga negara memandang dengan jernih dan menerima hasil pemilu dengan segala plus-minusnya.

Baca Juga: Mudik Lebaran: Sarana Relaksasi Keluarga

Selama proses pemilu, kita banyak terpolarisasi sehingga menciptakan tensi di berbagai lapisan, baik horizontal maupun vertikal. Tensi tersebut muncul karena perbedaan afiliasi kultural dan politik, agama, kondisi sosial-ekonomi, maupun karena model keberpihakan. Berdasarkan afiliasi sosio-kultural, kita dibedakan oleh berbagai suku dan afiliasi ormas keagamaan. Secara agama, afiliasi antara kaum relijius dan sekuler tampaknya masih tetap berbeda, walaupun semakin kabur dan tidak lagi menjadi faktor utama yang menentukan. Secara ekonomi, kepentingan antara kelas bawah, menengah, dan elite juga menentukan afiliasi politik.

Sebagian kelompok menginginkan adanya perubahan karena adanya ketidakpuasan pada capaian pemerintah saat ini. Pada sisi lain, ada juga yang ingin mempertahankan dan melanjutkan model pembangunan saat ini karena berbagai alasan. Selain kondisi-kondisi yang telah disebutkan tersebut, keberpihakan pada nilai-nilai ideal yang diyakini dan diperjuangkan juga ikut menentukan arah pilihan politik; pada sisi lain, ada juga yang memilih karena faktor fanatisme pada ketokohan daripada ide dan gagasan yang dibawa.

Dengan perbedaan-perbedaan seperti ini, bisa dikatakan bahwa proses pemilu dalam tataran tertentu telah menggiring pada terjadinya polarisasi di berbagai lini masyarakat. Jika kebebasan memilih yang ditawarkan oleh proses demokrasi ini belum terbentuk menjadi pola pikir yang demokratis, maka kebebasan itu tidak akan terejawantah dalam kehidupan sosial politik. Ia akan menjelma menjadi bibit-bibit perpecahan yang berpotensi merusak tatanan sosial.

Dalam hal ini, sebagai warga negara, kita perlu kembali kepada etika dasar dan semangat yang mengikat kita sebagai manusia dan warga negara Indonesia. Jamaah yang berbahagia Keterlibatan dalam Pemilu harus kita pandang sebagai bagian dari cara warga negara memberikan kontribusi pada perjalanan sejarah bangsa. Keterlibatan itu didasari oleh rasa tanggung jawab, sense of belonging, dan etika yang luhur. Manusia yang mempunyai karakter luhur akan tetap hidup damai dan harmonis walaupun di tengah kealpaan hukum. Sebaliknya, manusia yang tidak bermoral akan tetap merusak walaupun telah diatur dengan perangkat hukum yang sangat ketat.

Atas dasar ini, sebagai muslim, kita perlu mengambil pelajaran dari kaidah hukum Islam: dar’ul mafasid muqoddamun ‘ala jalbil mashalih (meninggalkan yang merusak itu lebih didahulukan daripada mengambil yang baik). Proses mengidentifikasi yang baik dan buruk, kemudian membuang yang buruk tersebut dan mengambil yang baik, memerlukan kejernihan berpikir.

Dalam hal ini, kesadaran personal adalah faktor pertama yang perlu kita kembangkan dalam membangun relasi yang konstruktif pasca Pemilu. Tanpa itu, residu perbedaan, dan boleh jadi sentimen, akan tetap memengaruhi perilaku kita dalam berinteraksi. Selain itu, kesadaran sebagai warga bangsa Indonesia akan mendorong kita untuk selalu menempatkan kepentingan bangsa di atas sentimen dan keberpihakan pribadi. Ukhuwah kebangsaan harus kita jadikan sebagai software dalam kehidupan sehari-hari sehingga mampu menekan segala bentuk sentimen primordial. [4/24]

*Dosen UIN SUKA Aktif di LP4H PWM DIY

Related posts
Keluarga Sakinah

Mudik Lebaran: Sarana Relaksasi Keluarga

Umat Muslim telah menjalani Hari Raya Idul Fitri 1444 H yang jatuh pada 10 April 2024. Artinya, masyarakat perantau akan atau telah…
Berita

PRPM Keprabon Adakan Salat Idulfitri di Lapangan Pamedan Mangkunegaran

Surakarta, Suara ‘Aisyiyah – Pimpinan Ranting Pemuda Muhammadiyah (PRPM) mengadakan salat Idulfitri di Lapangan Pamedan Mangkunegaran dengan Imam dan Khotib Muhammad Da’i,…
Berita

Khutbah Idulfitri, Haedar Nashir: Umat Muslim Mesti Moderat dalam Hidup

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir mengatakan hakikat puasa yakni agar setiap muslim cukup seperlunya dalam…

3 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *