Hikmah

Peran Kekhalifahan Perempuan di Muka Bumi

Perempuan

Oleh: Nur Fajri Romadhon*

“Muhammadiyah adalah gerakan Islam dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar; berakidah Islam dan bersumber pada al-Qur’an dan sunnah; bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat utama, adil, makmur yang diridhai Allah swt.; untuk melaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi,” demikian bunyi poin pertama dari Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah.

Penggalan “khalifah Allah di muka bumi” seakan menjadi sebuah bukti betapa kuatnya kehadiran kisah awal penciptaan manusia dalam memori para warga persyarikatan. Kisah pertama dalam al-Qur’an terdapat dalam firman Allah subhanahu wata’ala:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةً

Artinya, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (Q.s. 2: 30).

Al-Imam Al-Qurthubi (w. 671 H.) menuliskan sebagai berikut:

وَالْمَعْنِيُّ بِالَخلِيفَةِ هُنَا- فِي قَوْلِ ابْنِ مَسْعُودٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَجِميعِ أَهْلِ التَّأْوِيلِ- آدَمُ عَلَيْهِ السَّلَامُ، وَهُوَ خَلِيفَةُ اللَّهِ فِي إِمْضَاءِ أَحْكَامِهِ وَأَوَامِرِهِ

Artinya, “Yang dimaksud dengan ‘khalifah’ di sini –menurut Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, dan seluruh ahli tafsir– adalah Nabi Adam ‘alaihissalam yang merupakan khalifahnya Allah dalam menjalankan seluruh hukum dan perintah-Nya.” (Al-Jāmi’ li-Aḥkāmil Qur’ān, jilid I, hlm. 263).

Tentu, khalifah ini tidak hanya Nabi Adam ‘alaihissalam. Keturunan beliau pun ditugasi hal yang sama. Empat kali Allah swt. secara eksplisit menegaskan ini, seperti dalam firman-Nya:

هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَكُمْ خَلَٰٓئِفَ فِى ٱلْأَرْضِ

Artinya, “Dialah yang menjadikan kalian sebagai khalifah-khalifah di bumi” (Q.s. 35: 39).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) menegaskan bahwa penunjukan manusia sebagai khalifah di muka bumi bukanlah karena ketidakmampuan Allah swt. melakukan tugas-tugas tersebut sebab Allah sejatinya Maha Mampu atas segala sesuatu (Majmū’ul Fatāwā, jilid. XXXV, hlm. 45). Akan tetapi, seperti yang Al-Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani (w. 502 H) tuliskan, penunjukan manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi lebih kepada pemuliaan dari-Nya kepada manusia dengan ujian, tugas, dan amanah ini (Al-Mufradāt, hlm. 294).

Baca Juga: Kesetaraan dalam Penciptaan Adam dan Hawa

Pada bagian di atas telah disinggung bahwa terdapat empat ayat yang menggunakan diksi khalaaif (para khalifah) ketika menugaskan manusia menjadi khalifah-Nya di muka bumi. Keempat ayat tersebut adalah Q.s. 6: 165, Q.s. 10: 14, Q.s. 10: 73, dan Q.s. 35: 39. Uniknya, dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) pun diksi khalifah digunakan untuk menyebutkan sejumlah peran keumatan dan kebangsaan yang semestinya diemban dengan baik oleh seluruh warga persyarikatan, tak terkecuali para kaum Hawa.

Hal ini juga telah dinyatakan dalam Adabul Mar’ah Fil Islam (AMFI) halaman 1 yang menyebutkan agar laki-laki dan perempuan bahu-membahu dalam melakukan tugas memakmurkan dunia sebagai khalifah Allah di muka bumi ini.

Menjaga Kemurnian Akidah dan Ibadah

Dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) halaman 9 tertulis: “Dengan beragama Islam maka setiap muslim memiliki dasar/landasan hidup tauhid kepada Allah, fungsi/peran dalam kehidupan berupa ibadah, menjalankan kekhalifahan, dan bertujuan untuk meraih rida serta karunia Allah swt.”

Selain para shahaabiyyaat, kita mengenal banyak ulama dan pendakwah dari kalangan taabi’iyyaat (taabi’iin perempuan). Hujaymah Ummud Dardaa’ (w. 82 H) aktif berdakwah mengajarkan akidah dan tuntunan ibadah di Masjid Agung Bani Umayyah. Al-Hafidzh Ibnu Katsir meriwayatkan bahwa kedalaman ilmu beliau sampai-sampai membuat Khalifah ‘Abdulmalik bin Marwan (w. 86 H) dan para pejabat pria pun biasa hadir belajar dari beliau (Al-Bidāyah wan-Nihāyah, jilid XII, hlm. 336).

Keteladanan lain juga dapat diambil dari keseriusan para pengurus ‘Aisyiyah generasi pertama untuk serius mempelajari akidah dan ibadah dalam Islam. Demi kenyamanan ibadah dan pengajaran Islam mereka pun mendirikan dan menyediakan musala khusus perempuan. (Posisi dan Jatidiri ‘Aisyiyah, hlm. 29-35).

Mereka juga dengan ketegasan berbalut kebijaksanaan menyarankan agar salah satu upacara keagamaan di Kraton Yogyakarta yang tadinya diisi dengan musik dangdut diganti dengan lagu-lagu Islam. Dengan demikian, warna Islam yang murni akidah dan ibadahnya semakin hadir dalam kegiatan tersebut (Perempuan-Perempuan Pemburu Surga, hlm. 69).

Aktif Bermasyarakat

Masih dalam PHIWM, terdapat pernyataan bahwa “Setiap warga Muhammadiyah harus selalu menyadari dirinya sebagai abdi dan khilafah di muka bumi sehingga memandang dan menyikapi kehidupan dunia secara aktif dan positif serta tidak menjauhkan diri dari pergumulan kehidupan dengan landasan iman, Islam, dan ihsan dalam arti berakhlak karimah” (Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, hlm. 66).

Dengan demikian, muslimah tidak semestinya mengasingkan diri dari masyarakat. Muslimah seyogianya bergaul bersama masyarakat, termasuk dalam aktivitas dakwah.

Artinya, “Orang beriman yang bermasyarakat serta bersabar atas lika-liku kemasyarakatan lebih besar pahalanya daripada yang tidak mau bermasyarakat dan tidak bersabar atas dinamika kemasyarakatan” (H.R. At-Tirmidzi, No. 2507).

Warga Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah tentu tidak akan melupakan sosok Siti Munjiyah (w. 1955) yang sejak muda sudah dipercaya oleh Kiai Ahmad Dahlan untuk bertabligh di luar Kauman, bahkan di luar pengajian Muhammadiyah, dengan audiens yang kebanyakannya para pria (Srikandi-Srikandi Aisyiyah, 81). Salah satu momen pentingnya ialah ketika beliau diajak oleh Kiai Ahmad Dahlan menghadiri undangan sebagai pembicara di acara Syarikat Islam cabang Kediri pada 20 November 1921.

Siti Munjiyah yang kala itu berusia 22 tahun berpidato begitu memukau tentang hak dan kewajiban bagi perempuan dalam Islam. Beliau terangkan bahwa Islam bukan hanya untuk laki-laki, tetapi juga untuk perempuan. Dalam kesempatan tersebut, Siti Munjiyah juga sempat menjelaskan tentang kewajiban mengenakan jilbab untuk menutup aurat perempuan sebagai suatu kewajiban agama, bukan sekadar pakaian yang dipakai oleh perempuan yang sudah pernah pergi haji.

Pidato Siti Munjiyah benar-benar sebuah pidato yang menggugah, baik dari segi isinya maupun dari sisi retorikanya. Ia mendobrak banyak kesalahpahaman konsep-konsep sosial dan keagamaan waktu itu. Di masa kolonialisme Belanda, perempuan dianggap kelas dua, terlebih jika statusnya pribumi. Alih-alih berbicara di hadapan publik, mereka bahkan dilarang bersekolah (Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional, hlm. 85).

Bersikap Profesional dalam Aktivitas Harian

Tahun 1938, Siti Hayinah (w. 1991) diangkat menjadi pemimpin redaksi Suara ‘Aisyiyah. Ini adalah sebuah pengangkatan yang jitu sebab selain beliau sudah tergabung dalam majalah ini sejak awal terbit di tahun 1926, beliau juga sejak tahun 1928 sudah teruji kinerjanya sebagai jajaran redaksi Istri yang diterbitkan oleh PPII (Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia) (SrikandiSrikandi Aisyiyah, 137).

Selain itu, wawasan Siti Hayinah amat luas. Ia sering membaca surat kabar dari Mesir semisal Al-Mar’atul Mishriyyah dan Shihhatul ‘Aailah serta tulisan-tulisan para tokoh wanita di Timur Tengah seperti Sakinah binti Al-Husain, Annisah Mei, Balsim, Qadariyah Husein, dan ‘Amrah Aljamhiyah (Srikandi-Srikandi Aisyiyah, 140-141). Terbukti, di awal masa kepemimpinan beliau, oplah majalah Islam perempuan ini naik pesat menjadi 2.500 eksemplar setelah di tahun pertama terbit hanya 600 eksemplar.

Baca Juga: Akhlak dalam Berdakwah

Hal ini seolah menjadi wujud nyata dari pidato beliau tahun itu juga, saat momen Kongres ‘Aisyiyah yang ke-21 di Medan. Siti Hayinah secara tegas menggugah semangat seluruh pengurus ‘Aisyiyah untuk menguatkan posisi majalah Suara ‘Aisyiyah. Beliau katakan: ”Marilah Suara ‘Aisyiyah itu kita hidupi betul-betul. Kalau tidak, baiklah, kita bunuh saja mati-mati dan kita tanam dalam-dalam”.

Sungguh beliau merupakan salah satu teladan perempuan menjalani tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi, sebagaimana amanat yang kelak tercantum dalam PHIWM: “Menjalani profesi bagi setiap warga Muhammadiyah hendaknya dilakukan dengan sepenuh hati dan kejujuran sebagai wujud menunaikan ibadah dan kekhalifahan di muka bumi ini” (Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, hlm. 87).

Memelihara Lingkungan

Termasuk tugas manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi dalam PHIWM adalah: “Melakukan kerja sama-kerja sama dan aksi-aksi praksis dengan berbagai pihak baik perseorangan maupun kolektif untuk terpeliharanya keseimbangan, kelestarian, dan keselamatan lingkungan hidup serta terhindarnya kerusakan-kerusakan lingkungan hidup sebagai wujud dari sikap pengabdian dan kekhalifahan dalam mengemban misi kehidupan di muka bumi ini untuk keselamatan hidup di dunia dan akhirat (Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, hlm. 91).

Masih banyak teladan dapat ditiru terkait hal ini, misalnya Shah Jahan Begum (w. 1901), seorang muslimah yang memimpin wilayah Bhopal di India. Di masa jabatannya, banyak dibangun danau buatan dan bendungan dengan saran beliau guna membantu penghijauan dan pelestarian alam.

Selain itu, ia juga menghapuskan berbagai bentuk pajak yang sempat dibebankan pemerintahan Inggris. Menariknya, ia juga mampu mendedikasikan sebagian waktunya untuk menulis sejumlah buku, membangun sebuah masjid di Inggris, dan mendirikan sebuah universitas (A’lāmun Nisā’, jilid II, hlm. 200-201; The Begums of Bhopal, hlm. 120).

Masih banyak lagi contoh peran yang menjadi wujud nyata aktivitas perempuan dalam menjadi khalifah di muka bumi. Islam sangat adil dalam pengaturan hak dan kewajiban para perempuan sehingga mereka mempunyai kesempatan dan tanggung jawab terhadap tugas kekhalifahan tersebut (Women Under Islam, hlm. 448-449).

Fastabiqul khairaat.

* Majelis Tarjih dan Tajdid PDM Kota Depok

Related posts
Berita

Pendidikan Politik Perempuan Berkemajuan

Pekalongan, Suara ‘Aisyiyah – Dalam rangka menjelang Pesta Demokrasi, Pilpres dan Legislatif yang Insyaallah akan berlangsung tanggal 14 Februari 2024 Pimpinan Daerah…
Lensa Organisasi

Kemampuan Bertahan dan Berlari

Oleh: Adib Sofia Tidak dapat dimungkiri bahwa semua yang dilakukan oleh ‘Aisyiyah dan Muhammadiyah selalu berlandaskan teologi keislaman. Tidak ada satu pun…
Hikmah

Memahami Risalah Perempuan Berkemajuan

Oleh: Evi Sofia Inayati Muktamar ke-48 ‘Aisyiyah merupakan momentum periodik yang sangat penting bagi gerakan ‘Aisyiyah. Momentum itu penting untuk (i) merefleksikan…

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *