Politik dan HukumTokoh

Etika Politik Natsir, Sebuah Refleksi Sejarah #2

  • Menjelang Pemilu 2024, Suara 'Aisyiyah menyediakan ruang #pemilukita. Ruang ini kami buka agar masyarakat dapat bersama-sama mewujudkan pemilu yang substantif dan inklusif.

Oleh: Muhammad Yuanda Zara*

Pada bagian yang lalu, kita telah membahas mengenai etika politik Mohammad Hatta, selanjutnya adalah mengenai konsep pelayanan publik. Seorang ulama sekaligus politisi terkemuka Indonesia, Mohammad Natsir (menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia tahun 1950- 1951), menekankan pentingnya pemimpin mengadvokasi kepentingan publik.

Antara 1927-1930, Natsir bersekolah di Bandung, di mana selain belajar pemikiran Barat ia juga aktif di organisasi pemuda Islam, Jong Islamieten Bond (JIB). Pemahaman politiknya terbentuk berbarengan dengan keterlibatannya sebagai anggota Partai Islam Indonesia serta dari berbagai diskusi politik dengan orang Indonesia dan Belanda.

Prinsip pelayanan publik diterapkan Natsir sebagai seorang pemimpin di berbagai kesempatan. Ia mengombinasikan antara kebutuhan masyarakat, semangat mendakwahkan ajaran Islam, dan nasionalisme Indonesia. Salah satu contohnya adalah di zaman pendudukan Jepang.

Kala itu, Natsir memimpin administrasi sekolahsekolah Islam di Bandung. Kebijakan pendidikan Jepang diarahkan untuk mendukung perang Jepang di Pasifik, seperti melarang penggunaan bahasa Arab dan memasukkan elemen-elemen Jepang. Namun, sebagaimana diterangkan oleh penulis biografi Natsir, Audrey Kahin, dalam studinya, Islam, Nationalism and Democracy: A Political Biography of Mohammad Natsir (2012), Natsir menolak upaya “jepangisasi” dalam sekolah dan justru lebih banyak memasukkan semangat keindonesiaan di antara para siswa.

Baca Juga: Etika Politik Hatta, Sebuah Refleksi Sejarah #1

Ia melihat bahwa kurikulum berbau Jepang hanya akan menguntungkan Jepang, sementara yang dibutuhkan masyarakat Indonesia bukan hanya pendidikan, namun juga nilainilai kebangsaan. Ketika Natsir mengepalai Majlis Islam, ia ditunjuk Jepang sebagai salah satu pengelola program kursus kiai, di mana ia harus mempropagandakan nilai-nilai keutamaan Jepang.

Namun, Natsir justru lebih banyak menggunakan kesempatan itu untuk memperdalam ajaran Islam dan bahkan mendiskusikan kekeliruan konsep politik Jepang, seperti tentang keagungan kaisar Jepang dan bahwa bangsa Jepang adalah bangsa terpilih. Artinya, bagi Natsir, gagasan politik Jepang tidak relevan dengan ajaran Islam dan moral politik masyarakat Indonesia.

Dari dua tokoh yang telah dibahas, dapat disimpulkan bahwa politik pada hakikatnya berkaitan dengan perangkat moral tentang bagaimana politik seharusnya dipikirkan dan dijalankan, yang dilandasi oleh prinsip-prinsip kunci, seperti integritas, kebijaksanaan, keadilan, transparansi, dan mementingkan kepentingan publik. Memimpin adalah mengemban amanah, yang menuntut adanya tanggung jawab. Pemimpin-pemimpin yang memahami etika politik akan berperan penting dalam mewujudkan kedamaian, keadilan, dan kemajuan dalam suatu organisasi politik, termasuk negara.

NB: tulisan ini terbit di Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi Januari 2024. Dimuat ulang dengan beberapa perbaikan tanpa mengubah substansi.

*Staf Pengajar Prodi Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta

Related posts
Politik dan HukumTokoh

Etika Politik Hatta, Sebuah Refleksi Sejarah #1

Oleh: Muhammad Yuanda Zara* Pertanyaan tentang relasi yang ideal antara etika dan politik merupakan pertanyaan yang telah lama diajukan oleh para intelektual…
Kalam

Etika Politik menurut Islam

Ajaran Islam memuat dua dimensi, yakni duniawi dan ukhrawi. Dimensi duniawi menyangkut hubungan manusia dengan sesama manusia dan alam semesta. Sementara dimensi…

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *