Hikmah

Hukum Memilih untuk Tidak Memilih

Pemilu
  • Menjelang Pemilu 2024, Suara 'Aisyiyah menyediakan ruang #pemilukita. Ruang ini kami buka agar masyarakat dapat bersama-sama mewujudkan pemilu yang substantif dan inklusif.

Oleh: Muchammad Ichsan

Sebulan lagi rakyat Indonesia akan berpesta demokrasi. Sudah lazim bahwa dalam setiap Pemilihan Umum (Pemilu) ada orang yang tidak menggunakan hak pilihnya. Orang yang tidak ikut dalam pemilihan biasa disebut Golongan Putih (golput).

Golput ialah sekelompok orang yang dengan sengaja tidak menggunakan hak pilihnya, baik dengan cara tidak mendatangi TPS (Tempat Pemungutan Suara) maupun dengan mencoblos dua gambar, atau dengan cara mencob­los bagian putih dari kertas suara, atau dengan cara lainnya. Pertanyaannya ialah, mengapa seseorang menjadi golput?

Ada beberapa faktor dan sebab mengapa seseorang men­jadi golput alias sengaja tidak menggunakan hak pilihnya meskipun ia memiliki hak tersebut. Pertama, mempunyai uzur, seperti sedang sakit, tertidur, dipenjara, tidak terdaftar sebagai pemilih, atau sibuk dengan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.

Kedua, kecewa terhadap partai atau calon yang akan dipilih. Banyak orang kecewa terhadap partai dan calon yang akan dipilih dalam Pemilu karena partai dan calon terse­but selama ini terbukti kurang mampu menyampaikan aspirasi masyarakat. Akhirnya, mereka memilih untuk tidak memilih, karena menurut mereka, tidak memilih juga merupakan pilihan. Mereka juga menganggap Pemilu sebagai “pembuat pilu” bagi masyarakat karena sering mengecewakan.

Ketiga, menganggap Pemilu sebagai pemborosan uang negara. Pemilu selalu me­merlukan anggaran besar, bahkan dari tahun ke tahun anggaran tersebut sela­lu membengkak sehingga membebani keuangan negara. Namun, sejak zaman Soekarno hingga hari ini, kesejahteraan masyarakat dianggap masih belum seperti yang diharapkan meskipun Pemilu telah berulangkali diadakan. Akhirnya, sebagian masyara­kat memilih menjadi golput.

Keempat, sistem Pemilu menurut sebagian masyarakat adalah sistem jahiliyah yang tidak boleh diikuti. Alasan ini sering diajukan oleh mereka yang ekstrem, yang mengang­gap sistem apa saja yang datang dari Barat, seperti demokrasi, Pemilu, partai, dan lainnya sebagai sistem jahiliyah yang harus dijauhi. Selain empat sebab dan alasan di atas, masih banyak lagi alasan-alasan lain yang membuat orang tidak mau memberikan suaranya dalam Pemilu.

Baca Juga: Ijtihad Politik Muhammadiyah

Lalu bagaimana hukum menjadi golput alias tidak menggunakan hak pilih secara sengaja dalam Pemilu? Sebelum menjawab pertanyaan ini dari sudut pandang syariat Islam, perlu diketahui bahwa menurut peraturan perundangan negara kita, golput alias tidak meng­gunakan hak pilih itu bukan suatu pidana, karena golput adalah bentuk lain dari abstain. Maksud abstain ialah tidak memberikan suara dalam pe­mungutan suara.

Abstain merupakan mekanisme yang disediakan dalam setiap instrumen pengambilan keputusan dalam demokrasi. Pasal 28 UUD RI 1945 dan Pasal 23 UU HAM menjamin hak abstain tersebut. Selain itu, dalam dokumen resmi PBB tentang hak dan partisipasi dalam politik menyebutkan bahwa negara pihak, termasuk Indo­nesia, menjamin hak atas kebebasan berekspresi. Jadi, kalau ada larangan untuk golput, larangan itu antide­mokrasi dan anti rule of law.

Yang dilarang di Indonesia adalah memaksa orang lain untuk memilih atau tidak memilih. Pasal 308 UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD mengancam dengan pidana siapapun yang dengan sengaja menggunakan kekerasan dan atau menghalangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih, melakukan kegiatan yang menimbulkan gangguan ketertiban dan ketenteraman pelaksanaan pemungutan suara, atau menggagalkan pemungutan suara.

Lalu bagaimana hukum golput alias memilih untuk tidak memilih dari sudut pandang syariat Islam? Menurut sebagian ulama, golput itu hukumnya wajib. Argumentasi mereka, Pemilu adalah bagian dari sistem demokrasi. Sementara sistem demokrasi adalah sistem kufur, karena dengan demokrasi, hal-hal yang diharamkan oleh Allah bisa dihalalkan oleh negara. Demikian pula sebaliknya, hal-hal yang dihalalkan Allah bisa diharamkan.

Selain itu, mereka berpendapat, Pemilu berpijak pada sistem terbanyak, sementara hal itu merupakan asas yang dicela dalam Islam, sebagaimana firman Allah: “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang di bumi, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah” (Q.s. al-An’am: 116). Lagi pula, Pemilu itu merupakan syahadah (kesaksian), namun dalam pelaksanaannya, Pemilu menerima suara ahli syahadah dan yang bukan.

Sementara menurut sebagian ulama lainnya, hukum golput itu haram. Ar­gumentasinya, mengangkat pemimpin yang beriman dan bertakwa itu adalah wajib. Tanpa pemimpin, urusan rakyat akan kacau balau, dan negara akan dengan mudah dikuasai oleh musuh. Tambahan pula, Allah menyuruh kita untuk mentaati Allah, Rasul-Nya dan ulil amri atau pemimpin sebagaimana tertuang dalam Q.s. An-Nisa’: 59.

Di dalam hadis, Rasulullah saw. juga memerintahkan umatnya apabila dalam perjalanan ada tiga orang atau lebih maka hendaknya dipilih satu pe­mimpin. Bagaimana kita bisa menaati pemimpin, jika kita tidak mempunyai pemimpin karena kita tidak mau me­milihnya? Dengan demikian, memilih untuk tidak memilih itu dilarang.

Dengan meneliti dua pendapat di atas yang bertolak belakang, ulama lainnya berpendapat bahwa hukum golput dalam Pemilu itu sesuai maslahatnya. Apabila golput itu bermaslahat bagi umat Islam, maka hu­kum golput itu wajib. Apabila menjadi golput itu justru memberi madharat atau bahaya maupun kerugian untuk Islam dan kaum muslimin, maka dalam keadaan seperti itu, golput hukum­nya haram.

Argumentasinya, masalah memilih atau tidak memilih adalah ma­salah ijtihadiyah. Di dalam masalah ijti­hadiyah itu, hukumnya banyak tergan­tung kepada maslahat dan madharat. Jika ada maslahatnya, maka hukumnya bisa dianjurkan atau bahkan diwajib­kan. Namun, jika ada madharat-nya maka hukumnya menjadi makruh atau bahkan haram.

Sebagai contoh, jika dalam sebuah Pemilu ada seorang pemimpin muslim yang tidak dira­gukan lagi keberpihakannya kepada Islam dan kaum muslimin, maka umat Islam wajib memberikan suaranya kepada pemimpin muslim tersebut.

Sebaliknya, jika dalam sebuah Pemi­lu yang bertanding adalah orang-orang yang membenci Islam dan kaum muslimin, atau dalam pesta demokrasi tersebut banyak kecurangan, penipuan, pembohongan, dan kezaliman, dan ada madharat yang lebih besar, maka lebih baik golput saja.

Apabila yang bertanding adalah dua orang non-muslim, namun yang seorang lebih dekat dan baik dengan orang Islam, maka dalam kasus ini, umat Islam perlu memilih orang tersebut, meskipun ia non-muslim. Dasarnya adalah kaidah: Irtikab akhaff adh-dhararain, yaitu mengambil yang paling ringan bahayanya dari dua hal atau orang.

Jadi, sekali lagi, pertimbangan­nya adalah maslahat dan madharat. Jika menjadi golput itu maslahatnya lebih besar daripada madharat-nya maka kita boleh menjadi golput. Demikian pula sebaliknya. Wallahu a’lam.

NB: tulisan ini terbit di Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi April 2018. Dimuat ulang dengan beberapa perbaikan tanpa mengubah substansi.

Related posts
Politik dan Hukum

Momen Idulfitri: Merajut Kembali Ukhuwah Pasca Pemilu

Oleh: Andre Rosadi* Proses pencoblosan suara dalam pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan anggota legislatif (Pileg) sudah usai pada 14 Februari lalu. Sebagai…
Berita

Seruan PWPM Jateng Pasca Pemilu 2024: Harapkan Situasi Damai dan Sejuk

Semarang, Suara ‘Aisyiyah – Proses Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 hingga saat ini masih berlangsung. Berbagai dinamika mewarnai pesta demokrasi yang digelar lima…
Berita

LPPA dan MHH PWA Papua Gelar Literasi Pendidikan Politik Bagi Pemilih Pemula

Jayapura, Suara ‘Aisyiyah – Lembaga Penelitian dan Pengembangan ‘Aisyiyah (LPPA) dan Majelis Hukum dan HAM (MHH) Pimpinan Wilayah (PWA) Papua menggelar kegiatan…

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *