Kalam

Idulfitri: Menyucikan Jiwa Menguatkan Fitrah

Oleh: Andy Dermawan*

Salah satu hari besar Islam yang sangat dinanti-nantikan oleh seluruh umat Islam adalah Idulfitri. Sebagian besar umat Islam menganggap bahwa Idulfitri merupakan puncak kebahagiaan dan kemenangan bagi umat Islam. Bahagia karena telah usai penantian panjang yang diawali puasa selama sebulan penuh, dan menang karena mampu mengalahkan hawa nafsu yang selama ini menggurita di hati setiap manusia.

Bahagia dan kemenangan adalah dua hal yang senantiasa dirindukan umat Islam, khususnya yang menjalani puasa di bulan Ramadan. Di samping itu, Idulfitri identik pula dengan saling memaafkan antarsesama, seakan terpancar wajah “ikhlas” di antara mereka karena saling memaafkan. “Kembali ke nol,” kata sebagian mereka dengan senyum melebar.

Terlepas dari semua itu, ada terselip kegundahan bahwa faktanya, tidak semua orang mampu “kembali ke nol” meski di tengah Idulfitri yang agung. Guratanguratan kekecewaan yang selama ini terpendam, baik karena permasalahan yang mendalam dan tak kunjung usai maupun turbulensi oleh sebab halhal kecil yang menimbulkan masalah besar, seperti ketersinggungan dan lain sebagainya seakan mengakar kuat di dalam hati.

Ikhlas memaafkan karena momentum Idulfitri, tetapi hati masih sulit berkompromi untuk memberi maaf. Ternyata, isi hati dan tindakan tidak bersahabat. Singkat kata, memaafkan tetapi memasukkan orang tersebut ke dalam blacklist. Ikhlas sih ikhlas, tapi gimana, ya? Penting menyimak al-Quran surat az-Zumar [39] ayat 11-14 berikut

قُلْ إِنِّىٓ أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ ٱللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ ٱلدِّينَ وَأُمِرْتُ لِأَنْ أَكُونَ أَوَّلَ ٱلْمُسْلِمِينَ قُلْ إِنِّىٓ أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّى عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ قُلِ ٱللَّهَ أَعْبُدُ مُخْلِصًا لَّهُۥ دِينِى

Katakanlah: “Sesungguhnya aku diperintahkan untuk menyembah Allah dengan penuh keikhlasan kepada-Nya dalam menjalankan agama (11). Dan aku diperintahkan agar menjadi orang yang pertama-tama berserah diri” (12). Katakanlah, “Sesungguhnya aku takut akan azab yang akan ditimpakan pada hari yang besar jika aku durhaka kepada Tuhanku” (13). Katakanlah, “Hanya kepada Allah aku menyembah dengan penuh keikhlasan kepada-Nya dalam menjalankan agamaku” (14).

Ketika seseorang menjalankan nilai-nilai ajaran Islam secara totalitas (ikhlas), maka otomatis seluruh tindakan dan perilakunya juga demikian. Marah dan kecewa itu wajar, tetapi berkelanjutan yang nyaris tiada akhir itu menjadi masalah mental yang bersumber di hati. Oleh karena itu, perlu diwaspadai perilaku hati. Saat Idulfitri seseorang berkenan memaafkan tetapi “dengan catatan”, maka telah terjadi “ketidakakuran” antara pikiran, hati, dan tindakan. Memaafkan adalah sikap yang memadukan antara cara berpikir, sikap mental, dan perilaku.

Di sinilah pentingnya memahami secara mendalam tindakan-tindakan kita, apakah itu hanya sekadar sakit hati dan tidak terima atas perlakuannya, atau yang lebih mengerikan lagi namun tak terdeteksi, yakni penyakit hati. Pada hakikatnya, Islam memberikan anjuran hingga berupa perintah, yakni totalitas dalam bersilaturahmi atau dalam hal melakukan kebaikan. Namun satu hal yang seringkali menjadi hambatan bagi seseorang adalah lebih mengedepankan sisi emosional daripada mengintegrasikan (memadukan) antara rasio dan emosi.

Al-Quran surat asy-Syams [91] ayat 8-10 memberi manusia kebebasan memilih. Memilih kebaikan maupun keburukan sekalipun, setiap pilihan ada tanggung jawabnya. Beruntung orangorang yang mengambil jalan baik, dan merugi orang-orang yang mengambil jalan buruk. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَىٰهَا قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّىٰهَا وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا

Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya (8). Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu (9). Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (10).

Fungsi akal bagi manusia adalah agar manusia bertanggung jawab pada pilihan-pilihan yang diambilnya. Selain itu juga untuk membedakan antara manusia dengan makhluk lain. Akal adalah anugerah terindah dari Allah subhanahu wa ta’ala. Apabila seseorang melakukan suatu tindakan, baik atau buruk, akal cenderung memandu untuk memilihnya. Namun hal yang tidak dapat terelakkan adalah bahwa motif akan cenderung ikut campur memutuskan mana yang akan dilakukan oleh manusia.

Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana agar motif dapat memilih sesuatu yang baik? Motif bahwa memaafkan itu tidak sekadar pernyataan mulut, tetapi juga merupakan pernyataan hati? Mendidik motif itu penting, sebagaimana mendidik akal kita. Mendidik akal dapat dilakukan melalui proses pembelajaran yang baik, seperti memikirkan dan menelaah tanda-tanda kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala. Memberi asupan makanan otak dari sumber yang baik dan menggunakannya dengan cara yang baik pula.

Baca Juga: Tips Berinteraksi saat Lebaran

Kebiasaan berpikir baik merupakan metode agar akal kita terbiasa dengan yang baik-baik. Mendidik motif dapat dilakukan dengan membiasakan pilihan-pilihan pada kebaikan yang dilakukan secara terus-menerus. Meski sesekali terjauh kepada kesalahan dan gagal, namun yang dinilai Allah subhanahu wa ta’ala adalah ikhtiar yang tiada henti. Sifat motif itu tersembunyi, hanya orang yang bersangkutan dan Allah subhanahu wa ta’ala yang tahu. Kalaupun bisa diketahui, misalnya melalui telaah psikologi, namun sebatas indikatornya saja.

Di sinilah pentingnya seseorang itu berkomunikasi atau zikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar pikiran dan hati dibimbing-Nya. Tindakan dan kata hati adalah “dua hakikat dalam satu jasad”. Suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang namun tidak ada salah satunya, yakni tindakan atau kata hati, maka akan terjadi kegelisahan, prasangka, was-was, dan ketidaktenangan batin. Demikian juga dengan tindakan dan perilaku memaafkan. Memaafkan seseorang tetapi jika antara tindakan dan hati tidak sekata, maka cenderung membuat hati menjadi terbebani.

Berikut tips-tips agar kita mampu memaafkan dengan tulus saat bermaaf-maafan di Idulfitri yang mulia tiba. Pertama, introspeksi diri atau muhasabah, yakni suatu tindakan yang dilakukan atas dasar kesadaran diri untuk melakukan koreksi diri atas perilaku-perilaku kita terdahulu. Tips ini cenderung efektif apabila diiringi zikir dengan kalimat-kalimat yang baik (thayyibah), seperti astaghfirullahal `adzim (kalimat istighfar), subhanallah (kalimat tasbih), la ilaha illa Allah (kalimat tauhid), Allahu Akbar (kalimat takbir), dan alhamdulillah (kalimat tahmid).Lakukan kalimat-kalimat thayyibah tersebut berulang-ulang agar menjadi habit atau kebiasaan.

Kedua, mengenali penyakit hati. Artinya memastikan bahwa perilaku kita sebaiknya dideteksi semenjak dini, baik itu perilaku baik maupun buruk yang berkaitan dengan kegiatan hidup sehari-hari. Contoh penyakit hati itu adalah riya’, frustasi, iri, dengki, was-was, sombong, tamak-rakus, amarah, buruk sangka yang berkelanjutan, menggunjing (ghibah), arogan, emosional, dan lain-lain. Marah dan kecewa itu wajar, tetapi berkelanjutan yang nyaris tiada akhir itu menjadi masalah mental yang bersumber di hati. Mengenali dengan baik penyakit hati relatif memberi kemudahan kita mengantisipasinya. Selain ikhtiarnya dengan mengimbangi perilaku-perilaku yang baik, tentu memohon pertolongan Allah agar dimudahkan dalam mengantisipasi dan mengatasinya.

Ketiga, jangan biarkan sakit hati dan kecewa mendominasi di hati. Bentuk pembiaran itu dapat diketahui dari minimnya ikhtiar yang terus-menerus serta kurang memiliki daya juang dan semangat kebaikan. Sakit hati dan kecewa sesungguhnya hasil “daur ulang” perilaku-perilaku terdahulu dalam kehidupan sosial kita yang tidak dapat dimungkiri ada “gesekan-gesekan” kecil yang pada akhirnya menggumpal dan meraja di hati. Gumpalan-gumpalan amarah itu tinggal menunggu pemantik yang akan meledakkanya. Oleh karena itu, sebelum gumpalan amarah itu meledak, terlebih dahulu ukur dengan baik, apa imbas secara sosial dan agama jika itu terjadi. Hikmah Islam (mahfudzat) mengajarkan: “fakkir qobla an ta`zima”, pikirkanlah sebelum bertindak.

Keempat, berolah raga dan relaksasi. Selain menjaga kebugaran tubuh, olah raga merupakan kegiatan yang dianjurkan oleh medis dan juga bentuk dari hak tubuh. Ukuran olah raga bukan dari berat atau ringannya kegiatan tersebut, tetapi dari sisi kesinambungan. Tubuh yang sehat dan segar relatif memudahkan kita berpikir jernih. Jika tubuh kita sehat karena olah raga, maka relaksasi dapat dilakukan dengan mudah, sehingga ketegangan otot-otot dapat terhindarkan. Bukankah tubuh yang sehat dan bugar diimpikan oleh sebagian besar manusia? Sehat dan bugarlah, insyaAllah engkau akan mampu berpikir jernih.

Kelima, pandangan positif (positive thinking). Berpandangan positif maksudnya adalah melihat, mengetahui, dan memahami dengan cara pandang (perspective) sebagaimana kita ingin dipandang dan dinilai baik oleh orang lain yang sedang melihat kita. Jika kesadaran tersebut mengemuka, maka kita pun ketika melihat orang lain juga demikian. Keinginan untuk dipandang dan dinilai baik sesungguhnya merupakan keinginan semua orang. Itulah fitrah manusia. Menguatkan fitrah-fitrah kebaikan Idulfitri sesungguhnya merupakan langkah awal untuk menjalani kehidupan sebelas bulan ke depan dengan didasari oleh fitrah-fitrah tersebut.

Masalah telah diurai. Problematika telah dijelaskan. Selain meraih kemenangan dan kebahagiaan, Idulfitri merupakan momentum khususnya bagi umat Islam untuk membangun ulang kebersamaan yang tercerai-berai oleh dinamika kehidupan sebelas bulan sebelumnya dan menata ulang untuk kehidupan lebih baik lagi sesuai fitrah dan nilai-nilai Islam.

Perilaku memaafkan secara totalitas, baik ucapan maupun kata hati, merupakan suatu keberanian, kesadaran, dan keikhlasan untuk berkompromi dengan keadaan. Ikhlas mesti dilatih dan dibiasakan. Zikir adalah kendaraan untuk mempercepat sampainya tujuan, yakni Allah subhanahu wa ta’ala. Rida-Nya adalah tujuan utama dari semua kebaikan yang dilakukan seseorang yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala secara totalitas.

*Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Related posts
Finansial

Efek Positif Ramadan dan Lebaran bagi Ekonomi Umat

Oleh: Leonita Siwiyanti* Selama bulan Ramadan, pasar tradisional menjadi pusat aktivitas pedagang dalam menjajakan berbagai makanan khas untuk berbuka puasa. Hal ini…
Politik dan Hukum

Momen Idulfitri: Merajut Kembali Ukhuwah Pasca Pemilu

Oleh: Andre Rosadi* Proses pencoblosan suara dalam pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan anggota legislatif (Pileg) sudah usai pada 14 Februari lalu. Sebagai…
Keluarga Sakinah

Mudik Lebaran: Sarana Relaksasi Keluarga

Umat Muslim telah menjalani Hari Raya Idul Fitri 1444 H yang jatuh pada 10 April 2024. Artinya, masyarakat perantau akan atau telah…

3 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *